Ads
Bintang Zaman

Lafran Pane, Penghimpun dan Edukator Leadership Bangsa (1)

Avatar photo
Ditulis oleh Iqbal Setyarso

Merancang organisasi kemahasiswaan yang mengedukasi leadership, bagi kita sekarang, jelas pemikiran jenial. Maka bangsa ini tidak kekurangan pemimpin di semua level. Dan kaderisasi organisasi ini pernah dikatakan “sudah mati”. Justru sebaliknya, gelombang kebutuhan pemutahiran teknik dan substansi kaderisasi mengemuka. Maka tidak salah merujuk sosok pendiri organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) untuk mengawalinya.

Sebagai organisasi besar, pada saatnya, HMI pun dilirik kekuatan politik. Berkat ke-istiqomah-an para pegiat organisasi ini, keteladanan pendiri mereka pegang kuat-kuat untuk menjaga independensi organisasi. Bahkan independensi menjadi salah satu konten penting dalam paket materi kaderisasi organisasi, sebelum mengetengahkan teori-teori kepemimpinan lainnya. Ya, ketika Lafran Pane mendirikan HMI tahun 1947 yang silam, ia mendesain agar HMI tetap independen. Garis ini diambil agar HMI tidak akan mudah diombang-ambingkan oleh kepentingan politik, baik oleh pihak di dalam HMI sendiri maupun pihak luar. Lantaran itu, Lafran tak pernah bersedia menjadi anggota parpol. Ketika Golkar dan PPP menawarinya menjadi pimpinan partai, Lafran menolaknya mentah-mentah. Penolakan ini juga terjadi ketika ia ditawari menduduki posisi strategis pemerintahan. Prinsip untuk menjaga independensi HMI itu juga ia tunjukkan selama rezim Orde Baru.

Suatu ketika, Presiden Soeharto—atas masukan Akbar Tandjung—meminta Lafran menjadi salah satu jajaran Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Tapi, permintaan itu bukan tanpa syarat. Lafran bisa diangkat jika berstatus sebagai perwakilan dari Partai Golkar. Tentu saja, Lafran menolaknya. Ketika disodori formulir yang di dalamnya terdapat kolom keterangan sebagai anggota Partai Golkar, ia mengosongkan kolom itu dengan konsekuensi tidak jadi diangkat. Bagi Lafran, dari pada berstatus sebagai anggota parpol, mending tak usah menjadi DPA.

Meski utusan Soeharto berusaha merayunya berkali-kali, sikap Lafran tetap kukuh. Soeharto yang mendengar sikap Lafran akhirnya melunak. Lafran akhirnya diangkat menjadi satu-satunya anggota DPA yang tidak berasal dari perwakilan parpol. Kelak, papan nama di ruang kerja Lafran tidak bertuliskan perwakilan dari parpol tertentu, seperti anggota DPA lainnya, tetapi bertuliskan: Lafran Pane—Alumni HMI.

Sosok Bersahaja

Beberapa saat sebelum ia dilantik menjadi anggota DPA, ia yang sudah sampai di Jakarta didatangi orang DPA untuk diukur dan dibuatkan jas pelantikan. Lafran tak bersedia.

“Masak orang belum bekerja dibikinkan jas”, ujarnya kepada Senoaji, teman sekaligus orang yang sering membantunya.

“Kenapa Pak? Itukan fasilitas”.

“Ah, tak pantas itu. Sudahlah, aku minta tolong kau ke Jogja, ambilin jas aku”. Senoaji pun mengiyakan permintaan Lafran, tetapi dicegah oleh alumni HMI. Malam harinya, alumni-alumni HMI perlu meyakinkan Lafran dalam sebuah pertemuan. Lafran akhirnya bersedia ‘meminjam’ jas DPA, bukan menerimanya.

Saat menjadi anggota DPA, kesederhanaan Lafran tidak berubah. Suatu ketika, ia menceritakan bahwa honorarium yang ia terima sebagai anggota DPA terlalu tinggi. “Buat apa uang sebesar itu?”. Konon, seorang ibu dari KAHMI (Korps Alumni HMI) yang berdiri di sekitar Lafran kemudian berbisik ke temannya, “Kasihkan gue biar habis di Pasar Baru”. Kisah ini terekam dalam sebuah acara syukuran di rumah Akbar Tandjung.

