Dinasti Saud yang sekarang menguasai Arab Saudi pada mulanya bukanlah orang-orang yang punya cita-cita besar. Mereka hanya sebuah keluarga kecil yang menguasai daerah kecil, seperti syekh-syekh lain yang jumlahnya banyak di sekitar Nejd. Konon, andaikan tidak bertemu Muhammad bin Abdul Wahab mereka hanya akan menjadi petani atau pedagang kecil, atau paling banter peternak kuda.
Al-Ikhwan adalah korps pasukan elite yang dikenal fanatis dan sangat ditakuti musuh. Fanatisme dan disiplin yang ketat membuat mereka menjadi kelompok superior terhadap berbagai kekuatan apa pun di sekitar mereka. Pasukan ini dibentuk oleh Abdul Aziz bin Saud, kemudian dikenal sebagai Ibnu Saud, raja pertama Kerajaan Arab Saudi. Satu dasawarsa setelah Perang Dunia I, Al-Ikhwan merupakan kekuatan besar militer Saudi. Organisasi ini merupakan karya terpenting Abdul Aziz , karena menjadi faktor krusial dalam pembentukan Negara Saudi baru.
Tahun 1922 Ibnu Saud dan balatentaranya berencana menyerbu Hijaz (kawasan Mekah dan Madinah). Mula-mula mereka menyerbu dan berhasil menguasai Thaif. Mengetahui balatentara Saudi sudah mendekat maka Raja Husain bin Ali mengungsi dan menyerahkan kekuasaan kepada putranya, Ali bin Husain.
Ketika beredar kabar bahwa Syarif Husain berlayar meninggalkan Jedah, empat orang prajurit Ikhwan memasuki Kota Mekah. Mereka hanya memakai pakaian ihram, dan sama sekali tidak bersenjata. Mereka kemudian mengumumkan bahwa kota itu akan dikuasai Ibnu Saud.
Benar. Keesokan harinya, Ibnu Lu’ai dan Ibnu Bijad memimpin pasukan memasuki kota suci itu. Seluruhnya juga hanya mengenakan kain ihram. Dan tanpa senjata. Beberapa anggota pasukan yang fanatik menghancurkan beberapa warung minum, membakar semua rokok dan pipa yang mereka temui. Beberapa kuburan berkubah juga dihancurkan atau dirusak. Namun, tak seorang pun korban yang jatuh.
Pada 3 Desember 1924 Ibnu Saud tiba Hijaz. Ketika ia memasuki Kota Mekah dan menunaikan ibadah haji, ia dikerumuni oleh orang-orang yang akan mencium tangan serta berlutut di hadapannya, sebagaimana biasa dilakukan di hadapan syarif Husain. Abdul Aziz menolak, “Kebiasaan orang Arab hanyalah berjabat tangan,” katanya. Ali, putra Raja Husain, yang diserahi kekuasaan oleh ayahnya yang telah menyingkir dari Mekah, kemudian menyerahkan kekuasaan kepada Abdul Aziz pada tahun 1925.
Dari Mekah ekspansi dilanjutkan ke Madinah dan Jeddah. Dengan demikian seluruh tanah Hijaz kembali berada di bawah kekuasaan dinasti Saudi yang berpusat di Riyad. Abdul Aziz bin Saud kemudian menempatkan puteranya, Faisal, sebagai wakil raja di Hijaz. Dia sendiri melewatkan waktunya setengah tahun di Mekah dan sisanya di ibu kota negara.
Berbeda dengan masa sebelumnya, yaitu Hijaz pada masa Saudi I (1803-1813), kali ini penguasa dinasti Saudi tidak mempertahankan kekuasaan para syarif untuk mewakili kekuasaan dinasti Saudi di Hijaz. Dengan hadirnya kekuasaan Saudi II di Hijaz ini, kekuasaan para syarif, yang sudah berlangsung beberapa abad, pun berakhir. Pemerintahan para syarif (nizam al-asyraf) dipegang oleh keturunan Hasan bin Abi Thalib yang ditegakkan pada tahun 358 H/968 oleh Ja’far bin Muhammad bin Husain bin Muhammad al-Syair. Suksesi kepemimpinan para syarif, sebagaimana dalam sistem kerajaan Islam, tidak punya aturan sehigga bisa dijadikan tradisi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pemerintahan para syarif ini sering dipenuhi berbagai intrik, dan tidak jarang berakhir dengan pembunuhan.
Dinasti Saud sendiri pada mulanya bukanlah orang-orang yang punya cita-cita besar. Mereka hanya sebuah keluarga kecil yang menguasai daerah kecil, seperti syekh-syekh lain yang jumlahnya banyak di sekitar Nejd. Andaikan mereka tidak bersekutu dengan Muhammad bin Abdul Wahab, mereka hanya akan menjadi petani atau pedagang kecil, atau paling banter peternak kuda. Dan tentu saja dengan kebiasaan bergabung dengan suku-suku badui untuk menyerang dan merampas suku lain bila mereka merasa kuat, atau dengan cerdik bersembunyi di pangkalan mereka jika merasa sedang lemah.
Dunia pun tidak akan mengenal mereka jika keluarga ini tidak bersekutu dengan Ibn Abdil Wahab, dan berjanji untuk ikut menyebarluaskan ajaran yang dibawanya dan menjadi pendukung utamanya. Yakni gerakan pemurnian Islam, dengan cara melenyapkan doktrin-doktrin yang tidak bersumber pada ajaran pokok yaitu Alquran, serta menghancurkan praktek-praktek bid’ah. Mungkin karena kuatnya ajaran Ibn Abdil Wahab ini Saudi disebut negeri Wahabi.
Sumber: Badri Yatim, Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci, Hijaz (Mekah dan Madinah) 1800-1925 (1999)