Tafsir

Tafsir Tematik: Bencana dan Kemampuan Prediksi (2)

Written by Panji Masyarakat

Dan peliharalah diri kalian dari bencana yang tidak sekali-sekali hanya akan menimpa orang-orang kamu yang aniaya. Ketahuilah bahwa Allah keras dalam hal siksa (Q. 3: 25).

Memang sangat masuk akal beraksinya para “provokator” – gerpol Yahudi dan lain-lain. Tapi itu khususnya dalam pengerasan perlawanan grup Zubair-Thalhah-Aisyah terhadap Khalifah, setelah tuntutan mereka bagi pengusutan tuntas para pembunuh Utsman, yang (seperti halnya tuntutan kepada Presiden Habibie yang terkesan berat hati untuk mengadili “guru besar”-nya, Mantan Presiden Soeharto) tak mungkin dipenuhi Ali. Dan itu karena, paling tidak seperti dituduhkan oleh Mu’awiah, Ali duduk bersama  para pemberontak dan “melihat mereka pagi dan sore.” Lebih-lebih provokasi gerpol dalam pematangan situasi menjelang terbunuhnya Utsman, yang melibatkan khalayak besar.

Tetapi perang Ali dan Mu’awiah di Shiffin tidak mungkin terutama disebabkan oleh ulah gerilya politik. Juga penghancuran kekuasaan Ibn Zubair di Mekah oleh panglima Bani Umaiyah Hajjaj ibn Yusuf, dan pembunuhan Saiyidina Husain di Karbala di bawah pemerintahan Yazid ibn Mu’awiah. Demam kekuasaan, atau kehidupan politik yang sebenarnya (dalam cita rasa “sekular”), memang dimulai oleh tindakan Mu’awiah yang menolak pemerintahan Ali dan, juga dengan alasan menuntut bela darah Utsman, anggota keluarganya, sudah mengasah golok sebelum Trio Aisyah.

Motif semata politik – berbeda dengan pada Aisyah dan kawan-kawan yang lebih mudah kita lihat sebagai digerakkan oleh tuntutan keadilan (dengan rasa marah, agaknya) – kelihatan pada Mu’awiah dengan tindakannya menyerahkan khilafat kepada putranya, Yazid, dan dengan demikian membentuk dinasti. Meskipun tidak berarti kebijaksanaan itu diharamkan Islam, perang-perang sesudahnya kemudian memperoleh ciri lebih duniawi, sebagai tindakan demi kekuasaan semata. Itu lalu meneguhkan sebuah sunnah (tradisi) baru di kalangan muslimin, yang boleh dikatakan lalu menjadi satu-satunya sunnah. Maka, kalau Rasyid Ridha berbicara tentang mutlaknya keperluan prediksi, prediksi itu harus diberi jangka agak jauh ke depan.

Khalifah Umar, sebelumnya, sudah memberikan contoh. Ia menolak membagi-bagikan wilayah Irak kepada tentara Islam yang menaklukkannya, tidak seperti yang dulu dilakukan oleh Nabi s.a.w. ketika membagi-bagikan tanah dusun Khaibar (Q. 8: 41), dan untuk itu harus berhadapan dengan “para ustadz” seperti Bilal ibn Rabah r.a. dan lain-lain. Pertimbangan Khalifah (yang didukung Utsman dan Ali): “Bagaimana dengan generasi sesudah kita?”

Juga, dalam satu riwayat, Umar menolak tawaran melakukan salat di Gereja Jirat (The Holy Sepulchre) di Yerusalem, pada kesempatan serah terima penguasaan Palestina dari Bithriq (Patriarch) Sophronius, karena kekhawatiran “orang-orang kelak mengambil gereja-gereja sebagai masjid.”

Pandangan masa depan jugalah yang berada di kepala Umar ketika menyarankan kepada Khalifah Abu Bakr untuk mengumpulkan berkas-berkas tulisan wahyu yang tercecer-cecer menjadi suatu mushaf Alquran. Juga yang diperbuat Khalifah Utsman ketika melancarkan proyek penyatuan ejaan Kitab Suci, menghadapi perbedaan-perbedaan pembacaan yang akan bisa semakin runyam di kemudian hari.           

Bersambung

Penulis: Syu’bah Asa (1943-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat; Sebelumnya bekerja di majalah Tempo dan  Editor. Sastrawan yang pernah menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok ini sempat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).Sumber: Panji Masyarakat, 10 Maret 1999

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda