Ads
Aktualita

Hari Santri: Santri Sehat Indonesia Kuat?

Hari ini, 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional. Kali ini tagline yang dijadikan peringatan adalah ‘Santri Sehat Indonesia Kuat’.

Barangkali kata ‘sehat’ disematkan mengingat situasi negeri ini yang sedang sakit. Ya. Sehat. Tidak hanya raganya, tapi juga jiwanya. Sakit raga berkaitan dengan situasi pagebluk yang tak jelas ujungnya. Sejumlah santri dan pesantren dikabarkan menjadi tempat singgah virus Wuhan ini. Padahal jumlah angkanya sangat kecil dari jumlah santri dan pesantren yang ada di Indonesia.

Sedangkan Indonesia kuat, karena kondisi bangsa ini tidak sedang baik-baik saja. Sedang melemah pada semua sisi kehidupan berbangsa dan bernegara. Setelah lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka, tapi taraf hidup rakyatnya tak kunjung membaik. Perjalanan dan arah pembangunan seakan-akan kehilangan orientasi. Yang tampak adalah kepentingan segelintir orang. Lihatlah bagaimana penolakan kebijakan pemerintah terjadi di mana-mana. Melahirkan gelombang penolakan berskala besar. Survey sebuah redaksi harian nasional, menunjukan rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Lalu, ajang seremonial tahunan pada Hari Santri Nasional, dijadikan momentum terwujudnya santri dan pesantren yang sehat dan menjadikan Indonesia kuat. Tepatkah?

Sejenak kita melihat ke belakang. Kala itu, Hari santri Nasional adalah realisasi janji politik seorang calon presiden. Sebuah janji yang paling mudah diwujudkan, tinggal teken jadilah keputusan, lalu rayakan bersama-sama. Santri dan pesantren memang menjadi tempat yang menjanjikan bagi para pemburu jabatan publik. Dari calon anggota dewan perwakilan rakyat sampai presiden. Pasalnya, di pesantren ada seorang ‘influencer’ hebat yang bernama kiai. Ada para ‘buzzer’ loyal yang disebut santri. Jika kiai bilang A, santri pasti A. Jika kiai sudah turun tangan, urusan politik dan pencoblosan menjadi santapan paling gurih bagi para politisi untuk mendulang suara.

Jadi maklum adanya jika menjelang pemilihan, sorban atau jilbab menghiasi badan calon politisi. Tak ketinggalan peci hitam teronggok di atas kepala. Baju koko berkelir putih sebagai busana pilihan saat bertandang ke pesantren untuk mendapatkan dukungan. Pesantren adalah target politik yang potensial dan berongkos murah. jika kemudian terpilih, tak ada beban untuk mengingkari janji. Sebab pesantren tidak punya kekuatan politik yang mengancam. Paling banter layangan kritikan dan sindiran yang gampang hilang terhembus angin pantai. Begitulah nasib santri dan pesantren. Kasarnya, habis manis sepah dibuang.

Maka, seharunya definisi santri sehat disini bukan soal fisik. Tapi waras pikirannya terhadap para broker politik dan  pemangku jabatan di pemerintahan. Supaya tidak mudah tergiur atau terjebak dalam kepentingan politik yang semu dan berjangka pendek. Sebab, secara fisik santri itu sehat. Dari bangun tidurnya saja pada jam-jam yang menyehatkan. Makan minumnya tidak macam-macam. Olahraga dan kerja menjadi hal yang menyenangkan usai belajar. kalau gaya hidup dan gaya konsumsinya saja sudah sehat, para dokter menyakini akan jauh dari penyakit.

Jiwanya pun demikian. Tidak terusik dengan berita dan informasi dari medsos. Sebab handphone barang terlarang yang tidak boleh dibawa ke pesantren. Nonton televisi juga tidak. Sehingga tidak tahu hiruk-pikuk informasi yang aneh-aneh. Baca koran saja harus desak-desakan. Nyaris tidak pernah menyaksikan tayangan sinetron berjilid-jilid yang tak pernah kelar. Jadi apanya yang tidak sehat santri itu?

Santri yang sehat alias waras adalah santri yang paham urusan agama dan dunia sekaligus. Paham agama untuk menjadi alat kontrol dan pengendali segala aktifitas duniawi. Supaya tetap waras dan berada dalam koridor nilai-nilai agama. Supaya tetap jujur, amanah, dan peduli. Paham urusan dunia, supaya tidak dikibulin oleh orang-orang yang gila dunia yang datang memanfaatkan potensi yang ada. Jadi santri sehat adalah santri yang punya prinsip dan harga diri. Santri yang memantaskan diri sebagai sosok yang mahal dan berharga. Yang enggan dijadikan komoditas politik murahan atau ikut-ikutan kepentingan para penunggang kekuasaan.

Sedangkan pesantren, sebagai lembaga tempat di mana santri berada, bukan lagi menjadi lembaga pendidikan kelas dua. Ia adalah agen penyelamat generasi bangsa dari ancaman dan dampak buruk kemajuan zaman.  Lihatlah di masa pagebluk ini. Di saat lembaga pendidikan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi, berantakan segala programnya gara-gara Corona, pesantren menunjukan ketangguhannya. Jika ada yang terpapar virus Wuhan, itu hanya segelintir kecil saja dan tidak ada data santri yang mati gara-gara Corona.  Selebihnya santri nyaman belajar dan beribadah.

Di hari santri ini, sepatutnya pemerintah berterima kasih kepada pesantren. Betapa banyak peran pesantren yang menyelamatkan generasi muda bangsa dari kerusakan pergaulan. Betapa senangnya hati orang tua yang anaknya berada di pesantren. Maka, seharusnya tagline hari nasional tahun ini adalah Terima Kasih Pesantren. Bukan, santri sehat Indonesia kuat. Sebab tagline itu hanya pemanis bibir saja. Tapi perhatian terhadap pesantren masih jauh panggang dari api.

Karena pesantren adalah aset bangsa, sudah sewajarnya perhatian mendapatkan perhatian lebih dari lembaga pendidikan lain, tapi tetap menjadikan pesantren sebagai lembaga yang independen. Sehingga para kiai dengan kapasitas keilmuannya menjadi fokus mendidik santri. Terlalu banyak alasannya jika disebutkan. Setidaknya belajar mengajar di pesantren terbilang tertib. Tidak hanya aspek otak yang diisi, tapi juga sisi emosional dan spiritual yang menjadi jalan membentuk akhlak mulia. Bukankah itu yang menjadi tujuan pendidikan yang diamanatkan undang-undang.

Jadi, jika pesantren yang menurut kata para ahli sebagai lembaga pendidikan indigenous alias berwatak pribumi, semestinya lembaga pendidikan ini harus dirawat dan dikembangkan, bukan dimanfaatkan sebagai komoditas politik lima tahunan. Banyak berkah yang dirasakan masyarakat dengan kehadiran pesantren. Tak perlu lagi disebutkan. Kalau berkah sudah dirasakan, mau cari apa lagi?  Selamat Hari Santri Nasional 2020: Terima Kasih Pesantren. 

Tentang Penulis

Avatar photo

Saeful Bahri

Alumni dan guru Pondok Pesantren Daar el Qolam, Tangerang, Banten. Pernah belajar di UIN Sultan Maulana Hasanudin Banten, Universitas Indonesia, dan Universiti Kebangsaan Malaysia. Selain mengajar di almamernya, ia juga menulis beberapa buku di antaranya Lost in Pesantren (2017), 7 Jurus Betah di Pesantren (2019), yang diterbitkan Penerbit Republika Jakarta.

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading