Di Mekah, praktik-praktik sihir, bukan hanya berkembang di kalangan awam. Para syarif Mekah, yang merupakan penguasa tertinggi pun memanfaatkan tukang sihir dalam menjalankan atau merebut kekuasaan mereka.
Di saat kaum Muslim mengalami kemunduran di bidang politik, ekonomi, dan peradaban, kepercayaan kepada pedukunan, sihir, astrologi, jampi-jampi, jimat dan sebangsanya, kian merebak. Ini juga terjadi di Hijaz (Mekah dan Madinah), terutama pada masa-masa kemunduran pemerintahan Turki Usmani (Ottoman) sejak awal abad ke-17 dan abad ke-18.
Memang itu bukan sepenuhnya tanggung jawab pemerintah Turki Usmani. Tetapi juga penguasa lokal, seperti para syarif Mekah, yang menjalakan pemerintahan secara lebih buruk lagi dari Istanbul. Para penguasa lokal ini sudah biasa menyingkirkan musuh-musuh politik mereka melalui pengkhianatan dan tipu daya. Situasi semacam ini menimbulkan praktek-praktek yang menyimpang dari sistem keimanan kaum Muslim sendiri. Syarif Mekah merupakan keturunan sayidina Ali dari putranya Hasan, yang antara lain sekarang menjadi penguasa di Yordania.
Di Mekah, praktik-praktik sihir, bukan hanya berkembang di kalangan awam. Para syarif Mekah, yang merupakan penguasa tertinggi pun memanfaatkan tukang sihir dalam menjalankan atau merebut kekuasaan mereka.
Dalam manuskrip berjudul Ithif Fudala’ al-Zaman sebagaimana dikutip oleh Ahmad as-Siba’i, disebutkan bahwa pada tahun 1128 H (1716 M) SyarifSa’id menderita sakit. Ketika itu dia mengundang seorang tukang sihir untuk mendiagnosa penyakitnya. Tukang sihir itu kemudian meminta didatangkan ‘abd gasyim, atau seorang hamba yang tidak cakap.
Kemudan, si tukang sihir itu menuliskan sesuatu di atas kening si hamba tadi, sehingga orang itu jatuh tak sadarkan diri. Dalam keadaan demikian si tukang sihir itu bertanya kepadanya tentang sebab-sebab sakitnya syarif. Nah, si hamba yang tidak cakap tadi kemudian menjelaskan bahwa seorang berkulit hitam yang tinggal di Ziwyah al-Junaid, menulis sesuatu untuk menyihir syarif dan sesuatu itu kemudian ditimbun di kebunnya.
Berdasarkan hasil diagnosa itu, mereka pun mencari tulisan sihir orang berkulit hitam itu, dan mereka mendapatkan sebuah kepingan timah tertulis, sebagaimana mereka juga menemukan beberapa lembar kertas, tinta, dan syair. Setelah itu mereka pun menangkap si penyihir berkulit hitam tadi. Akhinya dia mengakui perbuatannya, dan mengatakan bahwa dia melakukan hal itu atas permintaan sebagai anggota keluarga Barakat, yang menjadi syarif Mekah pada 1669 -1671 M) untuk menjatuhkan Syarif Sa’id dan merebut kekuasaannya.
Kita ketahui, sebelum dikuasai oleh Ibnu Saud pada 1925, yang selanjutnya menyatakan diri sebagai khadimul haramain (pelayan dua Kota Suci), Hijaz (Mekah dan Madinah) dikuasai oleh keturunan Ali ibn Abi Thalib. Di Madinah yang berkuasa adalah keturunan Husein ibn Abi Thalib, sedangkan yang di Mekah keturunan Hasan ibn Abi Thalib. Meski begitu yang menjadi pusat pemerintahan Hijaz adalah Mekah. Penguasa pertamanya adalah Ja’far ibn Muhammad ibn Al-Husain ibn Muhammad asy-Sya’ir yang pada tahun 358 H/968 M berhasil mendirikan pemerintahan di Mekah, menggantikan posisi penguasa sebelumnya yaitu Bani Ikhsyid. Ja’far pulalah yang kemudian menurunkan para syarif atau penguasa Mekah. Dengan demikian, pemerintah Ja’far merupakan awal berlakunya apa yang dinamakan Nizam al-Asyraf, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh keturunan para syarif. Yakni keturunan Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib tadi.
Selama pemerintahan para syarif semenjak berdirinya hingga masa Turki Usmani I telah terjadi beberapa pergantian dinasti, yang dalam karya-karya sejarah Mekah disebutkan dengan thabaqah (peringkat). Yakni thabaqah keturunan Ja’far ibn Muhammad ibn al-Husain (358H/968M – 455 H/1063 M), thabaqah keturunan Sulaiman al-Jun yang kemudian disebut Sulaimaniyyun (455 H/1063 M – 457 /1065 M), thabaqah keturunan Abu Hasyim Muhammad ibn Ja’far yang disebut Hasyimiyyah atau Hawasyim (457 H/1065 – 597 H/1201 M), dan thabaqah keturunan Qatadah yang berlangsung dari tahun 597 H/1201 M sampai berakhirnya Nizam al-Asyraf pada tahun 1344 H/1925 M.
Sumber: Badri Yatim, Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci, Hijaz (Mekah dan Madinah) 1800-1925 (1999)