Berapa orangkah dari kita yang sama sekali bebas dari satu dua butir hipokrisi? Bagi jamaah tidak ada kerugian apa pun dari nasihat seorang yang “kurang bersih”: mereka tetap bisa memetik buah.
Hendaklah ada dari kalian suatu umat yang memanggil kepada kebaikan dan memerintahkan yang makruf serta mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang beruntung. (Q. 3: 104).
Dakwah Sang Hipokrit
Yang jadi soal, agaknya, dalam debat perkara “keabsahan dakwah” dari seorag yang berdosa, adalah karena terdapatnya masalah hipokrisi – nifaq, kemunafikan. Satu bait Al-Bushiri dalam Qashidah Burdah:
Jangan kau larang satu kelakuan lalu berbuat yang sepertinya
Aib padamu kalau begitu besar sekali
Itu memang serius. Tetapi Anda bisa saja bertanya, berapa orangkah dari kita yang sama sekali bebas dari satu dua butir hipokrisi? “Sudah diturunkan hipokrisi kepada satu kaum yang lebih baik dari kamu,” sabda Nabi s.a.w. dalam riwayat Bukhari, Kitab Tafsir. Justru karena itu kita mohonkan kepada Allah, seperti dalam satu doa yang diajarkan Nabi: Allahumma inni a’uudzu bika minasy syiqaqi wan-nifaaqi wa suu-il akhlaaq. :Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perpecahan, dari sikap hipokrit dan akhlak yang buruk” – hadis riwayat Abu Daud dan Nasa’i.
Meski begitu, yang lebih mungkin terjadi, orang yang “masih” punya kelemahan akhlak di bidang tertentu biasanya tidak mewejang sesuatu yang menyangkut bidang itu. Lagi pula, hanya sebagai contoh pengandaian, tidak mungkin seorang penganjur agama yang seperti itu akan menjadi hipokrit terus-menerus tanpa mengalami situasi belah jiwa. Siapa yang bersedia menjadi gila, lama-lama? Mudah-mudahan dakwahnya akan membersihkannya.
Sementara itu, bagi jamaah tidak ada kerugian apa pun dari nasihat seorang yang “kurang bersih”: mereka tetap bisa memetik buah. Dan kesediaan pemanfaatan seperti itu – meskipun, di sisi lain, faktor keteladanan sangat penting – tiba-tiba saja menunjukkan satu sisi egalitarianisme ajaran agama ini: bukan manusia, sebenarnya, yang diagung-agungkan (kecuali kalau akan tetap dipertahankan budaya agraris feodal), melainkan tuntunan Allah. Satu kalimat diriwayatkan dari Saidina Ali: “Lihatlah yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan.”
Karena itu pula tidak ada “kelas ulama”. Siapa bisa menjamin sang kiai masuk surga lebih dulu dari pengikutnya? Bahkan bisa saja salat para makmum diterima Allah, sementara dari sang imam tidak. Tetapi dakwah harus tetap jalan.
Penulis: Syu’bah Asa (1941-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat; Sebelumnya bekerja di majalah Tempo dan Editor. Sastrawan yang pernah menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok ini sempat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Sumber: Majalah Panji Masyarakat, 4 November 1998.