Ads
Muzakarah

Antara Jihad dan Provokasi

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Ketika terjadi kerusuhan di suatu tempat yang melibatkan antarumat beragama, seperti yang terjadi Maluku, Papua, Sulawesi dan tempat-tempat lainnya, muncul seruan jihad di kalangan kaum muslimin. Provokator pun bergentayangan di mana-mana. Isu-isu tak bertanggung jawab pun menyebar secara leluasa. Ustadz, apakah kita harus memerangi nonmuslim sebagai wujud solidaritas kepada saudara-saudara kita yang sedang berkonflik dengan umat lain di suatu tempat? Dengan kata lain, apakah cukup perang antarpemeluk agama di suatu daerah menjadi pembenar untuk mengobarkan jihad di seluruh Indonesia, seperti yang diimbau atau digalakkan kalangan tertentu?  Saya perlu tanyakan ini, karena seruan jihad itu juga didengungkan oleh orang-orang yang dikenal ahli agama. Apa pula hukumnya menjadi provokator untuk menerbitkan kebencian kepada nonmuslim dan memicu pembakaran rumah ibadah agama lain?

Adi di Jawa Timur

Jawaban Prof. Dr. KH Ali Mustafa Yakub

Di Indonesia ini jihad kadang diposisikan secara rendah. Rhoma Irama, misalnya, pernah mengaku berjihad. Lho, jihad kok pakai gitar. Jihad itu tinggi kedudukannya. Baru membakar warung remang-remang dibilang jihad. Saya khawatir kalau jihadnya seperti itu, yang terjadi adalah kekacauan.

Dalam Islam, ada kondisi perang, ada kondisi damai.  “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangimu, dan jangan melewati batas (QS 2: 180). Kalau mereka tidak memerangi kita, tidak boleh kita menyerang mereka, membakar tempat ibadah mereka, merusak dan menjarah milik mereka. Ada sementara ahli tafsir yang bahkan berpendapat, memerangi orang yang tidak memerangi kita tergolong melewati batas, seperti disebut dalam ayat tadi.

Dalam sejarah, ada kalanya Nabi memerangi orang-orang Nasrani, seperti yang terjadi pada Perang Mu’tah. Karena tersiar kabar orang-orang Nasrani yang di bawah kerajaan Bizantium sedang bersiap menyerang kaum muslim, Nabi menyongsong mereka di tengah jalan. Tapi di pihak lain, Nabi tidak pernah mengusik orang-orang Nasrani Najran (Yaman) karena mereka tidak melakukan permusuhan. Orang-orang Yahudi juga biasa keluar-masuk rumah beliau dengan damai.

Menurut saya, cobalah ikuti petunjuk Nabi. Beliau itu tidak pendendam. Di antara ciri-ciri muttaqin (orang-orang bertakwa) adalah, “… dan orang-orang yang mengekang emosi dan memaafkan orang lain…” (QS 3:134).

Pernah dalam suatu peperangan, Nabi tertidur di bawah pohon, sementara pedangnya tergantung di dahan. Seorang lelaki kafir mengendap-endap, mengambil pedang itu, dan menodongkannya ke tubuh Nabi.

“Siapa yang bisa membelamu dari aku. Muhammad?”

“Allah!”

Mendengar jawaban Nabi ini, sontak lelaki tadi bergetar tubuhnya, pedang pun lepas. Nabi memungut senjata itu, lalu balik menodong lelaki tersebut.

“Siapa yang membelamu sekarang dari aku?”

“Tidak ada,” jawabannya sambil ketakutan.

Hari itu masih hari pertempuran, meski telah memasuki waktu jeda karena sore menjelang. Seharusnya, absah saja kalau Nabi menebaskan pedangnya ke tubuh lelaki malang tadi. Tapi beliau tidak melakukan itu. Para ahli menduga, Nabi khawatir perbuatannya karena didasari dendam pribadi.

Saudara Adi, kadang orang membaca ayat secara terpotong. Misalnya, “Dan perangilah mereka (orang-orang musyrik) sampai tidak ada fitnah dan agama seluruhnya bagi Allah” (QS. 2: 193. Mereka mengartikan fitnah di situ sebagai syirik sehingga orang kafir hendak dibunuhi semua. Padahal terusan ayat ini adalah, “Tapi, jika mereka berhenti, maka tidak ada permusuhan kecuali pada orang-orang lalim.” Lagi pula, penafsiran seperti itu bertentangan dengan firman Allah, “Dan jika menghendaki Allah, akan berimanlah orang-orang di bumi seluruhnya. Lalu apakah kamu (hendak) memaksa manusia sampai mereka menjadi mukmin semuanya?” (QS 10:99)

Provokator itu kelakuannya mengadu domba, namimah dalam Bahasa Arab. Itu jelas berdosa. Provokator itu tidak ada Tindakan. Tapi akibatnya bisa macam-macam. Mungkin pembakaran, mungkin malah pemberontakan.

Apa sanksinya? Dalam hukum Islam ada hukuman hadd, ada hukuman ta’zir (penjeraan). Hadd adalah hukuman yang sudah ditentukan bentuknya dan kadarnya (potong tangan, misalnya), sedang ta’zir tidak ada ketentuan jelasnya. Tapi ta’zir bisa saja melebihi hukuman hadd, tergantung kemaslahatan umum. Pengedar narkoba, misalnya, bisa saja dihukum mati. Begitu pula dengan provokator, bisa dihukum berat atau ringan, tergantung bagaimana kemaslahatan umum menghendaki, tergantung akibat yang ditimbulkan.

Prof. Dr. KH Ali Musthafa Ya’qub  (19522006), pengasuh Ma’had Pondok Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah, Jakarta. Guru Besar Ilmu Hadis Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) ini pernah menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, dan anggota Komisi Fatwa MUI Pusat. Sumber: Majalah Panji Masyarakat, 9 Februari 2000

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda