Ads
Relung

Mendakwahkan Islam yang Damai

Avatar photo
Ditulis oleh A.Suryana Sudrajat

Keberhasilan Taliban yang kembali menguasai Afghanistan telah menimbulkan sejumlah kecemasan. Juga di Indonesia. Di antaranya adalah bangkitnya fundamentalisme Islam yang digelorakan para pendukung “negara Islam” (islamic state), yang dalam aksi perjuangannya selalu diwarnai dengan kekerasan dan bahkan terorisme. Dan tentu saja, untuk membangkitkan semangat “jihad” tersebut, para pendukung gerakan ini akan kembali mengumandangkan ayat-ayat suci yang dijadikan sebagai landasan aksi-aksi mereka.    

Pada gilirannya, sebagaimana Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS/Islamic State in Iraq and Syria), kebangkitan Taliban   bisa dibaratkan sebagai  bahan bakar yang terus menghidupkan api kecurigaan, bahwa di dalam Islam terdapat doktrin atau ajaran yang membenarkan bahkan mendorong para pemeluknya untuk melakukan tindakan kekerasan. Kecurigaan semacam ini bisa dipahami karena agama termasuk sumber motivasi penting dalam kehidupan para pemeluknya. Oleh karena itu, sikap intoleransi dan tindakan kekerasan yang dilakukan sementara kaum muslimin dengan mengusung bendera agama kerap dikaitkan dengan teks-teks suci yang bisa ditafsirkan sebagai sumber legitimasi untuk melakukan tindakan kekerasan. Inilah yang kemudian menyuburkan bibit-bibit ekstremisme, radikalisme atau bahkan terorisme. Padahal, pada umumnya kaum Muslim meyakini bahwa Islam merupakan agama yang ramah, menghargai keanekaragaman, serta pembawa rahmat bagi semesta alam.

Syahdan, dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang potensial disalahtafsirkan untuk membenarkan tindakan kekerasan. Misalnya,  ayat yang menyatakan,   bahwa mereka yang tidak mendasarkan kehidupannya pada hukum Allah, maka mereka termasuk orang yang zalim, kafir dan sebagainya. Begitu pula dengan ayat yang memerintahkan untuk memeluk agama Allah secara total atau kaaffah. Ayat lainnya yang juga kerap dijadikan rujukan adlah yang  menyebutkan bahwa Allah menyuruh kaum Muslim  untuk berlaku kasih sayang terhadap sesama muslim, tetapi bertindak keras terhadap kaum kafir. Bahkan, ayat bahwa dalam harta seseorang terhadap hak orang lain, pun ditafsirkan, bahwa   mengambil secara paksa dan tidak sah harta seseorang  itu dibolehkan.

Kita berpendapat, bahwa ayat-ayat di dalam Kitab Suci tersebut tidak seharusnya ditafsirkan secara literer alias harfiah serta dimaknai secara legal-formalistik, tetapi dipahami secara kontekstual. Yakni dalam konteks dialektika budaya dan sejarah, dan dengan demikian kita bisa memperoleh esensi dan substansi pesan yang terkandung dalam teks-teks doktrinal tersebut. Model penafsiran seperti ini, tidak bisa tidak, memang lebih mengedepankan rasionalitas dalam memahami teks-teks keagamaan.

Harus diakui memang, ekstremisme dan radikalisme pada sementara kalangan muslimin yang melahirkan sikap intoleran, dan mewujud dalam bentuk-bentuk kekerasan bahkan tindakan teror yang mengusung bendera Islam dan teriakan takbir itu, tidak hanya bermula dari kekeliruan dalam menafsirkan teks-teks suci. Faktor-faktor sosiologis akibat modernisasi danusnya itu,  globalisasi, politis dan ekonomis, ikut pula menyuburkan bibit-bibit ekstremisme dan radikalisme di kalangan kaum muslimin.

Sebagian kaum muslimin, juga di Indonesia, ada yang berkeyakinan bahwa pelaksanaan syariat Islam, meskipun sampai sekarang belum jelas benar seperti apa formatnya, hanya bisa diwujudkan dalam sebuah negara yang secara formal berdasarkan Islam. Suatu hal yang sulit atau bahkan mustahil direalisasikan dalam masyarakat modern yang majemuk dan menganut paham demokrasi.

Bagi kita sendiri, di Indonesia, apa yang disebut negara Islam atau daulah islamiah atau negara berdasarkan Islam sudah selesai adanya. Karena tu, jika di antara segelintir orang yang dengan berbagai cara, termasuk dengan teror, memperjuangkan terbentuknya  sebuah daulah islamiah  dan seterusnya itu, boleh jadi hal itu berangkat dari penafsirannya yang sempit dalam memahami ajaran agama yang mereka anut. Atau sangat boleh jadi karena faktor-faktor sosiologis, politis, ekonomis sebagaimana sudah disebutkan. Oleh karena itu pula, menjadi tugas kita bersama untuk mewujudkan kehidupan yang berkeadilan, selain mendakwahkan Islam yang ramah, damai – sebagai pembawa rahmat bagi seru sekalian alam. Kita percaya, jika kehidupan di negeri ini kian sumpek, penuh ketidakadilan, apalagi jika disertai dengan pameran kemewahan segelintir orang, maka jangan heran di sini bibit-bibit kekerasan akan bertumbuh subur. Termasuk yang mengatasnamakan agama.

Tentang Penulis

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

1 Comment

  • sejarah guru yang berharga ratusan tahun umat islam menjadi pemimpin dunia seperti di , afrika dan asia bahkan di eropa pada zaman syarat islam di pakai sebagai dasar negara semua orang baik yang muslim maupun non muslim dapat hidup damai ingat ratusan tahun dan bahkan ribuan tahun apakah ini tidak menjadi iktibar bagi umat islam sekaran maupun yang akan datang karena Islam adalah rahmatullil ‘alamin, saya tidak cocok dengan kata hal msutahil syaraiat islam di terapkan dalam dunia yang modern, padahal secara logika saat dunia modern inilah syaraiat Islam perlu diterapkan bukankah negara yang maju (modern) nilai nilai ajaran islam dan syariat Islam mereka terapkan seperti prinsip jujur, adil dan amanat namun mereka menerapkan nilai nilai ajaran Islam dalam bentuk peraturan perundang undangan sementara undang undang ,yang merupakan produk manusia , disisi lain semua nilai kejujuran, keadilan dan amanat telah diperintahkan oleh Allah SWT dalam alqura’an dan hadis telah pulah dilaksanakan secara kaffah oleh Pemerintahan Islam terdahulu

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading