Relung

Mengajak Duduk Bersama Islam Radikal

Written by Panji Masyarakat

Timbulnya gerakan “Islam radikal” – sebutan yang mulai populer pada awal abad ini – sebagai sinonim “Islam fundamentalis” ataupun “Islam ekstrim” , adalah merupakan gejala yang relatif baru. Disebut baru juga tidak, sebenarnya. Sebab pimpinan gerakan itu mengatakan, bahwa mereka hanyalah meneruskan perjuangan para pendahulunya. Yakni mereka yang mencita-citakan “negara Islam”, seperti Kartosuwirjo atau yang merumuskan Piagam Jakarta yang berisikan ketentuan untuk melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-  pemeluknya — yaitu K.H. Abdul Kahar Muzakkir (Muhammadiyah), K.H. Wahid Hasyim (Nahdlatul Ulama) dan Abikusno Tjokrosujoso’ (Sarekat Islam). Bahkan mereka mengklaim bahwa cita cita “negara Islam” sebenarnya sudah dimulai oleh H.O.S Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam yang berdiri pada tahun 1913.

Cita-cita “negara Islam” dianggap tidak berbeda dengan cita- cita menegakkan syariat Islam. Pelaksanaan syariat Islam adalah substansinya, sedangkan negara adalah wadah dan alatnya. Karena itu maka cita-cita penegakan syariat Islam membutuhkan wadah atau alat. Sehingga negara yang melaksanakan syariat Islam bisa disebut sebagai negara Islam”. Cita-cita itu dapat dicapai dengan “revolusi” atau pengambilalihan kekuasaan Negara, bisa Pula secara evolusi, yaitu melalui prosedur demokrasi. Cara mencapai itulah yang membedakan antara Darul Islam dengan Masyumi.

Di mana posisi gerakan “Islam radikal” di masa reformasi ini? ‘ Gerakan mutakhir bisa disebut baru, karena ia lahir sebagai gejala euforia Reformasi dan boleh dikatakan merupakan konsekuensi proses demokratisasi. Proses ini tidak hanya melahirkan gerakan0gerakan kanan, tetapi juga gerakan-gerakan kiri. Hanya saja gerakan kiri dewasa ini baru terbatas pada tingkat wacana. Meskipun Partai Rakyat Demokratik (PRD) dapat makin mempertegas identitasnya sebagai partai komunis, walaupun partai “komunis baru”, semacam partai komunis Eropa yang dipelopori oleh Gramsci di Italia, sampai sekarang belum juga mendaftarkan diri sebagai partai, sebelum  ikut pemilu.

Gerakan “Islam radikal” itu sempat berancang-ancang membentuk sebuah partai yang menggabung ormas-ormas “Islam radikal”, . seperti Forum Komunikasi Ahlussunah Wal Jamaah yang lebih popular dengan sebutan Laskar Jihad, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir Indonesia *HTI), dan Majelis Mujahidin. Partai itu menamakan dirinya Partai “Islam radikal” Indonesia (PIRI). Tapi sampai sekarang tidak jelas kelanjutannya. Bahkan sekarang HTI (bersama FPI Habib Riziq) sudah dilarang pemerintah.  

Jika mendirikan sebuah partai mestinya gerakan “lslam radikal” itu akan mengikuti prosedur demokrasi. Tapi menurut Ja’far Umar Thalib, mantan panglima Laskar Jihad, demokrasi itu dianggap sebagai “sistem politik yang datang dari luar Islam”. Dia  membedakan Islam dari demokrasi, sebab kekuatan utama, demokrasi adalah rakyat sementara kekuatan Islam adalah Quran dan Sunah. Pendapat serupa juga kerap didengungkan HTI, yang sebagai alternatifnya menawarkan sistem khilafah.

Itulah perbedaan “Islam radikal”  dengan golongan yang disebut “Islam moderat”.  Islam yang belakangan menerima dan mengikuti prosedur demokrasi dan mengikuti  kedaulatan rakyat, berdasarkan prinsip syura, sedangkan “Islam radikal” hanya mengakui kedaulatan Tuhan.

Perbedaan lain dengan “Islam moderat” adalah bahwa Islam,  yang disebut akomodasionis ini, menganut apa yang disebut oleh Kuzman sebagai interpreted Islam. Sedangkan “Islam radiakal” memahami Islam secara literal. Mereka, misalnya, ingin  memberlakukan hukum-hukum pidana khas Islam (jinayat),  seperti potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina, pancung atau gantung bagi pembunuh. Inilah yang menimbulkan perasa momok terhadap Islam. Karena itu, “Islam moderat” adalah lawan’ “Islam radikal”. Bahkan menurut cendekiawan Maroko Mohammad Abed Al-Jabiri, lawan tertangguh “Islam radikal” sebenarnya bukan non-Muslim atau komunis, melainkan justru “Islam moderat” atau bahkan yang sering disebut sebagai Islam liberal.  Meski per definisi “Islam liberal” bisa juga dikategorikan sebagai radikal, ia tidak fundamentalis, tidak juga ekstrim.

Yang disebut sebagai “Islam moderat” terutama adalah Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Beberapa tahun yang lalu kedua ormas Islam terbesar itu, yang merupakan mainstream Islam di Indonesia secara terang-terangan  menolak penghidupan kembali Piagam Jakarta. Dua partai Islam, Partai Keadilan dan PPP pun sebenarnya menyetujui ide menghidupkan Piagam Jakarta,  namun mereka masih mau memakai cara-cara parlementer untuk melaksanakan ajaran Isla, yaitu melalui proses legislasi di DPR pilihan rakyat, Ada kalanya “Islam radikal” mendukung perjuangan partai-partai Islam di lembaga legislatif, misalnya sidang  MPR yang lalu. Tapi , titik berat perjuangan kelompok “Islam radikal” itu adalah aksi-aksi ekstra-parlementer, misalnya dalam sidang dengan rapat umum, demonstrasi dan bahkan aksi-aksi sweeping yang mengerikan. Front Pembela Islam um umpamanya, bercirikan  menghancurkan tempat-tempat maksiat. Sedangkan Laskar Jihad bahkan turun  ke medan laga dan ikut berperang membela dan melindungi saudara-saudara muslim  Ambon dan Poso yang dibantai Oleh umat Kristen

Pendirian mereka yang didasarkan argumentasi yang bertolak dari ayat-ayat Al-Quran dan Hadis, sebenarnya  cukup rasional misalnya perintah Allah dalam Al-Quran agar umat Islam secara literal dan ahistoris. Selain itu, mereka juga tidak mengakui kenyataan pluralistis dari masyarakat. Sebaliknya golongan moderat menempatkan diri mereka di tengah-tengah dunia modern, yang plural dan kompleks. Karena itu, ajaran Islam mestilah ditafsirkan secara kontekstual.

Dua aliran dalam Islam tersebut agaknya sulit didamaikan. Jika syariat Islam dilaksanakan secara literal, maka tak dapat dihindari terjadinya konflik, bukan hanya dengan umat lain, tetapi antara umat Islam sendiri. Tetapi relakah kalangan radikal dengan syariat Islam lewat penafsiran yang kontekstual? Sudah bisa  dijawab. Hanya, sejauh ini interaksi antara kalangan-kalangan yang berbeda dalam Islam sebenarnya belum terhitung intensif. Belum pernah dilakukan diskusi silang yang menyangkut inti permasalahan. Memang tidak ada jalan kecuali dengan duduk bersama, jika memang kaum muslimin, yang terkotak-kotak dalam pelbagai label itu, adalah umat yang satu.

Sumber: Majalah Panjimas, 13-25 Desember 2002.

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda