Jangan harap aku mau mengingkari keimananku, meski hanya penampilan luarnya. Dengarlah, Mahmud, sekarang aku katakan padamu, kematianku esok merupakan petanda aku tidak berbohong.
Kematian acap menjadi peristiwa heroik . Zarrin Taj, alias Kirzu Stifan, alias Qurratul ‘Ain, sadar itu benar. Ia digantung di muka umum di Teheran. Mayatnya dibakar habis. peristiwa itu berlangsung pada 1852, sekitar tiga tahun setelah Zarrin dibekuk penguasa. sebelum tertangkap, ia bersama kawan-kawannya sempat mengadakan perlawanan bersenjata di Mazandaran.
Selama di bui, bahkan dekat sebelum kematiannya, Kirzu Stifan dibujuk agar menukar imannya dan kembali memeluk agama resmi negara: Syi’ah Imamiyah. Itu antara lain pernah dilakukan Mahmud Khan, anak buah Kirzu yang sangat loyal, yang dengan menukar keyakinan itu mencoba menyelamatkan jiwanya dari hukuman mati. Kirzu, perempuan cantik dan tangkas yang adalah orator ulung, menolak. “Jangan harap aku mau mengingkari keimananku, meski hanya penampilan luarnya. Dengarlah, Mahmud, sekarang aku katakan padamu, kematianku esok merupakan petanda aku tidak berbohong.” Qurratul ‘Ain (artinya: Si Cindur Mata) memang juga penyair. Karya-karyanya, seperti gazhal, banyak dinyanyikan penduduk setempat. Bahkan, orang Barat menganggapnya sufi, yang menemui ajal dengan ketabahan melebihi manusia umumnya.
Ketika tinggal beberapa lama di Karbala dan menjadi sahabat Sayid Kazhim, Zarrin ini sudah membuat resah dengan ceramah-ceramahnya — yang biasa ia sampaikan dari balik tirai. Mengapa di balik tirai? Konon, untuk mencegah nafsu laki-laki terpesona oleh kemolekannya. Ia pun menjadi buruan penguasa. Berkat kecerdikannya, Qurratul ‘Ain lolos ke Bagdad, tempat ia berkesempatan membela ajarannya di depan mufti kepala.
Hanya, tentang bolehkah ia menyebarkan ajarannya, masih akan dimintakan izin dulu dari pemerintah setempat dan kemudian pemerintah pusat (Istanbul, waktu itu). lalu datang pemerintah agar Qurratul ‘Ain meninggalkan wilayah Turki Usmani. Dalam perjalanannya dari iri ke Kirmansyah dan Hamadan, ia menarik banyak pengikut. Banyak yang menanyakan Bab legitimasi seorang perempuan di depan kaum laki-laki. Bab tidak cuma setuju, bahkan menggelari Zarrin Taj Janab-i thahira. Tapi siapakah Bab?
Tak syak lagi, Qurratul ‘Ain alias Zarrin adalah Backbound yang paling loyal dan militan dari Babisme. ini adalah sempalan Syiah dari 12 Imam. Pendirinya Mirza Ali Muhammad Syirazi, kelahiran Shiraz, 1819. Dalam satu kesempatan ziarah ke Karbala, Mirza melakukan kontak dengan salah satu kelompok Syi’ah Syaikhiah, yang dikenal punya tata cara sendiri dalam berhubungan dengan “imam yang dalam keadaan sembunyi” — imam ke-12 — yang dalam kepercayaan Syi’ah menjadi gaib ketika bayi akan turun kelak sebagai Imam Mahdi. Sekembali dari situ, Mirza menyebarkan ajarannya disertai serangan kepada para akselarus, bangsawan Persia yang berkuasa.
Lalu, ia memproklamasikan dirinya sebagai Bab. (artinya: gerbang), yakni pintu untuk mengetahui selurus rahasia ketuhanan. Banyak orang yang tertarik. Selain syariatnya amat longgar, banyak orang Parsi yang ingin bebas dari kungkungan feodalisme. mereka juga ingin masuk alam persamaan dan persaudaraan yang memang ditekankan dalam Babisme. Faktor bahwa rakyat sedang merindukan Imam Mahdi, yang ditekankan dalam sejarah Syiah, semakin mempercepat penyebaran Babisme.
Tidak heran jika Bab dan para pengikutnya diburu penguasa. Ia tertangkap dan dijebloskan ke penjara, pada tahun 1850 ia menghadapi regu tembak. Tapi, konon, satu peluru pun tidak mengenai tubuhnya. Yang kena justru tali pengikatnya hingga putus. Namun entah kenapa, ketika terlepas, ia tidak segera menghambur ke khalayak dan lari. Mungkin lantaran energinya sudah terkuras, Bab justru merangkak mendekati regu tembak. Tidak jelas juga apakah, misalnya, ia ingin minta ampun. Yang pasti, saat itu juga sesuatu menimpa lehernya: tebasan pedang.
Sepeninggal Bab, tampuk pimpinan diserahkan kepada MIrza Yahya. Bersama pengikutnya Yahya berlindung ke Bagdad. Tetapi, para penguasa Usmani meminta mereka tinggal di ibu kota Kerajaan, Istanbul, lalu ke Adrena. Nah, di perantauan itulah, 1863, kelompok ini pecah. Mirza Husain menyatakan dirinya sebagai pemimpin di luar kelompok Mirza Yahya, saudaranya seayah. Kelompok Yahya ini akan dengan segera memudar, menyusul kematian sang pemimpin (1912), yang tentu saja tidak seheroik Qurratul ‘Ain maupun Mirza Ali Muhammad.
Adapun Mirza Husain, dialah yang disebut Bahaullah (Kecemerlangan Allah) itu. Ia pula mengembangkan ajarannya menjadi agama yang sama sekali baru: Baha’i. Kedatangan Bab lalu mendapat arti baru sebagai benar-benar gerbang bagi munculnya tokoh yang mengaku Imam Mahdi ini, atau seperti kedudukan Yahya Pembaptis bagi kemunculan Isa. Doktrin Baha’i itu menyebabkan agama ini dihadapi pihak Syiah (yang kecolongan Imam Mahdinya), setidak-tidaknya setelah revolusi Khomeini dengan sadistis. Ini agama terlarang. Tidak seorang berani mengaku Baha’i di Iran. Masih lumayan di Indonesia. Di beberapa tempat kelompok-kelompok Baha’i ada, misalnya di Bandung. Bahkan, yang di Jakarta pernah berkunjung ke Gus Dur sewaktu mendiang Presiden.