Masyarakat kita bisa disebut tidak pernah sepi, selalu saja ada hal yang menjadi daya tarik untuk dilihat, diperhatikan dan dipermasalahkan. Di tengah berita Covid 19 yang tampaknya punya trend melandai, kita disuguhi suatu, sebutlah “pertikaian” di antara para tokoh-tokoh terpandang.
Saat ini kita bagai menyaksikan para “pendekar dan jawara” ahli hukum bertarung. Dipicu langkah pakar hukum tata negara Prof. Yusril Ihza Mahendra. Ia rupanya, mengejutkan banyak orang ketika tampil tanpa diduga menjadi pengacara eks kader Partai Demokrat kubu KLB Deli Serdang di bawah pimpinan ketua terpilih Moeldoko.
Partai berlambang mercy ini memang sejak beberapa bulan terakhir sedang dirundung masalah. Setelah beberapa kadernya melaksanakan KLB di Sibolangit, Deli Serdang, Sumut, yang memilih kepala KSP Moeldoko, partai besutan SBY ini mengalami kisruh dan gaduh. Namun, akhirnya berhasil diselesaikan dimana pemerintah melalui Kemenhukham hanya mengakui Partai Demokrat yang dipimpin Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai Partai Demokrat yang sah.
Rupanya, ini tidak menimbulkan kepuasan para kader Partai Demokrat yang tersingkir tersebut. Mereka, saat ini terus berjuang untuk mendapat pengesahan yaitu dengan mengajukan judicial review AD/ART Partai Demokrat ke Mahkamah Agung. Untuk itu mereka menggandeng pengacara kondang Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra untuk menggugatnya.
Kesediaan Yusril Ihza Mahendra membela kubu PD versi KLB Deli Serdang menimbulkan pertanyaan banyak pihak. Dari sudut hukum saja PD versi KLB sudah dianggap tidak sah karena tidak mendapat pengakuan dari Kemenhukham. Sehingga ada kesan PD yang dipimpin mantan Pangab ini ilegal. Karena itu Yusril sebagai pakar hukum ternama dikesankan kurang tepat memilih klien.
Ada beberapa isu yang dipublikasikan misalnya soal jasa konsultan hukum yang diminta Yusril sangat tinggi. Tetapi, pertanyaan mendasar adalah bahwa posisi Yusril Ihza sebagai pengacara kelompok PD Moeldoko dinilai tidak pas.
Kedua, cukup menjadi tanda tanya pula bahwa dengan kedudukan Yusril sebagai pengacara dan juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang menimbulkan dilema yang sulit. Mungkin agak lain masalahnya jika yang diperkarakan bukan soal AD/ART, tetapi karena yang di judicial review masalah AD/ART partai ini menjadi pertanyaan etis. Apakah AD/ART Partai PBB sudah sempurna sehingga kok ikut mengusik AD/ART partai orang lain. Jika judicial review ini diterima oleh MA, bisa menjadi preseden bagi yang lain untuk menggugat AD/ART partai lainnya. Demikian juga karena Prof. Yusril orang partai, dugaan bisa saja terjadi adanya konflik of interest, jika dikaitkan sekarang ini bahwa dalam partai pun ada pembelahan atau sikap politik terhadap yang pro dan yang kontra terhadap pemerintah. Maka, dirasakan menjadi amat dilematisnya persoalan dan posisi Yusril Ihza dalam menangani dan membela PD versi Moeldoko sekarang ini.
Meski Prof.Yusril mengatakan bahwa ia profesional menangani persoalan hukum, aroma politik dalam kasus ini tentu sangat sulit diyakinkan baik ke masyarakat sendiri maupun di kalangan politisi. Atau, mungkinkah Yusril bersedia menangani karena pertimbangan bayaran atau jasa yang dari segi nominal juga sangat besar, 100 miliar. ini suatu kemungkinan juga di tengah suasana pandemi yang tentu berpengaruh kepada income dan pendapatan para jasa lawyer dan kantor hukum. Semua ini hanya Prof Yusril Ihza yang mengetahui secara pasti.
Langkah yang dilakukan Prof. Yusril juga telah mengundang pendapat Prof. Mahfud MD, seorang yang juga ahli hukum tata negara, Menteri Polhukam dan pernah menjabat Ketua MK. Menurut Mahfud, secara hukum gugatan Yusril Ihza Mahendra tidak akan ada gunanya. Kalaupun Yusril menang tidak akan menjatuhkan Partai Demokrat yang sekarang. Mahfud nenilai kepengurusan Partai Demokrat yang diakui oleh Kemenhukham saat ini tetap berlaku meski nantinya Yusril memenangkan gugatan di MA. Mahfud mengakui langkah Yusril menggugat AD/ART Partai Demokrat ke MA merupakan terobosan hukum, tapi salah alamat.
” Seharusnya Yusril menggugat SK Menteri Hukum dan HAM yang mengesahkan AD/ART dan kepengurusan Partai Demokrat 2020-2025 ke PTUN. Langkah itu bisa diambil jika hendak merubah kepengurusan Demokrat yang diakui Kemenhukham. ” Ya tidak bisa dong, kok MA membatalkan AD/ART, kalau mau disalahkan, salahkan menterinya yang mengesahksn . Artinya, SK menterinya itu yang diperbaiki,” sarannya.
Ahli hukum tata negara yang lain Prof. Jimly Asshiddiqie menyayangkan kalau Yusril Ihza Mahendra sebagai pengacara dan ketum partai menggugat AD/ART partai. Menurutnya, partai politik merupakan pilar utama dan saluran aspirasi rskyat, yang dalam UUD 1945 juga menjadi peserta pemilu yang mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil
presiden. Parpol juga lembaga publik yang memiliki aturan internal yaitu AD/ART partai. “Jika uji materi ini dikabulkan, maka AD/ART partai lain bisa juga digugat,” ujarnya
Anggota DPD RI ini juga menyinggung soal rangkap jabatan sebagai ketum partai dan pengacara. Menurutnya, perlu diingat juga tegaknya hukum dan keadilan harus seiring dengan tegaknya etika bernegara.
“Meski undang-undang tidak eksplisit melarang advokat jadi ketum partai , etika kepantasan sulit menerima, apalagi mau persoalkan AD/ART parpol orang lain. Meski hukum selalu mesti tertulis, kepantasan dan baik buruk cukup dengan sense of ethics,”tegas Jimly, yang juga mantan Ketua MK ini.
Hukum dan politik memang tampaknya harus dipisahkan dengan tegas. Sering orang mengkritik hukum yang diintervensi oleh politik tidak menjamin tegaknya keadilan. Rasanya, seorang pengacara yang berjuang untuk keadilan berfikir ulang untuk aktif di dunia politik. Politik orientasinya kekuasaan, sedangkan hukum pilihannya keadilan. Bisakah pengacara -politisi mengkombinasikan keduanya. Kasus ini telah membuka wacana , perenungan dan pencerahan buat kita. Tetapi, orang akan selalu berharap hadirnya pengacara pejuang keadilan dan HAM. Tiap waktu dan masa.