Hanya berbekal uang pas-pasan Hughes nekad pergi umrah. Beruntung di bandara dia bertemu keluarga Tinton Suprapto, yang mengajaknya ikut rombongan mereka. Semua fasilitas “bintang lima” selama Hughes di Madinah dan Mekah dibiayai keluarga ini. Berikut adalah cerita pengalamannya selama di Tanah Suci.
Meskipun aku hanya memegang uang 500 real, dengan nekad aku pergi juga. Saat aku akan pergi umrah itu, ibu dan ayah Inet mempersiapkan segalanya. Bagiku mereka adalah ibu dan ayah Islam gue. Keduanya sangat baik, bahkan pada acara selamatan di rumah mereka ustadz kami sangat sibuk ikut mempersiapkan segala kepentingan keberangkatanku. Termasuk mengajarkan tata cara ibadah umrah. Dengan tekun dan penuh kelembutan mereka membimbing Hughes. Dari sinilah Hughes sadar bahwa mereka sangat menyayangiku.
Meski sedikit gelisah karena hanya memegang uang 500 real, aku tetap berangkat. Aku tidak berpikir jika terjadi sesuatu di perjalanan, harus mencari ke mana. Eh, di bandara aku bertemu keluarga Tinton Suprapto. Tante Mince, istri Tinton, mengajak agar aku ikut mereka saja. Di Madinah segala fasilitasku mereka yang tanggung biayanya, baik makan maupun biaya menginap di suite room hotel berbintang lima. Aku heran, beliau kok sebaik ini. Padahal aku sendiri belum kenal betul dengan mereka, kecuali dengan Kania, anak Tante Mince, yang sekelas waktu SMA. Masya Allah, kegelisahanku hilang berubah menjadi kegembiraan.
Tidak hanya di Madinah, di tanah suci Mekah pun Tante Mince selalu menuntunku dan mengajarkan tentang ibadah sunnah apa saja yang harus dilakukan. Dalam hati, aku tidak habis pikir, betapa baiknya wanita satu ini. Bahkan ketika ziarah ke makam Rasulullah, dia yang menuntunku bersama putrinya itu. Di situ secara sontak aku bertemu dengan enam orang ibu-ibu yang duduk melingkar dan dengan cepat lalu menghilang. Barangkali malaikat, pikirku.
Tante Mince lalu menarikku ke depan makam dan menyuruhku salat di sana. Saya banyak belajar dari beliau. Di Masjidil Haram misalnya, aku heran melihat sekelompok ibu-ibu mengelus dinding mesjid membaca salawat sambil bertangisan. Saya tanyakan kepada Tante Mince, kenapa mereka begitu. Dengan sabar ia memberitahu bahwa kita tidak boleh berlebihan seperti itu, cukup membaca salawat saja. Bahkan ketika di makam Rasulullah sekalipun tidak boleh seperti itu.
Di Mekah beliau juga yang menuntunku membaca doa saat melakukan tawaf di Baitullah. Selama di sana rezekiku datang dari berbagai arah. Seperti di Masjidil Haram, saya bersama Tante Mince ada di sana saat sudah mendekati buka puasa. Makanan terpaksa kami tinggalkan di luar karena tidak diperkenankan dibawa masuk mesjid. Aku gelisah juga. Aku berdoa “Ya Allah tunjukkanlah kekuasaan-Mu kepadaku. Aduh saya lapar ingin berbuka puasa tapi tidak ada makanan.” Tiba-tiba datang ibu-ibu yang berasal dari Turki membawa keranjang berisi makanan duduk tidak jauh dari tempat kami. Bak sedang berpiknik ria, mereka lalu membentang selembar kain kemudian mengeluarkan makanan dan minuman. Waktu berbuka puasa tiba, jeruk dan minuman yoghurt mereka tuang ke gelas, setelah diaduk dengan jari, mereka berikan kepadaku. Sempat juga kami ngobrol. Kami memakai bahasa Inggris dan Indonesia, sementara perempuan se-oma-oma itu bercakap menggunakan bahasa Turki. Tapi kamu bisa sama-sama mengerti, dan sama-sama tergelak. Usai salat, saya tidak lagi melihat mereka.
Bersambung
Ditulis bersama Akmal Stanzah (almarhum). Sumber: Panjimas, 16-29 Oktober 2002