Kehidupan Lafran sejak kecil memang keras. Ia terbiasa hidup mandiri dengan berjualan es sampai kartu bioskop. Inilah yang barangkali mengakar sampai masa tuanya. Lafran menjadi pribadi yang risih menerima pemberian orang, apalagi pemberian dari Negara yang dulu ia ikut perjuangkan kemerdekannya.

Ketika Lafran mengajar di IKIP Jogjakarta, saat alumni-alumni HMI sudah pada naik mobil, Lafran sehari-hari masih ngontel. Rumah pun tidak punya. Masih ngontrak. Alumni HMI di Jakarta yang sudah mapan dan prihatin ingin membelikannya rumah dan mobil. Namun, Lafran menolak keras. Beberapa kali, Iqbal Pane—anak Lafran mengajukan beasiswa ketika kuliah untuk meringankan beban orangtuanya, tapi Lafran justru marah dan melarangnya. Menurutnya, masih banyak orang yang lebih pantas mendapatnya.

Tidak mudah memberikan bantuan kepada Lafran, bahkan bantuan dalam ukuran normal sekalipun. Tahun 1974, mahasiswa di IKIP Jogjakarta—tempat Lafran mengajar—menuntut rektornya mengundurkan diri. Kebetulan, sebagian besar dari mereka adalah anggota HMI. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu menuduh Lafran—yang sama sekali tak ikut campur—sebagai dalang dari aksi tersebut. Lafran lalu dinonaktifkan dari segala tugas di fakultasnya, dipindahkan ke UII Yogjakarta, serta diberi gaji-pensiun dan tunjangan guru besar. Tak terima, dosen-dosen HMI berencana mengundurkan diri sebagai bentuk dukungan kepada Lafran. Lafran juga ditawari menjadi rektor sebuah IKIP di Luar Jawa. Namun, Lafran lagi-lagi menolaknya.

Tekanan kepada Lafran semakin keras ketika Rektor IKIP Jogjakarta sudah diganti. Lafran dituntut untuk mengembalikan tunjangan jabatan yang diterimanya selama non-aktif. Lukman Hakiem, yang saat itu menjadi Ketua Korkom HMI IKIP Jogjakarta, dan kawan-kawannya ikut tersulut emosinya. Mereka buru-buru mendatangi Lafran di kediamannya dan menawarkan protes atas ketidakadilan itu. Namun, Lafran justru mencegahnya, “Untuk apa?”.  Ia bahkan berkilah bahwa hidupnya saat itu sudah bahagia.

Lafran Pane, pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)

Enggan atas Apresiasi

Lafran juga tak begitu suka mengakui jasa-jasanya. Pasca kejadian G30S 1965, Lafran berkunjung ke Kongres HMI ke-8 tahun 1966 di Solo. Sesampai di arena kongres, penjagaan sangat ketat. Siapapun yang memasuki arena Kongres harus menggunakan tanda pengenal atau surat keterangan sebagai delegasi. Di pintu penjagaan, panitia kongres yang bertugas sama sekali tidak ada yang mengenalinya—meski sudah sering mendengar namanya.

Kebetulan, Lafran tak membawa tanda pengenal dan tentu saja sebagai alumni tak memiliki keterangan sebagai peserta. Lafran pun ditahan di pintu masuk. Rombongan Pengurus Besar HMI yang kebetulan datang melihat kejadian ini. Dengan penuh haru bercampur geli, mereka pun memberitahu ke panitia bahwa yang mereka tahan adalah Lafran Pane, pemrakarsa pendirian HMI. Ketika penjaga pintu mempersilahkan Lafran Pane masuk, sikap Lafran biasa saja, seolah memaklumi.

Pada tahun 1974, Lafran mendatangi Konfercab HMI Cabang Yogyakarta dan, lagi-lagi, para peserta tidak ada yang mengenali pendirinya yang delapan tahun sebelumnya (1966) sudah dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Tata Negara di Fakultas Keguruan Ilmu Sosial IKIP Yogyakarta ini. Sosok yang duduk di belakang peserta itu pun dicuekin kader-kader organisasi yang dahulu ia dirikan itu.

Lafran seolah menikmati keadaan ini. Usut punya usut, sebagian besar peserta Konfercab bahkan mengiranya sebagai intel. Ketika salah satu Ketum Komsariat HMI yang kenal Lafran lantas memberitahu kepada teman-temannya bahwa inilah “Lafran Pane—pendiri HMI”, sikap Lafran tetap dingin. Seolah tidak ada yang aneh.

