Kata sejarawan, di Madinah Muhammad tidak membangun sebuah negara. Juga tidak menyatukan bangsa Arab. Dia mengambil alih rezim yang sudah ada, memodifikasinya, mengenalkan beberapa perubahan yang mungkin, tetapi dengan kepemimpinannya yang tinggi tidak pernah kehilangan pandangan kepada tujuan akhirnya.
Abu Thalib hidup miskin dan banyak anak. Karena itu, ketika suatu hari mendapat info bahwa Khadijah binti Khuwalid membuka lowongan untuk orang-orang yang bisa mengurusi perdagangannya, ia memanggil Muhammad, menanyakan apakah sang keponakan bersedia bekerja pada salah seorang terkaya Mekah itu. Muhammad yang sejak kematian kakeknya Abdul Muththalib, menjadi tanggungan Abu Thalib, mafhum adanya. Hanya Abu Thalib masih merasa perlu bernegosiasi lebih dulu dengan Khadijah karena upah yang ditawarkan, dua ekor anak unta untuk sekali jalan, dianggapnya murah. Mantan saudagar ini minta honor dinaikkan, paling tidak menjadi empat ekor.
Jawaban Khadijah sudah kita ketahui dari tulisan sebelum ini (baca: panjimasyarakat.com/2019/04/28/ibunda-orang-beriman): “Abu Thalib”, jawab Khadijah. “Umpama permintaanmu itu buat orang yang jauh dan tidak kusukai, tetap saya katakan. Apalagi buat orang yang dekat dan aku sukai”. Memang siapa yang tidak kesengsem oleh pemuda Muhammad yang digelari Al-Amin (Sang Terpercaya) oleh warga Mekah itu.
“Ini rezeki Tuhan kepadamu,” kata Abu Thalib kepada Muhammad, menyampaikan hasil pertemuannya dengan sang bos.
Waktu itu Muhammad berusia 25. Dan sudah “menemukan dunia” di padang gembalaan. Di sinilah ia merasakan nikmatnya berpikir dan merenung, sambil menggembalakan kambing. Andai Muhammad dibiarkan saja begitu, kata Haekal, tentu ia tak akan tertarik kepada harta. Ia akan berbahagia dengan cara seperti para gembala pemikir yang sudah melebur dengan alam.
Tapi Abu Thalib hidup miskin dan banyak anak. Inilah yang mengantarkan Muhammad ke “dunia nyata”, sambil menyelami kenyataan-kenyataan masyarakatnya — dan kemudian menjadi “aktivis”. Menurut Shaban itu memang lewat perdagangan. Kata sejarawan Universitas Oxford ini, studi mengenai aktivitas Muhammad tanpa memasukkan faktor perdagangan sama saja dengan mengkaji Kuwait atau Arab kontemporer tanpa perhatian faktor minyak.
Disebutkan, pada paruh pertama abad ke-6, Mekah menjadi makmur setelah dua adikuasa (Bizantium dan Persia) gagal mendominasi jalur perdagangan antarbangsa di Jazirah. Mekah memang strategis — di persimpangan kota ini juga memiliki tenaga-tenaga ahli, hubungan-hubungan, dan surplus komoditas yang bisa disalurkan ke pusat luar negeri.
Ketika Muhammad muncul di dunia bisnis, ada satu tendensi di Mekah: kekayaan terpusat pada sebagian kecil penduduk, tanpa peluang pada kebilah-kabilah, miskin. Pada gilirannya ini bisa membawa malapetaka, bukan saja bagi Mekah tetapi juga bagi suku-suku lain yang menggantungkan hubungan dagangnya pada kota itu. Karena itu menurut Shaban, Muhammad merasa perlu melakukan reformasi.
Langkah awal: revolusi dalam sistem itu sendiri. Secara konsisten ia menganjurkan kaum Quraisy menata keadaan mereka lebih dahulu. Menimbun harta berlebihan tanpa memperhatikan kesejahteraan dan bahkan menganiaya lapisan sosial yang lemah, itu nista adanya. Kerja sama kaya-miskin merupakan dasar seluruh ajaran Muhammad, sebagaimana cinta kasih merupakan dasar ajaran Kristus, demikian Shaban.
Namun itu menuntut pengorbanan lapisan kaya Quraisy. Dan meskipun di antara pengikut awal Muhammad s.a.w terdapat beberapa hartawan, seperti Usman ibn Affan, usaha beliau di sana, 13 tahun lamanya, menghadapi hadangan luar biasa, Perang ekonomi dilancarkan kepada para pengikut beliau; bahkan musuh-musuh dari klan besar memberlakukan boikot ekonomi kepada kaum beliau. Dengan mengirimkan sejumlah pengikut ke Abbesinia, Muhammad mencoba menjalin hubungan dagang ke sana, tetapi secara cepat kaum Quraisy memotong usaha itu.
Akhirnya Muhammad mencari dukungan ke luar. Ia berangkat ke Thaif. Namun reaksi yang didapat malah lemparan batu dari penduduknya. Juga dengan kabilah-kabilah yang berkunjung ke Makkah untuk perdagangan musim haji. Tidak satu pun yang merasa cukup kuat untuk menentang Quraisy dan para sekutu.
Satu-satunya alternatif, akhirnya hanyalah hengkang dari kota itu. Dan dukungan datang dari penjuru yang nyaris tidak pernah diduga: Yatsrib, yang nanti akan bernama Madinah — Madinatun Nabi atau Madinatul Munawarah, Kota Nabi atau Kota yang Benderang. Orang Madinah tidak pernah terlibat dalam perdagangan di Mekah, atau menjadi sekutunya. Madinah punya permasalahannya sendiri. Penduduknya tidak homogen, dan selalu ada ketegangan antara dua kabilah besar — Aus dan Khazraj — yang selalu berkompetisi menguasai kota dan sumber dayanya yang kebanyakan dicengkram kekuatan Yahudi.
Mengingat hubungan erat antara Yahudi Madinah dan Yahudi lainnya di Jazirah bisa disimpulkan bahwa jaringan perdagangan Yahudi memang sudah terbentuk waktu itu. ini dapat menjelaskan mengapa tidak ada kegiatan perdagangan antara Mekah (yang pribumi) dan Madinah dalam skala besar.
Nah. Orang Madinah barang tentu menyadari situasi Mekah dan oposisi para pemimpinnya kepada Muhammad. Karena itulah — dan inilah analisis dari luar agama — mereka memberi perlindungan kepada tokoh Quraisy yang menentang kaum Quraisy sendiri, dengan mengundang Muhammad ke kota mereka. Untuk menambah ruwet keadaan, mereka memberikan kedudukan istimewa sebagai juru damai kepada Nabi. Madinah, kelak, mengunguli Mekah.
Kata Shaban, di Madinah Muhammad tidak membangun sebuah negara. Juga tidak menyatukan bangsa Arab. Dia mengambil alih rezim yang sudah ada, memodifikasinya, mengenalkan beberapa perubahan yang mungkin, tetapi dengan kepemimpinannya yang tinggi tidak pernah kehilangan pandangan kepada tujuan akhirnya. Dan selalu berhasil. Perubahan-perubahan halusnya punya pengaruh sangat kuat. Itu bukan saja membawa kemenangan bagi revolusi moderatnya, tapi juga bagi keberhasilan pembentukan sebuah agama besar dunia.
Sumber: M.A. Shaban, Islamic History, A New Interpretation Vol. I (1976).