Dalam tulisan Menyambut Hari Konstitusi (1), telah kita bahas keretakan pada sendi-sendi utama kehidupan negara bangsa yang memicu krisis nasional. Gejala-gejalanya sudah mulai kita saksikan dan rasakan pada perilaku individu-individu masyarakat sekarang yang hedonis-individualis, pragmatis –materialis serta narsis, dengan praktek-praktek ekonomi konglomerasi dan oligarkis serta sistem politik yang juga individualistis sehingga mudah dikooptasi kekuatan dari luar. Semuanya bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila.
Guna mengatasi berbagai ancaman yang sangat serius tersebut, perlu dilakukan langkah-langkah besar sekaligus secara simultan, baik yang bersifat nasional maupun lokal/akar rumput dan masyarakat luas bahkan individual. Yang nasional dibutuhkan karena di samping akan menjadi benteng ketahanan nasional, juga akan memberikan wahana serta ruang gerak yang nyaman bagi pertumbuhan dan pengembangan kegiatan masyarakat. Sedangkan yang bersifat lokal/akar rumput dan masyarakat luas bahkan individual, juga harus disiapkan, sebab masyarakat luas itulah yang sesungguhnya merupakan obyek sekaligus subyek dari kehidupan berbangsa dan bernegara.
Langkah-langkah tersebut ialah:
(1). Filosofis: Bung Karno menyatakan bahwa Pancasila adalah Philosophische Grondslag, yaitu fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa dan hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.
Oleh karena itu Pancasila mutlak harus segera dikembalikan menjadi dasar negara yang menjiwai segenap Undang-Undang dan peraturan turunannya, keputusan serta kebijakan penyelenggaraan dan pengelolaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk itu Pancasila tidak boleh hanya dijadikan sekadar retorika, seperti pernah terjadi pada tahun 1960an, tetapi harus pula menjiwai setiap kebijakan, ucapan dan tindakan para elit penyelenggara pemerintahan dan pengelola negara, dari Pusat sampai Daerah.
Sebelum diputuskan, setiap UU, peraturan dan kebijakan harus diuji lebih dahulu, apakah benar-benar sudah mencerminkan ruh atau api semangat dari sila-sila dalam Pancasila. Demikan pun di dalam pelaksanaannya, harus diikuti dengan penegakan hukum yang baik.
(2). Konstitusi: Karena di dalam UUD1945 Hasil Amandemen 2002, Pancasila hanya berupa ruh atau spirit di Pembukaan, dan tidak ada serta tidak dijabarkan ke dalam pasal-pasal di batang tubuh, bahkan pasal-pasal yang ada justru bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, maka bangsa Indonesia harus segera kembali ke UUD 1945 Asli, dan demi mengantisipasi tuntutan zaman, selanjutnya disempurnakan bersama secara seksama dengan cara adendum, yang tidak menghilangkan jejak sejarah dan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dengan Pancasila sebagai Dasar Negara
(3). Demokrasi: kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang kini sangat diwarnai oleh individualisme-hedonisme-pragmatisme-liberalisme – materialisme – narsisme, sudah mulai kita rasakan sebagai ancaman atas kebhinekatunggalikaan; ditambah Sistem Pemilu dan Kepartaiannya, telah terbukti mengoyak asas Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan . Sistem tersebut juga terbukti tidak mampu melahirkan kader-kader partai terbaik untuk menjadi pemimpin bangsa.
UUD 2002 telah membentuk demokrasi prosedural dan demokrasi formalitas yang liar, keras dan berbiaya tinggi, sehingga hanya orang-orang kaya dan kuat saja yang akan bisa menjadi tokoh-tokoh elit termasuk menjadi anggota DPRD/DPR, Bupati/Walikota/Gubernur dan apalagi Presiden. Rakyat kecil kebanyakan meskipun mampu secara kapabilias kepemimpinan, jangan harap bisa masuk ke lingkaran elit kepemimpinan negara.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo bahkan menggambarkan telah terjadi perselingkuhan politik tingkat tinggi yang bisa menghancurkan bangsa dan negara. Ia mengatakan, paling mahal satu triliun rupiah untuk menguasai partai politik. Perselingkuhan antara penguasa dengan pemilik modal, bisa saja mewakili asing. “Jika partai politik dikuasai, maka dia akan menguasai parlemen maka dia akan kuasai pasar-pasar dan sumber daya alam kita, dan dialah yang berhak mengusung siapa pemimpin kita, presiden kita, bupati kita, gubernur dan walikota karena sistem yang kita punya, ” kata Ketua MPR. (Prijanto, Untaian Butir-Butir Mutiara Konstitusi Indonesia, Sumber Inovasi, 2021: 146).