Selama hidupnya, Lafran konsekuen tak mau ditonjol-tonjolkan. Ketika Lukman Hakiem Syaifuddin menawarkan untuk menuliskan birografinya, Lafran tak bersedia. Lafran juga tak bersedia ketika diminta menuliskan sejarah HMI. Menurutnya, hasilnya akan subjektif. Lafran bahkan tak mau diaku sebagai pendiri HMI, meski telah didesak berkali-kali.

Paling banter, ia hanya mau disebut sebagai pemrakarsa berdirinya HMI. Kesediaan Lafran ini kemudian ditetapkan melalui Kongres HMI yang ke XI di Bogor 1974. Lafran memang menghindari segala upaya personifikasi HMI terhadap dirinya. Sampai-sampai, tanggal lahirnya yang sesungguhnya bertepatan dengan berdirinya HMI (5 Februari) Lafran ubah menjadi 12 April 1923.

Biografi Lafran Pane

Namanya Lafran Pane. Lahir di kampung Pagurabaan, Kecamatan Sipirok, yang terletak di kaki gunung Sibual-Bual, 38 kilometer ke arah utara dari Padang Sidempuan, Ibu kota kabupaten Tapanuli Selatan. Sebenarnya Lafran Pane lahir di Padang Sidempuan tanggal 5 Februari 1922. Untuk menghindari berbagai macam tafsiran, karena bertepatan dengan berdirinya HMI Lafran Pane mengubah sendiri tanggal lahirnya menjadi 12 April 1923.

Sebelum tamat dari STI Lafran pindah ke Akademi Ilmu Politik (AIP) pada bulan April 1948. Setelah Universitas Gajah Mada (UGM) dinegerikan tanggal 19 Desember 1949, dan AIP dimasukkan dalam fakultas Hukum, ekonomi, sosial politik (HESP).

Dalam sejarah Universitas Gajah Mada (UGM), Lafran termasuk dalam mahasiswa-mahasiswa yang pertama mencapai gelar sarjana, yaitu tanggal 26 Januari 1953. Dengan sendirinya Drs. Lafran Pane menjadi Sarjana Ilmu Politik yang pertama di Indonesia.

Mengenai Lafran Pane, Sujoko Prasodjo dalam sebuah artikelnya di majalah Media nomor : 7 Thn. III. Rajab 1376 H/ Februari 1957, menuliskan :

Sesungguhnya, tahun-tahun permulaan riwayat HMI adalah hampir identik dengan sebagian kehidupan Lafran Pane sendiri. Karena dialah yang punya andil terbanyak pada mula kelahiran HMI, kalau tidak boleh kita katakan sebagai tokoh pendiri utamanya”.

Sejarah Pendiri HMI (Himpunan Mahasiswa Islam)

Semasa di STI inilah Lafran Pane mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam (hari Rabu Pon, 14 Rabiul Awal 1366 H /5 Februari 1947 pukul 16.00). HMI merupakan organisasi mahasiswa yang berlabelkan “Islam” pertama di Indonesia dengan dua tujuan dasar.

Pertama, Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Kedua, Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. Dua tujuan inilah yang kelak menjadi pondasi dasar gerakan HMI sebagai organisasi maupun individu-individu yang pernah dikader di HMI.

Jika dinilai dari perspektif hari ini, pandangan nasionalistik rumusan tujuan tersebut barangkali tidak tampak luar biasa. Namun jika dinilai dari standar tujuan organisasi-organisasi Islam pada masa itu, tujuan nasionalistik HMI itu memberikan sebuah pengakuan bahwa Islam dan Keindonesiaan tidaklah berlawanan, tetapi berjalin berkelindan.

Dengan kata lain Islam harus mampu beradaptasi dengan Indonesia, bukan sebaliknya. Hal itu dicetuskan pada Kongres Muslimin Indonesia (KMI) 20-25 Desember 1949 di Jogjakarta yang dihadiri oleh 185 organisasi alim ulama dan Intelegensia seluruh Indonesia. (Bersambung)

Tentang Penulis

Avatar photo

Iqbal Setyarso

Wartawan Panji Masyarakat (1997-2001). Ia antara lain pernah bekerja di Aksi Cepat Tanggap (ACT), Jakarta, dan kini aktif di Indonesia Care, yang juga bergerak di bidang kemanusiaan.

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading