Tafsir

Tafsir Tematik: Para Penguasa dan Para Pemilih (5)

Written by Panji Masyarakat

Wahai orang-orang beriman, patuhilah Allah, patuhilah Rasul dan para pemegang kuasa diimpeach antaramu. Jika kamu berselisih dalam satu perkara, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul kalau memang kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Demikian itu lebih utama dan lebih baik kesudahannya. (Q. 4: 59).

Mosi dan Impeachment

Tapi itu semua berasal dari paradigma lama. Yang dilontarkan Abduh dan Rasyid adalah gagasan baru dalam setting hari-hari kemarin. Yakni dari zaman ketika raja, sultan, khalifah, presiden, adalah segala-galanya. Dalam perkembangan demokrasi kemudian terdapat raja konstitusional yang – sebagaimana semua raja – tidak bisa dimakzulkan kecuali oleh kudeta. Seperti itu juga presiden dalam sistem parlementer, meski hanya sepanjang masa jabatan. Tetapi keteguhan itu tidak membuktikan kekuasaan apa pun selain hanya seremonial menunjuk, mengangkat, dan memberhentikan perdana menteri atas desakan badan legislatif.

Di luar itu, seluruh kebijaksanaan pemerintahan berada bukan di tangan kepala negara melainkan perdana menteri, sebagaimana hak pembuatan undang-undang di tangan parlemen dan kekuasaan peradilan di tangan yudikatif. (Dalam era kekhalifahan Islam, kekuasaan yudikatif terpisah dari wewenang sultan, dan itu efektif lebih-lebih di masa Khulafa Rasyidin). Sementara itu perdana menteri, dan kabinet, bisa sewaktu-waktu dijatuhkan oleh parlemen.  Dalam sistem presidensial, kekuasaan presiden memang mutlak karena ia juga memegang fungsi perdana menteri. Tapi tidak berarti ia kebal hukum: secara teoretis ia bisa jatuh oleh impeachment, yang dahulu mengancam Nixon di Amerika Serikat (akibat skandal Watergate), dan yang di akhir abad ke-20 bisa dilewati Bill Clinton dengan penuh dag-dig-dug. (Tulisan ini tidak menyertakan kasus pelengseran Presiden Abdurrahman Wahid dimakzulkan oleh MPR pada Juli 2001, menyusul kasus Bulogate, karena terbit pada pertengahan Juni 1999, bahkan sebelum Gus Dur terpilih sebagai presiden ke-4 RI pada Oktober 1999, ed).  

Semua itu tidak hanya menerangkan bahwa kekuasaan, pada hasil lebih akhir pemikiran kemanusiaan, dibagi-bagi – hal yang menunjukkan pada relativitas kebenaran-menurut-manusia (bukan kebenaran mutlak), dan yang dalam ajaran Islam diejawantahkan, sebagai starting point kiranya, dalam prinsip musyawarah. (lihat artikel “Musyawarah, Walaupun Gagal”, panjimasyarakat.com).

Tapi dari segi lain, kenyataan itu sendirinya mempertanyakan: karena kekuasaan begitu dibagi-bagi, selain digilir berdasarkan termin, masih relevankah menumpukkan perhatian melulu pada ulul amr, yang makin lama makin buyar pengertiannya sebagai penguasa yang sebenarnya, paling tidak penguasa satu-satunya? Sekadar bandingan: organisasi besar dan modern Ikhwanul Muslimin di Mesir, almarhum (waktu itu organisasi terlarang di Mesir, ed), mengalami kesulitan ketika Hasan Ismail Al-Hudhaibi, pengganti Imam Hasan Al-Banna, dinilai sangat mengecewakan tetapi susah dicopot karena kepemimpinan puncak, seperti ditunjukkan tradisi kekhalifahan, berlangsung seumur hidup (lihat Ishak Mussa Al-Husaini, Ikhwanul Muslimun, terj. Grafitipers, anotasi Syu’bah Asa, 147-153).

Pertanyaan itu sebenarnya tak usah muncul bila yang dipakai adalah definisi Abduh yang bagus sekali dari segi ikhtiarnya menangkap pesan Islam untuk pemerataan kekuasaan, ketika ia membagi-bagi fungsi ulil amr yang juga ahlul halli wal ‘aqdi  demikian rupa, termasuk kepada para “penguasa opini” seperti para pemimpin media massa. Bukankah penguasa, jika demikian, pada akhirnya rakyat juga?

Rakyat menumpahkan kekuasaannya ke dalam sebuah sistem. Adalah Yusril Ihza Mahendra, dalam konteks Indonesia, yang sudah sejak awal menyuarakan hal yang sebenarnya sudah dirasakan agak lama sebelum Reformasi, bahwa yang perlu dibenahi dengan serius adalah sistem. Dalam sistem yang kuat, demikian Yusril kira-kira,  bahkan seorang presiden yang lemah tidak mengundang bahaya. Jika demikian, yang perlu dipelototi ternyata bukan terutama ulul amr yang heboh itu. Melainkan memang sistem – dan proses-proses politik.

Sama sekali tidak berarti bahwa ayat yang kita bicarakan ini kemudian tidak jalan, tentu saja. Perintah patuh kepada Allah dan rasul berlaku sepanjang zaman. Patuh kepada ulul amr, untuk melihat pelaksanaannya di masa hidup Nabi SAW, adalah menaati para amir atau petugas Nabi, para “pemegang perkara”, sebagaimana yang juga disimpulkan sebagian mufasir yang lebih kuat mengaitkan ayat ini dengan masa pertumbuhan Islam.

Dan, bila terjadi perselisihan di antara umat pada masa itu, kembalinya tak lain kepada Nabi (“kepada Allah dan Rasul”), dan bukan kepada para pemimpin kaum atau kabilah atau kepada aturan “main hakim sendiri”. Itu pelajaran yang bukan main bagus, dari Allah untuk manusia, dengan contoh sebuah komunitas yang tadinya begitu liar dan jahiliah dan baru saja mulai diberadabkan dan ditundukkan ke bawah satu wibawa, yang pada akhirnya membentuk masyarakat besar yang disebut negara – dan berikutnya sebuah imperium dunia.     

Bersambung

Penulis: Syu’bah Asa (1943-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat; Sebelumnya bekerja di majalah Tempo dan  Editor. Sastrawan yang pernah menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok ini sempat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).Sumber: Panji Masyarakat, 16 Juni1999

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda