Sering terjadi kasus pembebasan tanah milik rakyat oleh pemerintah dengan dalih demi kepentingan umum. Tetapi harganya jauh di bawah harga pasaran. Bagaimana hukumnya membebaskan tanah rakyat dengan harga rendah? Jika pemerintah jelas terlibat dalam upaya pembebasan itu, siapa pejabat yang bertanggung jawab? Kalau dari pembebasan itu oknum pejabat mendapat keuntungan, apakah keuntungannya haram? Bolehkah keuntungan itu digunakan untuk membangun fasilitas umum? Bagaimana hukumnya orang menempati kawasan hunian yang tanahnya diperoleh dengan cara pembebasan yang harganya tidak layak atau merugikan rakyat?
Jawaban: KH Ahmad Cholil Ridwan*
Secara umum, rukun jual beli itu adalah ada penjual, pembeli, barang yang diperjualbelikan, dan akad (perikatan). Agar jual beli itu sah, ada syarat-syaratnya. Syarat akid atau orang yang berakad (penjual dan pembeli) harus akil, berakal sehat, mumayyiz (mampu membedakan), dan mukhtar, punya kebebasan atau kekuasaan memilih. Selain itu, prinsip sahnya jual beli adalah ‘an-taradhin, saling ridha. Yang menjual ridha, yang membeli juga rela. Kalau salah satu tidak ridha jual belinya tidak sempurna. Ini prinsip jual beli dalam Islam.
Kalau jual beli itu dilakukan oleh negara, sekalipun untuk kepentingan umum, tetap harus ada standar harga. Misalnya, saya analogikan dengan praktik serupa di Mekah. Di sana sering terjadi perluasan masjid, itu bukan kepentingan umum malah kepentingan agama, di jalan Allah. Pembebasan tanah rakyat di Masjidil Haram itu diganti dengan harga sesuai pasaran saat dibebaskannya tanah itu. Islam melarang akad yang tidak satu persepsi tentang harga barang yang dijual, atau akad yang dilakukan secara terpaksa, baik dilakukan pihak lain maupun oleh keterpaksaan diri sendiri.
Kasus pembebasan tanah di negeri kita, saran saya, pemerintah dalam memungut Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), sudah menaksir tanah berapa harganya. Maka yang adil menurut saya, sesuaikan harga tanah yang dibebaskan dengan nilai tanah yang dijadikan dasar pemungutan PBB. Ini baru adil, jangan pada saat membeli dimurahkan, tetapi untuk menarik pajak ditinggikan. Berarti, yang namanya “ganti rugi” tidak ada lagi karena itu hak milik. Pemerintah seharusnya melindungi rakyatnya dari tindakan zalim pihak mana pun.
Dalam hal ini yang bersalah bisa pemerintah kalau tak ada unsur permainan. Sebaliknya, kalau ada unsur permainan bisa ditelusuri di mana permainannya. Berarti ada kesalahan oknum pelaksana pembebasan. Keuntungan dari situ jelas haram.
Dalam pandangan Islam, rakyat berhak mengklaim. Meskipun sudah terlanjur menandatangani tanda terima, mungkin juga karena ada unsur tekanan atau ketidaktahuan, seharusnya demi keadilan rakyat berhak mendapatkan bagian keuntungan ini. Itu kalau pemerintah mendengar hati nurani rakyatnya. Memang pemerintah sedang dalam kesulitan sehingga rasanya kurang sanggup memenuhi saat ini mengingat banyaknya kasus pemberian penggantian yang tidak layak. Meskipun demikian kalau mau adil, ini harus diupayakan. Rakyat berhak mendapatkan penggantian sesuai hasil penjualan tanah yang sudah dibebaskan.
Keuntungan itu pun tidak pantas kalau dipakai pemerintah untuk membangun sarana kepentingan umum, tetap harus memperhitungkan aspek ridhanya pemilik tanah. Lain halnya kalau si pemilik sudah menghibahkannya, menjadi sedekah jariahnya lain persoalan. Kalau si pemilik tanahnya orang susah, rakyat kecil, apa mungkin dia bersedakah? Ini bentuk kezaliman oleh pemerintah atau pelaksana pembebasan tanah rakyat.
Menyangkut hukum orang menghuni perumahan yang tanahnya dibeli dari proses yang tidak adil tadi, seharusnya kalau dia tahu hal itu status tanahnya syubhat. Sama saja, kita ditawari beras yang kita tahu hasil curian, sama saja dengan tukang tadah kan? Kalau dalam urusan pembebasan yang tidak adil, di sini pelakunya pemerintah, pemerintah tetap tidak boleh zalim kepada rakyat.
Ketika nabi mau membangun Masjid Nabawi, tanahnya milik anak yatim. Tanah itu dibayar oleh Nabi, dibeli, bukan diambil begitu saja atau dengan “ganti rugi” yang tidak layak. Nabi tetap membayar karena untuk masjid yang suci proses perolehan tanahnya pun harus suci. Dan Masjid Nabawi ini adalah salah satu masjid suci kedua setelah Mekah.
Sumber: Panji Masyarakat, 8 Desember 1999
*KH Ahmad Cholil Ridwan, ketua umum Badan Kerja Sama Pondok Pesantren Seluruh Indonesia (BKSPPI) 1990-2000; ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), 2005-2010; ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), 2005-2015.