Ads
Tafsir

Tentang Yahudi, Juga Nasrani (Bagian 3)

Jika millah  diartikan  bukan “agama”, melainkan “cara hidup”, maka memang bisa ada kepentingan pada Yahudi maupun Nasrani, sebagai dua kelompok dominan dalam kekuatan Barat, untuk mendakwahkan cara hidup yang seperti mereka, khusus mengenai “bagaimana cara beragama”.

Itu bisa didiskusikan. Tetapi ayat ini sebenarnya bukan pertama kali ayat dakwah Yahudi maupun Nasrani. Melainkan justru dakwah Nabi. Seperti diterangkan Burusawi, ayat ini menghapus harapan besar Nabi s.a.w. kepada kemungkinan orang-orang Yahudi dan Nasrani (yang beliau dakwahi) masuk Islam. Firman ini menggantungkan keridaan Yahudi dan Nasrani kepada Nabi pada sesuatu yang betul-betul mustahil (Burusawi, op.cit:218), meskipun dengan mengemukakan kemustahilan itu ayat ini mengandung mubalaghah — pelebihan, ekstremisasi (Qasimi, loc.cit). itu juga yang berabad-abab sebelumnya dikatakan Al-Baidhawi (Anwarut Tanzil, I:185).

Kemustahilan itu bisa dijelaskan alasannya oleh Ibn Jarir: “Karena agama Yahudi bertentangan dengan agama Nasrani, dan agama Nasrani bertentangan dengan agama Yahudi. Tidak mungkin berkumpul Nasrani dan Yahudi di dalam diri yang satu dalam keadaaan yang satu. Maka, “Kalau tidak ada jalan bagimu (Muhammad) untuk menyatukan keduanya dalam dirimu pada suatu waktu, tidak ada jalan bagimu membuat kedua kelompok itu rida kepada kamu.” (Ibn Jarir Ath-Thabari, Jami’ul Bayan, I:517). Dan kalau tidak ada jalan bagi beliau membuat mereka rida kepada beliau, bagaimana mungkin mereka memeluk agama beliau? Dapat dipahami bila penujuan kalimat “Kalau saja engkau ikuti……” dalam ayat ini “nyata-nyata khusus kepada Nabi ‘alaihis salam.” (Burusawi, op.cit:219)

Itu karena Burusawi mengingat kausalitas yang sudah tersebut itu. Pada tinjauan pertama memang kelihatan dorongan, di belakang ayat ini, yang persis dorongan pada ayat: “Masihkah kamu begitu berharap mereka (Yahudi) percaya kepada kamu, sementara segolongan dari mereka dahulu mendengarkan kalam Allah lalu mengubahnya……..” (Q.2:75).  Dorongan itu ialah kesia-siaan berharap. Persis sama. Tentu, tidak berarti mereka tidak berdakwah. Tetapi, dengan kaidah bahwa sebuah ayat yang bisa berdiri otonom mengandung arti yang umum, sesuatu yang lokal dan temporal toh tetap bisa dipikirkan bila diingat kenyataan yang sebuah ini: agama Yahudi, setidaknya seperti dikenal di abad-abad belakangan, bukanlah agama misioner. Ia kira-kira sejenis agama Hindu Bali, paling tidak sebelum menjadi Hindu Darma. Orang Bali, idealnya, menganggap saudara-saudaranya di luar Bali “punya dewa mereka sendiri-sediri”. Orang Yahudi (nama untuk bangsa, ras, dan agama) pada dasarnya menganggap agama mereka untuk mereka, yang adalah “bangsa pilihan”. Mereka berbeda dari Nasrani, bukan tukang mengumpulkan jumlah pengikut.

Di masa Nabi agak berbeda. Toh peyahudian, dari komunitas yang para anggotanya memang mayoritas anak-anak Israil, tidak segencar penasranian  — dari kaum Kristiani yang sama-sama pribumi Arab, meski juru dakwahnya mula-mula berasal dari Utara, seperti di konsentrasi mereka yang besar di Najran (Ibn Hisyam, Sirah Nabawiyah, I). Bisa kita pikirkan, karena itu: andai saja Nabi bersedia menjadi Yahudi atau Nasrani, maka… Di sini masalahnya lalu bisa kasuistis, atau temporal. Tidak berbeda dengan pada ayat: “Akan kamu dapati kaum yang paling keras  permusuhannya kepada orang-orang beriman: orang-orang Yahudi dan mereka yang musyrik. Dan akan engkau dapati mereka yang paling dekat kecintaannya kepada orang-orang beriman: mereka yang berkata, ‘Kami ini para nasrani’. Yang demikian itu karena……” (Q. 5:82). Tentu saja tidak selamanya akan begitu.

Kecuali kalau millah (yang kita terjemahkan sebagai agama) didekati pengertiannya dengan cara tertentu — dan menjadi bukan “agama”, melainkan “cara hidup”. Maka memang bisa ada kepentingan pada Yahudi maupun Nasrani, sebagai dua kelompok dominan dalam kekuatan Barat, untuk mendakwahkan cara hidup yang seperti mereka, khusus mengenai “bagaimana cara beragama”. Bukan dakwah agama. Ini, disetujui maupun tidak, adalah dakwah budaya: bagaimana megubah sikap orang kepada agama (agama apa pun) seperti sikap kita. Dan itu bisa. Wallahu a’alam.   

Penulis: Syu’bah Asa (1941-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat; Sumber: Panji Masyarakat, 1 Desember 1999

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading