Ads
Tafsir

Tafsir Tematik: Bencana dan Kemampuan Prediksi (1)

Dan peliharalah diri kalian dari bencana yang tidak sekali-sekali hanya akan menimpa orang-orang kamu yang aniaya. Ketahuilah bahwa Allah keras dalam hal siksa (Q. 3: 25).


Satu hal yang tidak pernah diberikan para mufasir Quran, dalam mendekati ayat di atas, adalah tekanan pada faktor ‘sebab’ dari meluasnya bencana yang dikatakan tidak hanya akan menimpa orang-orang yang aniaya. Padahal, disetujui kiranya, ‘sebab’ itulah yang tampak sejak kata-kata pertama: “Dan peliharalah diri kalian….” Memelihara dari kemungkinan fitnah adalah waspada terhadap faktor-faktor yang bisa menjadi penyebab. Seperti dikatakan Rasyid Ridha, “Di antara hukum-hukum penciptaan adalah terjadinya musibah-musibah dengan sebab-sebabnya” (Rasyid
Ridha, II: 39). Atau, “Bila Allah menghendaki suatu perkara, Dia menyediakan sebab-sebabnya.”
(Thanthawi, I: 131).


Bencana, dalam konteks kali ini, adalah bencana umum berupa perpecahan, kekacauan, teror, penindasan, huru-hara, atau perang saudara, salah satu pengertian fitnah yang tersebut dalam ayat sebagai teks aslinya. Itulah sebabnya Alquran (2: 191) menyebut “fitnah lebih dahsyat dari pembunuhan”. Dan itu pula sebabnya mayoritas mufasir selalu menerakan Perang Onta (pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, r.a., terhadap Khalifah Ali) dalam penafsiran ayat ini, karena terdapatnya beberapa hadis yang bisa dinilai berhubungan dengan kasus tersebut. Tentu ayat ini menduduki posisi lebih tinggi dariapada hanya sebagai nubuat untuk perang yang antara lain dipimpin oleh Aisyah dari punggung onta itu, betapapun pentingnya perang tersebut sebagai kasus. Sperti dikatakan oleh Rasyid Ridha, ayat ini merupakan sebuah peringatan abadi terhadap kemungkinan “bencana perkaumandan bencana keagamaan yang merata, yang sudah wataknya akan menimpa umat demi umat akibat perselisihan mereka mengenai urusan-urusan
umum: kekuasaan, kepemimpinan….” Sebab, hukuman atas kesalahan-kesalahan berbagai kelompok itu :merupakan akibat yang lazim – di dunia ini, sebelum akhirat.” Karena itulah, diingatkannya, bencana diungkapkan di situ dengan istilah fitnah, bukan “dosa” atau “maksiat”. Fitnah adalah cobaan atau ujian.


Dalam kasus Perang Onta, Rasyid Ridha melihat perang tersebut hanya sebuah kelanjutan – dari fitnah pertama, yakni huru-hara pembunuhan Khalifah Utsman r.a. (dengan pengepungan rumahnya oleh massa dan sebagian tentara; pen) yang menimbulkan perbedaan-perbedaan sikap – dan menyebabkan perbedaan-perbedaan tindakan – di antara para ahlil halli wal ‘aqdi, para tetua “yang kompeten mengurai dan menyimpulkan”. Maka terkuaklah udara bagi para perusakdari kalangan Saba’iyah (gerilya politik kelompok Abdullah ibn Saba’) dan para pendukung mereka di
antara para zindiq Yahudi, Majusi, dan lain-lain. Itulah yang sejatinya meletuskan Perang onta, dan berikutnya Perang Shiffin. Kemudian bencana Ibnuz Zubair bersama Bani Umaiyah. Lalu pembantaian terhadap saidina Husain. (Rasyid, IX: 637-638).Sebagai peristiwa, huru-hara Utsman memang merupakan cikal-bakal. Rasyid hanya tidak menyebutkan sebabnya: kelemahan khalifah itu pada separuh terakhir pemerintahannya yang 12 tahun, dengan usianya yang tua dan ketidakmampuannya menangkap bahaya nepotisme yang menggerogotinya bersama dengan lepasnya kontrol birokrasi dan aparat, di tengah ketenggelamannya dalam proyek besar penyatuan ejaan Quran.

Apa lagi sejarah juga mencatat, sebagai latar belakang, kemakmuran yang lebih besar yang sudah dicapai di masa itu. (Buku Masdar Mas’udi, Agama Keadilan, mengingatkan tidak lagi diperlukannya zakat bagi perongkosan administrasi pemerintahan: Khalifah lalu menyerahkan urusan zakat kepada swasta, dan waktu itulah muncul istilah-istilah ‘ulama’ dan ‘umara’), dan bersama dengan itu, merebaknya kesenjangan sosial. Dari masa inilah datangnya beberapa riwayat tentang perlawanan moral (terhadap hidup mewah yang mulai tumbuh, dan kemudian kesewenang-wenangan), dapi
para sahabat “populis”, seperti Abu Dzarr Al-Ghiffari r.a., yang malahan oleh Khalifah dihukum buang.


Bersambung

Penulis: Syu’bah Asa (1943-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat; Sebelumnya bekerja di majalah Tempo dan  Editor. Sastrawan yang pernah menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok ini sempat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).Sumber: Panji Masyarakat, 10 Maret 1999

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading