Serial tulisan testimonial di panjimasyarakat.com ini didedikasikan untuk mendokumentasikan dan membagikan pengalaman baik dari berbagai tempat dan latar belakang penulis untuk saling menguatkan dalam menghadapi wabah Virus CORONA COVID-19. Kami tunggu partisipasi Anda, kirim tulisan via WA 0895616638283 atau email panjimasyarakat.com@gmail.com –Pemimpin Redaksi
Lampung – Hari itu adalah hari biasa yang seharusnya sama seperti hari-hari sebelumnya. Seorang perempuan berusia 20-an bangun di pagi hari, menjalankan rutinitas. Bangun, mencuci muka, menyikat gigi, dan mencari sarapan sembari menonton berita pagi di televisi.
Suara penyiar perempuan yang tidak asing memecah keheningan pagi itu. Maklum, perempuan berusia 20-an itu tinggal sendiri di ibukota, demi menempuh pendidikan, dirinya terpaksa tinggal jauh dari orang tua. Perempuan itu adalah saya. “China dihebohkan dengan virus yang diberi nama COVID-19 atau dengan nama corona…”
Saya meneguk secangkir teh dan tidak bereaksi dengan berita yang disiarkan pagi itu. “Virus baru ya,” gumam saya. Saya pun bersiap menghadapi hari tanpa begitu memperhatikan breaking news hari itu.
Selang beberapa bulan kemudian, berita yang tayang di pagi hari sukses menghebohkan pagi saya dan rasanya pagi seluruh penduduk Indonesia. “Indonesia kini dihebohkan dengan pandemi corona. Pada akhirnya, masuk juga,” gumam saya seraya menghabiskan isi cangkir kopi.
Saya ambil tas selempang yang tergeletak di kursi lalu bergegas pergi menuju pasar. Di pasar, saya dan teman-teman membeli perlengkapan yang dibutuhkan. “Tidak terasa ya akhirnya bisnis kita mau buka,” ucap saya saat kami selesai berbelanja dan sedang menikmati nasi campur sebagai makan siang.
“Kau benar. Akhirnya penantian kita tercapai,” temanku menyetujui. “Lalu bagaimana dengan pandemi ini? Akankah kita terpengaruh? Jika iya, kita harus bagaimana?” tanya temanku yang lain. “Jalani saja,” tegas temanku yang lain lagi. Lalu, kami pun pulang ke rumah masing-masing.
Esok paginya, saya bangun dengan semangat lalu bergegas menuju pasar yang lain. Saya tersenyum sumringah. Hari itu adalah hari di mana kami berlima akan mengadakan pembukaan bisnis. Pembukaan toko laris manis dan kami memperoleh keuntungan besar. Hari berganti hari, kebahagiaan kami ternyata tidak berlangsung lama.
“Bagaimana ini? Pandemi makin parah. Aku harus pulang,” ucap salah seorang temanku yang berasal dari luar kota. “Benar, aku juga disuruh pulang,” angguk saya dengan nada menyesal. “Aku juga. Orang tuaku tidak setuju aku menyetir sendirian kesini,” imbuh temanku yang lain.
Kami berlima menghela nafas dan terpaksa menyetujui usulan untuk menutup toko hingga waktu yang tidak bisa ditentukan. Tahu-tahu, kami sudah di daerah asal masing-masing.
Tidak terasa waktu telah berganti menjadi bulan. Entah dihitung atau tidak, rasa-rasanya sudah hampir tiga bulan kami tutup toko dan beralih ke projek menulis. Tugas demi tugas pun kami lalui dengan daring. Hingga tiba saatnya kami berlima dihadapi mimpi yang ditakuti mahasiswa, sidang akhir. Sidang pun kami lalui dengan daring. “Empat jam bagai terdakwa pengadilan,” begitu pikir saya.
Beruntung, empat jam bagai neraka itu berakhir membahagiakan. Senyum lega terukir di wajah saya. Gelar sarjana sudah saya dapatkan. Sebulan kemudian, saya berdiri dengan senyum merekah dan mengenakan kostum yang dinanti-nanti seluruh mahasiswa, menghadiri sebuah seremoni kelulusan yang dinanti, dan tentu saja daring.
Lagi-lagi daring. Semua karena pandemi. Seenaknya datang, lalu tinggal untuk waktu yang teramat sangat lama. Akibat penyebaran virus yang begitu luas dan cepat, semua skenario dan kegiatan berubah. Semuanya daring.
Awalnya, saya senang-senang saja daring. Bebas dan fleksibel, begitulah awalnya yang saya pikirkan. Namun, seiring waktu berlalu, saya yang resmi menyandang titel pengangguran merasa kesal dan gundah. Semua yang telah saya lalui secara daring terasa bagaikan mimpi. Senang sesaat namun berlalu begitu saja, kelabu dan tidak berkesan.
Dulu, saya berpikir selepas lulus kuliah akan lebih menyenangkan. Namun, lagi-lagi saya ditampar realita. Justru kehidupan orang dewasa yang suramlah yang menanti saya. Waktu demi waktu berlalu, hanya kesuraman yang sesekali menghinggapi diri saya.
Lelah mencari kerja, pekerjaan yang berujung penolakan, bisnis yang tidak berjalan semulus perkiraan, keadaan ekonomi yang sedikit berguncang, dan berbagai keadaan tidak menyenangkan lainnya bertubi menghampiri badan sok tegar saya. Saya hanya melamun kosong. “Ya, semua karena pandemi,” begitulah setiap hari saya bergumam pada diri saya. “Lantas harus apa? Ya jalani saja. Toh nanti akan berlalu. Ya, nanti,” begitulah saya menyakinkan dirinya sendiri.