Relung

Demokrasi yang Kita Inginkan

Written by Panji Masyarakat

Demokrasi yang bergulir sejak  1998 bukan sesuatu yang baru. Sistem pemerintahan demokratis pernah dijalankan sebelumnya – bahkan sejak masa awal kemerdekaan. Praktik politik yang dikembangkan oleh para pendiri Republik dan sebagian besar elite nasional ketika itu mencerminkan komitmen mereka terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Kehidupan politik yang demokratis memang tidak berjalan sebagaimana mestinya waktu itu, karena sampai 1949 hampir seluruh perhatian dan energi difokuskan pada mobilisasi kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaan. Suasana revolusi tidak memungkinkan demokrasi tumbuh secara normal sesuai dengan kaidah-kaidah pembangunan politik yang baku.

Namun, segera setelah kemerdekaan diakui pada akhir 1949, kehidupan politik yang demokratis mulai memperlihatkan bentuknya yang lebih terstruktur. Bekerja di bawah sistem pemerintahan parlementer, aturan-aturan dasar disusun sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Termasuk dalam hal ini adalah soal bagaimana kekuasaan dikelola, sirkulasi elit dilaksanakan, hubungan antarlembaga negara dijalankan, hukum ditegakkan, dan sebagainya.

Di atas semua itu adalah interaksi antarkekuatan politik di parlemen, khususnya dalam hal merumuskan undang-undang dan menyikapi  kebijakan-kebijakan pemerintah. Dalam konteks ini, perdebatan panjang di lembaga legislatif merupakan fenomena penting bagi proses demokratisasi yang sedang dibangun. Puncak dari perjalanan demokrasi ini adalah diselenggarakannya pemilihan umum pada 1955 setelah beberapa kali mengalami penundaan.

Tidak kalah pentingnya adalah pola dan mekanisme kerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Konstituante dalam sidang-sidang mereka, terutama di sepanjang tahun 1956-1957. Tidak dipungkiri bahwa pada tahun-tahun itu warna demokrasi  sangat kental. Demikian tegas prinsip-prinsip demokrasi dijalankan sehingga Herbert Feith menyebutnya sebagai praktik nyata dari sebuah sistem demokrasi konstitusional  meski ada juga yang menilainya sebagai demokrasi liberal. 

Mempraktikkan prinsip-prinsip demokrasi dan menjadikannya sebagai cara mencapai kesepakatan dan  atau merumuskan   aturan main untuk menempatkan orang pada jabatan-jabatan publik tertentu adalah satu hal. Memastikan bahwa prosedur demokratis yang dijalankan itu menghasilkan produk kebijakan yang sesuai dengan keinginan dan atau tuntutan rakyat banyak, apakah itu dalam bentuk peraturan, undang-undang , atau kebijakan, merupakan hal yang lain.

Dua hal  di atas  — yakni  demokrasi sebagai cara atau prosedur, dan  demokrasi sebagai substansi yang menghasilkan produk-produk kebijakan yang sesuai dengan keinginan rakyat — mestinya bersifat komplementer. Masing-masing saling melengkapi dan menyempurnakan, di mana yang pertama berperan sebagai cara terbaik untuk mencapai yang kedua tujuan-tujuan substansial dari pemerintahan. Sayangnya, banyak yang melihat keduanya sebagai hal yang berbeda, bahkan ada yang mempertentangkannya .

Dalam hal ini, akar persoalannya terletak pada pemahaman yang berbeda atau bervariasi tentang demokrasi. Ada yang cenderung melihat demokrasi dari sisi prosedur. Pandangan ini percaya bahwa demokrasi akan lebih mudah dimengerti, dan dapat dibedakan dengan sistem pemerintahan yang lain, atas dasar bagaimana mekanisme sirkulasi kekuasaan (pemilu) diselenggarakan. Tolok ukurnya adalah pelaksanaan pemilu yaitu sepanjang suatu negara mampu menyelenggarakan pemilu secara bebas dan jujur, yang menjamin partisipasi publik, yang damai dan dalam interval waktu yang tetap, maka ia dianggap demokratis.

Syarat-syarat penyelenggaraan  pemilu seperti itu menjadi ukuran konkret untuk menilai apakah sebuah negara atau sistem politik dapat dikatakan demokratis. Negara-negara yang tidak (mampu) melaksanakan pemilu dengan kualitas-kualitas seperti di atas tidak dapat disebut demokratis. Dengan kata lain, bukan pemilu itu sendiri yang menjadi demokratis atau tidaknya sebuah negara atau sistem politik, tetapi kualitas penyelenggaraan pemilu.

Lebih dari negara mana pun, Indonesia memiliki pengalaman yang cukup berkaitan dengan soal persyaratan penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Pemilu-pemilu Orde Baru merupakan contoh yang baik dalam  hal ini, di mana hanya aspek damai dan interval waktu yang tetap yang dipenuhi. Sementara unsur kebebasan, kejujuran, keadilan dan  keterbukaan tidak ada. Terutama karena itu, Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dan sistem politik yang berlaku ketika itu tidak bisa disebut demokratis.

