Ya, ini pengalaman yang saya alami langsung, bukan katanya orang. Ini saya tulis agar pembaca selalu waspada, tetap konsisten menjalani protokol kesehatan, dan bagaimana orang lain menyikapinya secara bijak. Saya bagi tulisan ini menjadi beberapa bagian berdasarkan kronologisnya.
Ya, ini pengalaman yang saya alami langsung, bukan katanya orang. Ini saya tulis agar pembaca selalu waspada, tetap konsisten menjalani protokol kesehatan, dan bagaimana orang lain menyikapinya secara bijak. Saya bagi tulisan ini menjadi beberapa bagian berdasarkan kronologisnya.
Kronologi Awal
Cerita ini saya mulai pada pertengahan November 2020, tepatnya tanggal 13-15. Saya bersama 25 tenaga kependidikan melakukan perjalanan ke Salatiga, menginap di Hotel Laras Asri Resort, Salatiga, dalam rangka melakukan kegiatan akhir tahun 2020. Perjalanan dibagi menjadi beberapa kendaraan: satu mobil Elf, satu mobil dinas Pak Dekan (Innova Reborn), satu mobil dinas Kijang LSX, dan satu mobil dinas yang saya pakai (Innova hitam) dengan penumpang 6 orang tenaga kependidikan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.

Jumlat malam Sabtu, kegiatan diisi oleh Prof. Yudian sembari beliau pulang ke Jakarta setelah dari Jogja. Hari Sabtu diisi dengan city tour dan sorenya kembali lagi ke Hotel. Hari Ahad pagi kemudian pulang bersama (konvoi) lewat Boyolali dan mampir makan siang di Pengging Boyolali. Ahad sore hari jam 15 sampai di kampus dan saya kembali ke rumah.
Senin-Rabu (16-18 November 2020) aktifitas berjalan seperti biasanya. Ke kampus, ngajar online, rapat, dan lain-lain. Tak ada yang istimewa karena berjalan biasa-biasa saja. Memang saya mendengar beberapa tenaga kependidikan (staf TU) sakit. Tapi saya anggap wajar, pikir saya, mungkin karena kecapekan setelah acara di Salatiga.
Hari Kamis (19 November 2020), setelah rapat online dengan BPKH dan KPK, saya ke ruang Pak Dekan untuk melihat keadaannya. Pak Dekan pucat dan merasa demam. Saya pikir karena capek karena sepulang dari Salatiga langsung ke IAIN Purwokerto. Kemudian Pak Dekan mengajak saya untuk ikut acara dengan Rektor di Tawangmangu mempresentasikan Renstra Fakultas Syariah dan Hukum.
Sebagai wakilnya saya bersedia, apalagi itu terkait dengan hal yang menjadi bidang saya. Jam 14 saya berangkat ke Tawangmangu dengan diantar sopir fakultas. Setelah presentasi, saya mengajak Pak Dekan agar pulang awal dengan alasan sakit. Jumat pagi saya, Pak Dekan, dan sopir fakultas kembali ke Jogja. Mampir juga ke Fakultas Syariah IAIN Surakarta untuk ketemu teman.
Mulai Menghangat
Sabtu, 21 November 2020 adalah hari libur kerja. Saya seharian di rumah, istirahat. Selepas Isya saya dan istri beserta 2 anak ke Piyungan njagong keponakan yang akan menikah. Prokes tetap saya jalankan. Dari Piyungan saya langsung ke Wonosari untuk mengunjungi Ibu saya. Ahad paginya saya demam. Saya pikir hanya masuk angin biasa karena terkena kipas angin secara langsung, tidur di kasur bawah, malam hujan deras, dan saya kedinginan. Saya siang kemudian pulang ke rumah di Banguntapan. Sampai Senin saya demam.

Biasanya saya ke dokter kalau sakit, tetapi karena dalam keadaan pandemi seperti ini, saya hanya minum obat generik. Wallahu a’lam, apakah saat itu Covid-19 sudah masuk tubuh, saya tidak tahu. Jika melihat gejalanya, saya yaqin tidak, karena gejalanya berbeda dengan Covid-19. Hari Selasa demam saya mereda dan kondisinya membaik. Hari Rabu saya mulai ke kampus lagi walaupun hanya sebentar.
Curiga
Hari Kamis, 26 November 2020, saya ke kampus. Bu Kabag menelpon bahwa salah satu tenaga kependidikan dinyatakan positif Covid-19. Beberapa orang tenaga kependidikan juga sakit. Saya, Kabag, dan Kasubag langsung rapat terbatas dan hasilnya meminta kepada PAU (Pusat Administrasi Umum)/Rektorat untuk menutup sementara layanan di fakultas. Saya langsung kontak Kepala Biro untuk permohonan ini dengan beberapa alasan. Permintaan kami diterima. Fakultas Syariah dan Hukum langsung ditutup sampai Selasa. Penyemprotan disinfektan juga kami minta agar tidak terjadi penyebaran yang lebih luas. Saya galau pada hari-hari itu.
Satu sisi, banyak yang ingin tahu kabar Pak Dekan dan teman-teman yang sakit, tugas kampus yang belum selesai, persiapan AUN QA bagi Prodi Ilmu Hukum, penutupan fakultas, bagaimana mengkondisikan dengan keluarga, dan lain-lain. Tekanan sedikit muncul, walaupun saya hadapi dengan dingin. Sesampai di rumah, saya mengkondisikan untuk semi-isolasi mandiri. Saya mulai tidur sendiri dan menjaga jarak dari keluarga. Perangkat tugas online juga saya siapkan selama masa lockdown ini. Jumat dan Sabtu adalah jadwal visitasi/asesmen lapangan akreditasi BAN-PT di sebuah perguruan tinggi di Tasikmalaya. Bismillah, saya harus kuat dan bisa menjalani ini.
Harus Menjalani Swab
Jum’at dan Sabtu saya menjalani kegiatan di rumah. Pagi jam 8 sampai jam 16 hanya di meja kerja rumah melakukan visitasi/asesmen lapangan akreditasi BAN-PT. Waktu sholat Jumat pun saya tetap di rumah, saya ganti dengan dzuhur. Sabtu sore, 28 Desember 2020 saya dikabari Mas Gilang, dosen muda di Fakultas Syariah dan Hukum, bahwa Pak Dekan dinyatakan positif.
Saya langsung koordinasi dengan Kepala Biro AUK UIN Sunan Kalijaga selaku Satgas Covid-19 di kampus dan beberapa teman dekat. Bu Sumaryati, dokter di Puskesmas Banguntapan I yang dahulu menangani cek kesehatan haji saya dan istri tahun 2018, juga saya hubungi terkait dengan apa yang harus saya lakukan mengingat saya kontak langsung dengan suspect. Wakil Dekan II Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga juga saya kontak terkait pengalamannya. Bu Ika, dokter Puskesmas Banguntapan I kemudian menghubungi saya melalui WA dan menanyakan kronologi kejadian. Saya jelaskan kronologi lengkap.

Akhirnya, Bu Ika menetapkan bahwa saya harus tes swab mengingat kontak langsung (apalagi semobil Jogja-Tawangmangu PP). Saya dijadwal swab pada hari Senin (30 November 2020) dan Selasa (1 Desember 2020). Bu Diana, Dokter Klinik UIN Sunan Kalijaga juga mengontak terkait dengan keadaan dan kondisi saya. Dengan sigap dan cepat akhirnya beliau koordinasi dengan beberapa Puskesmas tempat tinggal beberapa tenaga kependidikan untuk jadwal swab. Semua tenaga kependidikan di Fakultas Syariah dan Hukum harus diswab.
Hari Ahad sebelum swab tentu kepikiran macem-macem. Apalagi, Senin dan Selasa, pagi sampai sore saya juga ada jadwal visitasi/asesmen lapangan akreditasi BAN-PT di sebuah perguruan tinggi di Jambi. Alhamdulillah semua terkondisikan, selesai swab jam 9 saya langsung gabung dalam zoom untuk asesmen.
Dinyatakan Positif Covid-19
Menunggu pengumuman hasil swab adalah sesuatu. Muncul pikiran macam-macam. Tidur glundhang-glundhung nggak nyenyak. Pokokmen rasanya nano-nano. Grup fakultas yang khusus dibuat untuk Covid-19 ini juga mulai ramai. Mungkin ini yang disebut tekanan batin. Kamis malam Jumat saya coba menghubungi Bu Ika Puskesmas Banguntapan I tentang hasil swab, ternyata belum ada. Akhirnya, Jumat pagi, 4 Desember 2020 saya dibel langsung oleh Bu Ika Puskesmas Banguntapan I bahwa saya positif Covid-19. Dua kali swab (Senin dan Selasa) semua hasilnya positif. Saya nunggu keputusan Puskesmas untuk tindak lanjutnya.
Saya pun juga menanyakan tentang swab bagi istri dan anak-anak saya. Saya kumpulkan istri dan anak-anak saya tentang kondisi ini dan minta tetap tegar dan siap menjalani swab. Bersyukur, Puskesmas Banguntapan I langsung menjadwal swab untuk istri dan anak saya pada hari itu juga, Jum’at dan Sabtu (4 dan 5 Desember 2020).
Setelah waktu sholat Jumat (tetapi saya tidak Jumatan.. hehe), saya diberitahu oleh Bu Ika bahwa saya disediakan tempat di rumah isolasi Selter Covid-19 BPSDMP Niten, Panggungharjo, Sewon, Bantul. Saya telah siap menjalani ini. Lebih baik saya menyendiri menjalani karantina/isolasi daripada di rumah. Segera saya packing pakaian dalam koper dan berangkat nyopir sendiri ke lokasi.
Yang menjadi keyakinan pada saat itu bahwa saya yaqin akan kembali sehat adalah kondisi saya yang baik-baik saja. Tidak ada keluhan. Tidak batuk, tidak demam, tidak hilang indra penciuman, makan dan minum enak. Justru saat mendengar saya positif saya merasa lega, sudah muncul kepastian bagaimana saya harus bersikap. Saya pun menghitung hari sejak kontak langsung suspect pada tanggal 20 November 2020.
Jika dihitung sejak tanggal itu (20 November 2020) sampai tanggal dinyakatan positif (4 Desember 2020) berarti sudah 14 hari. Artinya, jika pun ada virus Covid-19 dalam tubuh saya, virus itu telah melemah. Imun saya alhamdulillah kuat menghadapinya. Semenjak awal Covid-19 melanda, saya ikhtiyar dengan selalu minum jeruk nipis dengan dicampur madu tiap pagi dan sore.
Saya pun langsung laporkan kasus saya ini kepada kampus (melalui Kabiro AUK), Pak Mas Giyadi Ketua RT 10 Dusun Salakan, Bu Dokter Diana Klinik UIN Sunan Kalijaga, termasuk kepada Mas Dayat, tetangga yang jadi anggota Satgas Covid Desa Potorono, dan lain-lain. Saya tahu, informasi ini “meledak” di kampus maupun di kampung. Saya berusaha menenangkan dengan share foto kondisi terkini.
Mulai Menjalani Karantina
Jum’at, 4 Desember 2020 jam 14 saya sudah sampai di Rumah Isolasi di Selter BPSDMP di Niten Panggungharjo Sewon Bantul. 1 jam lebih awal karena baru jam 15 bisa check in dan masuk kamar. Sambil menunggu kamar siap, saya mengobrol (berjarak) dengan Satpam. Rumah Isolasi ini ternyata milik Dinas Pertanian yang disewa Pemda Bantul untuk tempat isolasi penderita Covid-19.
Saya ditempatkan di Gedung Rinjani, kamar 204 bersama sesorang asal Dongkelan yang terkena Covid-19 setelah merawat ibunya. Gedung lain yang dipakai adalah Gedung Halmahera yang terdiri dari 3 lantai. Setiap kamar diisi oleh 2-3 orang. Kamarnya ber-AC dan dilengkapi heater. Biasanya gedung ini digunakan untuk diklat Dinas Pertanian. Saya memaklumi jika AC-nya mati dan heater/pemanas air kamar mandi juga tidak fungsi karena pengelola sulit mencari tukang yang mau memperbaiki di tempat isolasi para penderita Covid-19.
Total penghuni di Rumah Isolasi Selter BPSDMP Niten sekitar 70-an orang. Naik turun jumlahnya karena tiap hari ada yang masuk (baru) dan ada yang pulang (karena sudah positif). Mereka berbaur (dengan berjarak tentunya) di halaman gedung biasanya pagi dan sore hari. Ada yang joging, badminton, dhedhe, dan santai-santai sambil minum teh/jahe. Ada juga yang bersedekah tenaga dengan menyapu halaman. Jam 8 mulai senam pagi yang dipimpin oleh salah satu dari penghuni.
Selama 6 hari kami senam pagi dipimpin oleh santri-santri putri Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem. Setelah mereka pulang, senam dipimpin oleh salah satu penghuni. Menurut Satpam, gedung ini adalah gedung karantina yang mengasyikkan. Penghuni dibolehkan mengunjungi antar kamar, pesan makanan dari luar, dan bercengkerama di halaman.
Saya merasakan “kebebasan” dan “mengasyikkan” itu. Tiap hari dijatah makan 3 kali, snak 2 x, diberi paket alat mandi dan cuci, vitamin C dan D, obat kumur, dan paket minuman. Tiap hari dokter/perawat memantau perkembangan para penghuni melalui grup WA. Jika ada yang sakit, disediakan obat. Namun demikian, di rumah isolasi ini tidak ada perawatan, jadi yang tinggal di sini adalah mereka yang OTG (orang tanpa gejala). Dari pengamatan saya selama 8 hari, memang tidak ada yang sakit parah di sini yang harus menjalani perawatan. Ini bukan rumah sakit, tetapi rumah isolasi.

Saya tinggal di sini bersamaan dengan 3 orang tenaga kependidikan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, seorang suami tenaga kependidikan Fakultas Syariah dan Hukum, dan 1 orang dosen Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam. Jadi total ada 6 orang dari keluarga besar UIN Sunan Kalijaga. Sementara di Shelter Bambanglipuro, tempat penanganan Covid-19 juga yang disediakan Pemda Bantul, ada 4 orang staf Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
Jadi kalau saya rincikan yang positif Covid-19 dari Fakultas Syariah dan Hukum lumayan banyak: 4 orang di Shelter Niten Sewon, 4 orang di Shelter Bambanglipuro, 2 orang di RS Tentara DKT (belakang RS Bethesda), dan 2 orang menjalani isolasi mandiri di rumah. Ini belum termasuk keluarganya (suami/istri dan anak-anaknya).
Kesan “menyeramkan” di rumah isolasi buyar sudah. Saya enjoy 8 hari di sini, dari Jum’at (4 Desember 2020) sampai Jumat (11 Desember 2020). Saat Ibu saya menelpon (video call) sambil menangis karena saya positif dan diisolasi, saya tunjukkan video keadaan di rumah isolasi dan kondisi saya yang baik-baik saja. Alhamdulillah, beliau akhirnya bisa menghilangkan kesan menyeramkan ini. Hampir tiap hari juga, saya unggah foto atau video keadaan atau aktifitas di rumah isolasi ke grup WA kampus dan kampung
Di rumah isolasi pun saya dapat beraktifitas untuk kegiatan kampus: rapat online, nguji proposal disertasi online, ngajar online, membaca dan menilai borang akreditasi, dan lain-lain. Wifi di rumah isolasi cukup kuat, sehingga sangat membantu dalam kegiatan online.
Swab Evaluasi
Setelah menjalani beberapa hari di rumah isolasi, setiap penghuni dijadwal untuk swab evaluasi. Jika hasil swab isolasi negatif, maka dibolehkan pulang. Jika hasil swab masih positif, maka harus tetap berada di rumah isolasi sampai 14 hari dihitung sejak swab pertama. Saya dijadwal swab evaluasi hari Selasa, 7 Desember 2020. Karena libur nasional adanya Pilkada serentak Rabu, 8 Desember 2020, hasil swab akhirnya juga mundur. Saya pun gagal mengikuti pencoblosan karena tidak ada TPS yang “berani” datang ke rumah isolasi.
Hari Jumat, 11 Desember 2020 adalah adalah hari yang saya nantikan. Hari itu adalah hari yang mestinya hasil swab keluar. Jumat pagi sampai siang manthengi handphone grup WA Shelter kalau-kalau pengumuman muncul. Di sisi lain saya gundah, karena hasil swab istri dan anak-anak saya belum keluar. Nggak tahu kok bisa selama ini. Bahkan teman-teman fakultas yang swab di Puskesmas Depok 3 sejak tanggal 2 Desember 2020 juga belum keluar. Seminggu lebih istri saya menunggu hasil swabnya. Jika saya dinyatakan negatif tetapi istri saya belum keluar, dokter menyarankan agar saya tidak tinggal serumah dahulu. Saya pun merencanakan tinggal dulu sementara di rumah Ibu saya di Wonosari. Alhamdulillah, jam 10 Bu Diana, Dokter Klinik UIN Sunan Kalijaga yang mengkoordinir swab memberitahukan bahwa hasil swab istri saya negatif. Saya langsung kontak Bu Ika Puskesmas Banguntapan I tentang informasi itu. Betul, Jum’at 11 Desember 2020 hasil swab istri dan anak-anak saya keluar. Semuanya negatif. Alhamdulillah.. saya sangat lega, paling tidak saya bisa langsung ke rumah jika sudah negatif.
Hari Jumat 11 Desember 2020 jam 14 saya di kamar. Jadwal saya adalah mengajar Seminar Proposal bagi Mahasiswa S2 Magister Ilmu Syariah. Di tengah-tengah mengajar, teman sekamar saya berteriak tahmid dan sujud syukur. Ternyata pengumuman negatif telah keluar, termasuk saya. Saya langsung bergegas dan memasukkan pakaian ke koper, ngentasi jemuran, dan berkemas.
Pengelola mengumumkan agar yang telah negatif diharapkan langsung pulang karena kamar akan segera dibersihkan dan dipakai penghuni baru. Sesampai di rumah, saya laporkan kondisi saya yang sudah negatif kepada Ketua RT 10 Salakan, Puskesmas Banguntapan I, dan Satgas Covid-19 Desa Potorono, dengan melampirkan Surat Keterangan Sehat dari Rumah Isolasi Niten.
Sampai Rumah: Ternyata…
Jumat sore, 11 Desember 2020 saya telah sampai rumah. Rasa kangen terobati. Alhamdulillah, istri dan anak-anak kondisinya sehat. Mereka cukup lama isolasi mandiri di rumah sampai 8 hari tanpa ke luar rumah karena menunggu hasil swab. Ini yang berat bagi mereka. Selama 8 hari menunggu hasil swab, tekanan psikis itu muncul bertubi-tubi.
Saya tahu dan kenal mereka, bahkan beberapa kenal baik, ah kok bisa ya? Memang kadang pikir tidak sejalan dengan hati. Melihat kasus seperti ini, pesan Bu Dokter, harus dengan pendekatan hati. Saya tidak pernah melihat istri seberat ini. Tapi kami dapat pelajaran berharga: siapa teman dan kawan sejati sebenarnya.
Setiap hari pertanyaan bertubi-tubi “Hasilnya positi atau negatif?”, “kapan hasil swab keluar?”, “swab macam apa ya yang seminggu belum keluar?”, “Nggak ada rencana konferensi pers tho di wa group?”, “Tanyakan hasil swabnya karena ditunggu banyak orang!”, “Sampaikan saja update besok ke WA group”, dan bahkan ada sampai hati yang meragukan bahwa istri dan anak-anak saya telah melakukan swab. Kok bisa? Bisa saja, karena mereka manusia biasa yang takut berlebihan, alias parno. Perilaku mereka dibangun karena kecemasan berlebihan sehingga tidak mengindahkan rasa empati yang seharusnya diberikan kepada penderita atau keluarganya. Mereka sangat cemas terhadap diri mereka sendiri.
Walaupun begitu, banyak juga teman sejati yang memberikan rasa empati dan selalu mendorong agar tetap semangat. Mereka selalu mendoakan yang baik, tanpa menekan atau bertanya. Bahkan saking menjaga perasaan, mereka akhirnya tidak bertanya sama sekali, khawatir justru menambah beban. Tetangga rumah pun banyak menunjukkan kepedulian dan rasa sayang yang mendalam. Mereka tanpa banyak kata, tanpa bertanya, dan langsung menunjukkan kepedulian dan kasih sayang mereka. Ada saja yang tiba-tiba mencantholkan sesuatu ke pintu rumah. Mereka mengungkapkan rasa empati dengan cara mereka sendiri. Kami sangat terharu atas ketulusan mereka. Kami juga sangat terbantu ada fasilitas transfer online atau belanja online yang cukup membantu saat menjalani isolas
Ya, saya pernah membaca tulisan tentang keadaan psikis para suspect atau keluarganya. Mereka kadang lebih berat menghadapi tekanan sosial daripada menghadapi virusnya itu sendiri. Saya tulis sekali lagi: kadang lebih berat menghadapi tekanan sosial daripada menghadapi virusnya itu sendiri adalah benar adanya. Tenin.
Saya berbagi pengalaman agar kita sama-sama mengambil pelajaran dari kejadian ini. Tidak ada seorang pun di dunia yang berkeinginan mengalaminya. Keadaan psikis para suspect dan keluarganya sangat rentan dan sensitif. Filosofis Jawa sangat bijak, saat berucap dan berperilaku tidak hanya “bener” tetap juga harus “pener”. Jangan sampai psikis para suspect dan keluarganya yang sudah jatuh, malah ditimpa tangga.
Semoga kita semua mendapat perlindungan dan kesehatan. Amiiin…
Salakan, Yogyakarta, 12-12-2020
Semoga pandemi segera hilang, selalu dilindungi oleh Allah SWT,
Salam sehat salam semangat bapak💪💪
Semoga kita semua senantiasa dalan karunia Allah, tetap Sehat, Aman, Sejahtera lahir dan batin. Aamiin