“Setiap jiwa (pasti) merasakan kematian.” (Q. 3:185). Banyak dari kita yang takut mati. Tapi tidak sedikit pula yang mengharapkan kehadirannya, segera. Sejak dulu kematian memang menjadi salah satu topik yang cukup sentral di kalangan agamawan. Termasuk para sufi. Bagian kedua dari seri tulisan tentang kematian dari sudut pandang tasawuf.
Amar Kontekstual
Bagaimana kita bisa membaca amar Allah yang kontekstual dengan sikon zaman (bukan amar yang telah dapat kita ketahui di dalam Kitab Suci) supaya kita dapat menanggapinya sebagaimana mestinya? Seseorang tidak akan dapat membaca amar Tuhan atau menyaksikan Wajah-Nya sebelum ia mati. Maksud ”mati” di sini adalah ia telah selesai dengan masalah dirinya, sudah terpanggil untuk mengurusi masalah yang lebih besar, yaitu umat dan semestanya.
“Istirahatkan dirimu dari berupaya (untuk kepentingan diri). Karena apa yang telah ditegakkan oleh selain dirimu (Allah) tak perlu engkau bersusah payah menegakkannya untukmu,” kata Ahmad ibn Athaillah As-Sakandari dalam buku Hikam-nya yang masyhur.
“Wahai jiwa yang tenang (telah istirahat dari memikirkan diri sendiri), kembalilah kepada-Ku dengan merela dan direlai. Dan masuklah dalam golongan hamba-Ku (yang siap menunaikan urusan Allah) dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (Q. 89:27-30).
Dalam Alquran gologan ini disebut mutawakkilin, orang-oang yang bertawakkal.
“Dan siapa yang bertawakkal kepada Alah, maka Allah cukup baginya. Sesungguhnya Allah akan menyampaikan urusan-Nya.” (Q. 65:3).
Adapun menunaikan amar Allah (amrullah) berbeda dengan melakukan sesuatu yang bermotif kepentingan diri atau nilai-nilai pada umumnya. Sifat amrullah itu maf’ula (pasti terlaksana) dan tidak harus lurus dengan logika atau visi moral yang berlaku. Kisah perjalanan hidup Nabi Ibrahim a.s. dan keluarganya, kisah Nabi Musa a.s.dengan Khidhir menggambarkan hal tersebut.
Selain itu, di balik “kenyataan faktual” seorang yang melaksanakan amar Allah kita akan dapatkan “kenyataan konseptual” yang bermakna bagi kehidupan. Perilaku Nabi Ibrahim dan istrinya Hajar di dalam menghayati perintah Tuhan (yang kemudian menjadi ritual ibadah haji) menjadi sebuah konsep untuk membuka hijab bashirah (tabir hati) kita terhadap amar Allah. Pengalaman aneh-aneh selama menunaikan ibadah haji bukanlah berasal dari ganguan jin, melainkan ajakan berkenalan dari Tuan Rumah lewat amar-amar-Nya yang harus direspons dengan tobat (mengubah cara hidup sebagaimana dikehendaki-Nya).
Itulah misteri besar yang tersimpan di dalam diri seorang hamba yang telah menemukan kematiannya. “Hamba-Ku, taatlah kepada-Ku, sehingga Kujadikan di dalam dirimu sifat rabbaniyah. Bila kau katakan kepada sesuatu ‘jadi’, maka akan menjadi.” (Hadis Qudsi). Dengan idiom Quran perintah itu menjadi “Dan sembahlah Tuhanmu hingga datang kepadamu keyakinan.” (Q. 15:99).
Bersambung
Penulis: Muhammad Zuhri (1939-2011), guru sufi dan sekaligus pelukis; terakhir menetap di Pati, Jawa Tengah.[Lihat “Pak Muh alias Mad Gambar” https://panjimasyarakat.com/2020/01/07/pak-muh-alias-mad-gambar/]. Sumber: Majalah Panji Masyarakat, 8 September 1999.