Sementara itu, demokrasi substansial  dianggap sebagai gagasan yang abstrak dan bersifat subjektif. Demokrasi substansial, sebagaimana diteorisasikan oleh Robert Dahl, bersandar pada tingkat responsiveness pemerintah terhadap tuntutan rakyat. Dahl memang mengatakan bahwa “a key characteristic of democracy is the continuing responsiveness of the government to the pereferences of its citizens.”

Tampaknya gagasan mengenai “continuing responsiveness”  inilah yang menjadi pijakan  sementara kalangan. Akan tetapi sebenarnya Dahl tidak berhenti pada soal pemerintah menjadi responsif terhadap tuntutan masyarakat. Ia justru mengatakan bahwa agar masyarakat  dapat memiliki  tuntutan-tuntutan (demands), hak mereka untuk merumuskan keinginan-keinginan harus dijamin. Karena itu, mereka mesti mempunyai kesempatan untuk memilih, berhimpun, berpendapat, menduduki jabatan-jabatan publik , dan lain sebagainya.

Merajuk pada pengertian dasar tentang demokrasi substansial, dapat disimpulkan bahwa bersikap responsif terhadap kepentingan dan tuntutan rakyat merupakan faktor utama dari konsep ini. Sayangnya, oleh mereka yang menganut mazhab prosedural, menjadi responsif terhadap kepentingan publik justru dinilai sebagai tolok ukur yang tidak jelas atau abstrak dari pengertian tentang demokrasi.

Memang, menjadi responsif terhadap tuntutan dan keinginan publik bisa dianggap sebagai terjemahan longgar dari salah satu cirri pemerintahan demokratis, yaitu government for the people. Akan tetapi, menjadi responsif terhadap tuntutan dan kepentingan rakyat sebenarnya merupakan tugas utama negara atau pemerintah mana pun — terlepas dari kenyataan apakah negara atau pemerintahan itu demokratis atau otoriter.

Banyak negara nonkompetitif atau nondemokratis seperti bekas Uni Soviet, Republik Rakyat Tiongkok, Korea Utara, Kuba, Vietnam, dan lain sebagainya cukup responsif terhadap kebutuhan rakyat. Bahkan, dalam hal-hal tertentu tingkat responsiveness negara-negara tersebut bisa lebih tinggi daripada negara-negara – dilihat dari aspek penyelenggaraan pemilu – demokratis. Dalam konteks responsiveness   inilah dapat dipahami mengapa sebagian negara-negara yang disebut di atas, yang secara prosedural tidak demokratis, menganggap diri mereka demokratis. Walaupun kita semua tahu, bahwa rasanya sulit menemukan orang yang bersedia mengakui negara-negara tersebut sebagai bagian dari komunitas pemerintahan demokratik.

Berdasarkan pembahasan di atas, adalah penting untuk tidak mempertentangkan pemahaman tentang demokrasi yang sudah terlanjur bipolar itu  — prosedural  vis-à-vis substansial. Tidak juga cukup untuk memahami demokrasi hanya dari sudut prosedur. Sebab, ketika pemilu demokratis tidak mampu mendatangkan stabilitas dan tuntutan masyarakat maka demokrasi dianggap tidak menghasilkan sesuatu yang bermakna. Demikian juga halnya jika kita berhenti memahami demokrasi hanya sampai pada sisi substansi. Kesedian penyelenggara negara untuk merespons apa yang dikehendaki publik  bisa saja dilakukan oleh rezim nondemokratis atau dengan cara yang tidak kompetitif yang mengingkari hakikat demokrasi itu sendiri.

Makna dan semangat filosofis dari gagasan demokrasi, sejak dikembangkan oleh para pemikir klasik Yunani, tidak sedikit pun mengisyaatkan adanya pertentangan antara prosedur dan substansi. Keduanya bukan hanya bisa tetapi harus berjalan bersamaan (in tandem). Sebab, inti dari sistem demokrasi adalah digunakannya cara yang baik untuk menghasilkan produk-produk (kebijakan) yang diinginkan masyarakat. Ini semua tersirat dalam pandangan Dhl mengenai sikap responsif terhadap tuntutan masyarakat untuk memformulasikan preferensi mereka.

Pada kenyataannya, apa yang diteorikan Dahl – bahwa demokrasi prosedural dan substansial harus berjalan seiring – tidak mudah diwujudkan. Banyak Negara mampu melaksanakan pemilu secara demokratis, tetapi tidak berhasil bersikap responsif terhadap tuntutan masyarakat. Demokrasi memang sebuah perjalanan panjang, dan memerlukan kesabaran.       

Penulis: Bahtiar Effendy (1958-2019), redaktur senior Panji Masyarakat, guru besar  UIN Jakarta.

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda