Tafsir

Tafsir Tematik: Para Penguasa dan Para Pemilih (1)

Wahai orang-orang beriman, patuhilah Allah, patuhilah Rasul dan para pemegang kuasa di antaramu. Jika kamu berselisih dalam satu perkara, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul kalau memang kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Demikian itu lebih utama dan lebih baik kesudahannya. (Q. 4: 59).

Tidak ada pemilihan umum dalam Alquran. Juga dalam kitab suci agama apa pun, tentu saja. Tapi ada “pemegang kuasa” dalam ayat ini, yang menurut citarasa paling modern dan paling disepakati didapat lewat pemilu.

Para pemegang kuasa adalah orang-orang yang, dalam ayat yang mendahului ayat ini, diperintahkan “agar menunaikan segala amanat kepada yang berhak, dan bila…. memberi hukum di antara khalayak agar memberi hukum secara adil” (Q. 4: 58). Satu alternatif terjemahan akan menuliskan bukan “memberi hukum”, melainkan “memerintah” . dua-duanya berakar dari kata yang sama, yakni hukama – sehingga pemerintah, dalam bahasa Arab, adalah al-hukumah. Itu juga kelihatan dari persepsi Sayidina Ali mengenai ayat-ayat ini, ketika ia menganggap keduanya satu kesatuan. Katanya, bila “pemegang kuasa” melaksanakan segala amanat dan bersifat adil (dalam hal pemerintahan maupun peradilan; pen), maka “menjadi wajib bagi kita untuk mendengar, patuh, dan menyambut bila dipanggil.”

Itulah sebabnya “para pemegang kuasa” (teks asli: ulul amr) umumnya dipahami sebagai pemerintah atau penguasa   — seperti menurut para sahabat ini: Zaid ibn Aslam, Ibn Zaid, Syahr, Makhul, dan Ibn Abbas, di samping Ali sendiri. Tapi memang ada pendapat lain: mereka ahli fikih atau ahli ilmu (ulama)  — di samping satu riwayat dari Mujahid menyebut mereka para sahabat Nabi. Kalau ketiga makna tersebut kita gabungkan, bisa saja kita menganggap “ulama” atau “sahabat Nabi” itu merupakan kualifikasi, sementara “penguasa” merupakan fungsi atau jabatan mereka. Kecuali pendapat unik dari Ikrimah r.a., yang menganggap  ulul amr tak lain adalah Abu Bakr dan Umar, r.a.

Tapi yang sama sekali berbeda adalah yang dikemukakan oleh Muhamad Abduh (w. 1905), yang menganggap istilah itu sama artinya dengan istilah kedua dalam tradisi ketatanegaraan di kalangan Islam: ahlul halli wal ‘aqdi (“yang  berkompeten mengurai dan menyimpulkan”, alias para tokoh senior) seperti yang dulu dibentuk Khalifah Umar untuk memilih pengganti dirinya. Mereka bisa terdiri, sekarang ini, dari para pejabat pemerintah, hakim, ulama, pemimpin militer, lalu (ditambahkan Rasyid Ridha) pemimpin buruh, pemimpin partai, pemimpin redaksi, misalnya. Syaratnya, yang penting, mereka “dari kita”, dan tidak menyelisihi perintah Allah dan Rasul.

Walhasil, mereka adalah para fungsionaris masyarakat – seperti yang oleh sebagian sahabat Nabi di atas sebagai pejabat (penguasa) dan oleh yang lain sebagai ulama. Konotasi istilah itu, dengan demikian, adalah dengan “komponen seluruh bangsa”, ungkapan model sekarang, alias kesatuan besar umat atau negara. Dan itu umat atau negara dalam pikiran dua reformis yang di sini melakukan pendekatan lebih banyak normatif terhadap ayat daripada empiris atau kontekstual.

Dengan pendekatan empiris akan bisa dilihat, tentunya, pengalaman berbagai daulat Islam dalam sejarah yang membentuk negara berdasarkan yang dipahami sebagai cita-cita atau anggar-anggar Islam, dengan para penegak, penyusun undang-undang, atau peraturan yang melulu orang Islam, dan dengan kedudukan eksekutif bagi para nonmuslim yang bisa dicerminkan misalnya dengan pengisian jabatan sebagai menteri tanfidz alias operator dan bukan tafwidh, pemegang otoritas dari sultan (lih. Al-Mawardi, Kitabul Ahkamis Sulthaniyah; Abu Ya’la, Al-Ahkamus Sultaniyah).

Bersambung

Penulis: Syu’bah Asa (1943-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat; Sebelumnya bekerja di majalah Tempo dan  Editor. Sastrawan yang pernah menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok ini sempat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).Sumber: Panji Masyarakat, 16 Juni1999

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda