Pada 629 M atau setahun sebelum fathu Makkah, penaklukan Mekah, Nabi dan kaum Muslimin melaksanakan umrah pengganti (umratul qadha). Dinamai demikian karena tahun sebelumnya kaum Muslimin gagal melaksanakan ibadah ini karena dihalang-halangi kaum Quraisy yang melarang Nabi dan rombongan memasuki Mekah. Lalu dicapailah kesepakatan antara Nabi dan pihak Qurasiy yang tertuang dalam Perjanjian Hudaibiyah. Salah satu isi perjanjian itu adalah bahwa tahun depan Nabi dan kaum muslimin dibolehkan memasuki Mekah selama tiga hari. Dan kesempatan itu digunakan untuk umrah yang sempat tertunda itu, selain mengunjungi sanak keluarga. Setelah itu, Nabi dan kaum Muslimin harus meninggalkan Mekah, alias kembali ke Madinah.
Ketika Nabi melaksanakan ibadah umrah kaum Quraisy dan penduduk Mekah lainnya menyingkir dan mengintip dari balik-balik bukit dengan penuh kekaguman apa yang sedang dilakukan kaum muslimin di kota yang telah mereka tinggalkan itu. Tak ada pesta-pesta minuman keras. Tak ada perkelahian dan pengrusakan. Semua berjalan aman dan tertib.
Di antara mereka yang terkesan adalah Maimunah. Ia saudara Ummul Fadhl, istri paman Nabi, Abbas ibn Abdil Muthalib. Ia minta sang suami mewakili dirinya meminang Nabi untuk saudaranya itu. Nabi pun menerima. Tapi waktu untuk menetap di Mekah sudah habis. Padahal ia sangat ingin perkawinannya dilaksanakan di kota itu, seraya mengundang para pembesar Quraisy sekalian untuk berbincang-bincang guna mencapai pengertian yang lebih baik dengan pihak Quraisy. Namun demikian, keinginan Nabi untuk memperpanjang masa tinggalnya di Mekah ditolak oleh pihak Quraisy.
Pada waktu Nabi harus meninggalkan Mekah, pihak Quraisy, yang diwakili Shail ibn Amr dan Huwaitib ibn Abdil Uzza, datang kepada Nabi dan mengatakan:
“Waktumu sudah habis. Silakan keluar.”
“Apa salahnya kalau kalian membiarkan aku selama melangsungkan perkawinan berada di tengah-tengah kalian? Kami akan membuat jamuan dan kalian ikut hadir,” jawab nabi. Seperti diungkapkan Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad, Nabi mengatakan itu dengan kesadaran bahwa betapa dalam umratul qadha meninggalkan kesan di hati penduduk Mekah, dan membuat permusuhan jadi reda. Ia mengetahui, jika mereka bersedia menerima undangannya dan dapat saling berdialog, maka dengan mudah pintu Mekah akan terbuka di hadapannya. Suhail dan Huwaitib rupanya juga menyadari hal ini, dan karena itu mereka berkata lagi:
“Kami tidak memerlukan jamuanmu. Keluar sajalah.”
Tanpa ragu-ragu, Nabi pun memenuhi permintaan mereka, sesuai dengan perjanjian yang harus dilaksanakan. Ia pun mengumumkan kepada kaum Muslimin untuk segera berkemas meninggalkan Mekah. Ketika Nabi dan kaum Muslimin meninggalkan kota itu, yang tinggal hanya Abu Rafi, mantan budaknya, yang ditugasi membawa Maimunah.
Nabi melangsungkan perkawinannya dengan Maimunah di Sarif, beberapa kilometer dari Mekah. Ummul mukminin ini adalah istri Nabi yang terakhir yang hidup 50 tahun kemudian setelah nabi wafat. Ia minta dikuburkan di tempat melangsungkan perkawinannya dengan Rasulullah.
Mungkin inilah yang bisa kita petik dari kisah di atas: Nabi lebih mengedepankan untuk melaksanakan kesepakatan ketimbang memaksakan keinginan dan niat baiknya. Ini pelajaran bagus terutama untuk para pemimpin yang merasa punya niat baik di balik keinginan-keinginannya, dengan mengabaikan aturan-aturan yang telah digariskan.