(4). Ekonomi: Harus ada Sistem Pembangunan dan Ekonomi Nasional yang sesuai Pancasila, yang bisa menjadi acuan pembangunan dan kegiatan perekonomian nasional, sekaligus menjadi payung serta benteng Ketahanan Nasional di bidang Pembangunan dan Ekonomi, dengan tujuan utama memuliakan manusia Indonesia seutuhnya, dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas sampai Rote dan di mana pun mereka berada, baik di perkotaan-perkotaan sampai dengan yang di pelosok desa, di pulau-pulau kecil, di lembah dan puncak-puncak gunung.
Jika diibaratkan kompleks perumahan, Negeri Maritim-Kepulauan Nusantara ini harus bisa bagaikan “cluster atau town house” dunia, yang indah-aman-sejahtera, dengan batas Zone Ekonomi Eksklusif sebagai pagar hidup yang produktif nan indah menawan.
Sebagai contoh, sekarang kita belum mempunyai mekanisme pertahanan nasional menghadapi serbuan ekonomi global yang didukung kekuatan dahsyat berupa modal dan teknologi yang terus tumbuh secara eksponensial, luar biasa pesat, termasuk revolusi digitalnya, yang antara lain menyerbu Usaha Kecil dan Menengah Kita, melalui sistem “marketplace dan e-commerce”. Akibatnya banyak produk-produk masyarakat yang tersapu oleh banjir produk sejenis dari luar negeri, yang bisa dilihat dari barang-barang yang ada di sekeliling serta diri kita. Sementara itu dengan e-money, maka secara bertahap semua transaksi barang dan jasa akan disedot lebih dulu oleh bandar-bandar keuangan dunia, baru setelah itu diteteskan sedikit demi sedikit ke masyakarat Indonesia, sebagaimana kecenderungan yang sekarang sudah berlangsung.
Contoh lain lagi yang nampak terang benderang adalah bisnis transportasi online di Indonesia, yang para pemodal sesungguhnya adalah rakyat kecil pemilik transportasi, dalam hal ini sepeda motor-mobil dan telpon genggam beserta bahan bakar, pulsa, biaya perawatan-penyusutan dengan segala risikonya. Namun siapakah yang lebih dulu dan paling besar menikmati? Mereka yang menangani manajemen dengan teknologi digitalnya, yang berada di luar negeri. Ironis sekali, perputaran uang yang cukup besar di dalam negeri ini dikendalikan oleh pemegang manajemen yang mayoritas asing bukan para tukang ojek – pemilik modal yang sebenarnya, yang posisinya justru sangat lemah.
(5). Gerakan Akar Rumput: Bersamaan dengan perjuangan untuk menggolkan empat hal di atas, artinya tanpa menunggu keempat hal itu sukses diperjuangkan, perlu juga digalang gerakan swadaya di tingkat akar rumput dan pedesaan, untuk mewujudkan pengamalan Pancasila dalam praktek dan kehidupan sehari-hari. Tentu akan sangat ideal apabila kelima sila dapat dilaksanakan sekaligus, namun kita bisa mulai secara bertahap sesuai dengan potensi dan skala prioritas setempat atau kelompok. Satu hal yang harus diutamakan dan disepakati bersama adalah semangat gotongroyong atau kebersamaan, yang menjiwai persatuan dan kebhinekatunggalikaan. Gerakan swadaya ini bisa dinamakan misalnya, Gerakan Membangun Masyarakat Pancasilais.
Agar berdaya dan berhasilguna secara optimal, kelima hal di atas perlu digalang serta dikemas dalam suatu rancang bangun sosial yang berskala nasional, yang bertujuan sungguh-sungguh membumikan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian kita bisa melepaskan cengkeraman para elit dan pemodal besar atas perpolitikan serta perekonomian nasional, untuk dinikmati secara berkeadilan oleh seluruh rakyat Indonesia. Semoga