Hamka

Ulama di Mata Buya (3): Yang Akan Menerima Kutuk dan Laknat

Written by Panji Masyarakat

“Tidakkah kemu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit, lalu kami hasilkan dari hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, makhluk yang bergerak yang bernyawa dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).    Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama…” (Q. 35: 27-28). 

Jangkauan pengertian ulama itu amatlah luas, pengertian ulama bukanlah sempit hanya sekadar orang yang tahu hukum-hukum agama secara terbatas, dan bukan hanya orang yang mengaji fikih, dan bukan pula ditentukan oleh jubah dan serban besar. Malahan kadang-kadang dalam perjalanan sejarah telah kerap kali agama terancam bahaya karena ulah serban besar.

Guru orang yang berilmu bukanlah semata-mata kitab saja. Alam itu sendiri adalah kitab terbuka luas. Ada pepatah: “Alam terbentang jadikan guru!” Setelah  berguru kepada alam, terbukalah hijab dan jelaslah Tuhan dengan serba-serbi kebesaran dan keagungan-Nya, lalu timbullah rasa takut kalau-kalau umur telah terbuang percuma saja.

Ulama adalah penerima waris nabi-nabi, al-ulama’ waratsatul anbiya (H.R. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hibban, dan Baihaqi). Ulama bertugas mengembangkan dan mempertahankan agama. Menjadi ulama pewaris nabi meminta keteguhan hati, kekuatan pribadi, dan kejantanan sikap. Dan itu hanya diperoleh apabila diri selalu diperkuat dengan ibadah kepada Allah, taqarrub (mendekatkan diri kepada Tuhan), dan membebaskan jiwa dari pengaruh benda. Sebab pewarisan yang terutama ialah melakukan dakwah amar makruf nahi mungkar, dengan tidak melupakan tingkat dakwah yang tiga. Yakni bil-hikmah (bijaksana), wal-mau’izhah al-hasanah (memberikan ajaran/contoh yang baik), dan wa jadilhum billati hiya ahsan (ajak mereka bertukar pikiran dengan cara-cara yang baik).

Karena ulama adalah penjawat waris nabi-nabi, maka ulama mempunyai dua kewajiban. Yakni menuntut ilmu agama untuk mengajarkannya kepada orang yang belum tahu – sehingga diwajibkan kepada yang belum tahu itu bertanya kepada yang tahu. Kewajiban ulama yang kedua adalah menyampaikan (tabligh).

Ulama dalam Islam bukanlah sarjana yang duduk di atas istana gading, menjauhkan diri dari bawah dan melihat-lihat saja dari atas. Lantaran itu, maju mundurnya agama di suatu negeri amat bergantung kepada aktif tidaknya ulama di tempat itu dalam menghadapi masyarakat. Kalau mereka telah menyembunyikan pula ilmu dan pengetahuan, keterangan dan petunjuk, kutuk dan laknatlah yang akan menimpa dirinya. Jika terdapat maksiat di suatu negeri, maka orang pun bertanya: Tidakkah ada ulama di sini?

Ketika bertanya seorang penguasa kepada seorang pujangga,  bagaimana sifat-sifat ulama  su’ atau ulama penjahat itu, ia menjawab: mereka adalah orang yang sangat ambisius kepada pangkat-pangkat. Merek selalu memuji-muji kau.  baik  apakah kamu adil maupun zalim kepada rakyat. Mereka mengangkat-angkat kau, tidak peduli apakah kau berbuat baik atau berbuat jahat kepada umat. Mereka mencari akal bagaimana supaya kau senang kepada mereka, supaya mudah kalau ada yang hendak mereka minta. Mereka tidak peduli, sesudah itu, apakah akan hancur negeri atau akan sengsara hamba Allah. Itulah mereka ulama penjahat.  

Bersambung

Sumber: Ensiklopedia Buya Hamka (2020)

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda