Serial tulisan testimonial di panjimasyarakat.com ini didedikasikan untuk mendokumentasikan dan membagikan pengalaman baik dari berbagai tempat dan latar belakang penulis untuk saling menguatkan dalam menghadapi wabah Virus CORONA COVID-19. Kami tunggu partisipasi Anda, kirim tulisan via WA 0895616638283 atau email panjimasyarakat.com@gmail.com –Pemimpin Redaksi
Jember – Siapa pun pasti pernah mengalami titik terendah dalam hidupnya. Tak terkecuali dengan teman saya, Dilla. Beruntungnya, ia berhasil melewati masa-masa tersulitnya setelah mengetahui sang ibu dinyatakan reaktif COVID-19.
Masa sulit itu dimulai ketika ibu Dilla dinyatakan reaktif COVID-19 pada 30 Mei 2020. Hari sebelumnya, tepatnya pada 29 Mei 2020, pemerintah Kapubaten Jember bersama Satgas COVID-19 melakukan rapid test massal di pasar-pasar tradisional, termasuk pasar dekat rumah Dilla. Ibu dan ayah Dilla yang kebetulan bekerja di pasar tersebut, otomatis diharuskan melakukan rapid test.
Hasil rapid test keluar keesokan harinya. Ibu Dilla dinyatakan reaktif, sedangkan sang ayah non-reaktif. Dari sekian banyak orang yang melakukan rapid test di pasar tersebut, ada 7 orang yang hasilnya reaktif, termasuk ibu Dilla. Tentu saja, itu menjadi pukulan telak bagi gadis kelahiran Jember tersebut.
“Setelah mengetahui Mama dinyatakan reaktif, tentu saja sedih dan hancur. Mama itu, ‘kan, tulang punggung keluarga karena Ayah sakit katarak, jadi belum bisa bekerja (hanya membantu ibu),” ungkap gadis yang baru menginjak usia 21 tahun itu saat diwawancarai pada Sabtu siang (6/2/2021).
Setelah hasil rapid test dinyatakan reaktif, ibu Dilla berinisiatif pergi ke puskesmas terdekat. Lantas, pihak puskesmas mengantarkan ibu Dilla ke salah satu rumah sakit rujukan COVID-19.
Di tengah kesulitan yang mendera keluarga Dilla, ada rumor tak sedap yang berembus. Beberapa tetangga menyebarkan rumor bahwa ibu Dilla dijemput paksa oleh Satgas COVID-19. Apalagi, ada sanak saudara yang melarang Dilla untuk tidak melibatkan mereka jika terjadi sesuatu karena takut nama baik mereka tercermar.
Hal tersebut membuat Dilla semakin terpukul. Beruntung, gadis 21 tahun itu berhasil masa-masa tersulit berkat dorongan atau dukungan dari tetangga, orang terdekat, dan sahabat-sahabatnya. Karena merekalah, Dilla tak mudah menyerah pada keadaan.
“Tapi, aku bisa melewati masa-masa sulit itu berkat bantuan dari sahabat, sanak saudara, dan tetangga yang memotivasiku untuk selalu sabar dan kuat karena ujian ini tidak selamanya dan pasti akan berlalu,” ujar Dilla.
Tak hanya dukungan moril, Dilla juga mendapat dukungan materil dari beberapa tetangga dan sanak saudara yang berbaik hati memberikan makanan serta kebutuhan lain saat Dilla, ayah, dan kedua adiknya menjalani isolasi mandiri di rumah.
Gadis yang tercatat sebagai mahasiswi salah satu perguruan tinggi di Jember itu menjelaskan bahwa dukungan materil tersebut sangat membantu keluarganya yang sedang kesusahan saat itu. Terlebih lagi, keluarga Dilla tidak memiliki tabungan ataupun pemasukan untuk memasok kebutuhan selama menjalani isolasi mandiri di rumah karena sang ibu yang merupakan tulang punggung keluarga dirawat di rumah sakit.
Sementara itu, ibu Dilla diperbolehkan pulang setelah menjalani isolasi selama 14 hari. Meskipun hasil swab test belum keluar, ibu Dilla tidak lagi merasakan gejala-gejala COVID-19, jadi pihak rumah sakit memperbolehkan beliau pulang.
Setelah pulang pun, ibu Dilla harus melakukan isolasi mandiri di rumah selama 14 hari. Hasil swab test keluar tak lama selepas ibu Dilla keluar dari rumah sakit. Menurut hasil swab test, ibu Dilla ternyata negatif COVID-19. Kabar tersebut tentu saja menjadi angin segar bagi keluarga Dilla yang hampir sebulan diliputi rasa waswas.
Banyak hikmah yang bisa Dilla ambil setelah berhasil melalui masa-masa sulit tersebut. Dapat dikatakan, kejadian itu memberikan pengalaman yang berharga bagi Dilla dan keluarganya. Pun, membuat Dilla lebih meneguhkan hati untuk menghadapi ujian di saat pandemi seperti ini.
“Hikmah yang bisa aku ambil dari masa sulit itu, aku jadi bisa lebih sabar, kuat, tak mudah menyerah, dan lebih dewasa. Tentunya, aku jadi tahu, ternyata banyak orang yang peduli denganku, walaupun masih ada beberapa orang yang tak acuh, bahkan memfitnah kami. Tapi, dari kejadian itu, aku merasa dipedulikan karena lebih banyak yang peduli,” tutur gadis itu. “Anggota keluarga itu juga sangat penting bagi kita. Kalau ada satu yang jauh, hidup itu rasanya kayak pincang. Enggak sempurna,” imbuhnya.
Di akhir obrolan kami, Dilla menyampaikan pesan yang begitu menyentuh dan mampu membuka pikiran masyarakat yang masih bebal serta menganggap bahwa COVID-19 itu tidak nyata.
“Kiranya, kalau ada masyarakat yang masih tidak percaya, coba renungkan beberapa hal berikut: ada seorang anak yang selalu menangis karena tak bisa bertemu orang tuanya, ada suami yang tak bisa melakukan salat jenazah dan melaksanakan pemakaman istrinya, ada orang yang sakit sampai bangun saja tak mampu. Apakah semua itu cuma tipuan? Jadi, kalau tidak mau menjadi salah satu yang menderita karena COVID-19, lakukanlah langkah preventif dengan cara menaati protokol kesehatan. Satu lagi, jika orang terdekat atau sanak keluarga terpapar COVID-19, tolong support mereka. Jika tidak bisa secara finansial, setidaknya dukung secara psikis. Jangan menghakimi mereka dengan pernyataan-pernyataan yang menyakitkan karena itu berpengaruh pada kesembuhan mereka. Saat pandemi seperti ini, hadirkan simpati dan empati dalam diri kita,” pesannya.
Dilla benar. COVID-19 itu nyata dan sudah memakan banyak korban. Jangan pernah menganggap remeh COVID-19. Meski begitu, jangan menganggap COVID-19 sebagai aib, sehingga menghakimi atau menjauhi orang-orang yang terpapar virus tersebut. Yang perlu dijauhi adalah penyakitnya (virus), bukan orangnya.