Ads
Tafsir

Tafsir Tematik: Umat Terbaik dan Tafsiran Baru (3)

Adalah kamu umat terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia, memerintahkan yang makruf dan mencegah dari yang mungkar serta beriman kepada Allah.. (Q. 3: 110)

Hal-hal yang harus dilawan oleh tindak nahi mungkar itu demikian kuat karena, pertama, politik (yang sebenarnya termsuk yang spiritual), dijadikan perangkat bagi, resminya, pembangunan ekonomi yang diyakini sebagai memerlukan stabilitas. Di sini tentara berperan. Dan ketika stabilitas berarti dirampasnya hak kritik, sanggahan, bandingan, maupun hampir segala bentuk kontrol sosial, maka tidak  adanya kekuatan spiritual (dimensi vertikal, hablun minallah) atas yang  materiil menyebabkan nafsu-nafsu manusiawi penguasa tidak terkendalikan.

Itu pula bedanya dengan di Barat. Di sana tidak ada “pembangunan spiritual”, tapi itu bukan berarti tidak ada etika. Paham-paham humanitarian,  warisan dari yang dulu menggantikan fungsi Gereja, demikian kuatnya untuk membentuk nilai-nilai yang hanya “secara tidak mengikat” diperkuat oleh gereja-gereja yang secara resmi dilarang mendekati kekuasaan. “Iman sekuler” seperti itu diterjemahkan bukan hanya dalam tradisi, tetapi lebih-lebih hukum.

Pada kita, sebaliknya, kekosongan pengaruh “kotak spiritual” atas yang materiil (sementara kita sudah menolak nilai-nilai ex Barat seperti demokrasi – yang disebut  “liberal” – yang sendirinya menuntut tegaknya hukum) itu tidak diisi apa pun, kecuali oleh pandangan dunia dari latar belakang budaya feodal Jawa, tempat seorang raja berada di atas hukum (atau, raja adalah hukum) dan bukan di bawahnya. Dalam kenyataan, dalam situasi itu hukum dipaksa melayani “kehendak tak terkendalikan”  itu – “demi negara”, yang sebenarnya demi pemerintah, dan itu berarti politik, yang di belakangnya  berdiri kepentingan kekuasaan dan di dalamnya mendekam interes pribadi.

Di situ hukum runtuh dari dua jurusan. Pertama dari jajaran birokrasi, dari tingkat lembaga peradilan paling  tinggi sampai ke lapis polisi. Uniknya: rakyat tahu dan penguasa tidak keberatan – kecuali kalau mereka melawan (penguasa bisa berlindung di balik aturan-aturan formal yang untuk menciptakannya dilakukan rekayasa) – dan karena tahu, rakyat belajar dan berlatih meniru. Annaasu ‘alaa diini malikihim. Rakyat mengikuti “agama” raja mereka, kata orang Arab. Itulah jurusan kedua penyebab keruntuhan hukum.

Tak semua rakyat, sebenarnya. Ada saudara-saudara akrab kita yang gembel. Ada pula yang benar-benar “kuat iman”. Yang tersebut pertama adalah lapis terbawah yang tidak punya sarana apa pun untuk main sogok, atau berbuat korup. Mereka ini hanya menjadi lebih keras, lebih dendam  dan – khususnya ketika situasi krisis membuat mereka lebih lapar – lebih jahat. Kaadal faqru an yakuuna kufra. Dekat sekali, kata Nabi, jarak kemiskinan untuk menjadi kekafiran. Merekalah potensi besar yang  diperhitungkan berhubungan dengan aksi-aksi penjarahan dan perampokan, dan bisa dipakai yang punya kepentingan politik lewat kerusuhan dan huru-hara.          

Bersambung.

Penulis: Syu’bah Asa (1943-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat; Sebelumnya bekerja di majalah Tempo dan  Editor. Sastrawan yang pernah menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok ini sempat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Sumber: Majalah Panji Masyarakat, 2 Desember 1998.

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading