Ads
Tafsir

Tafsir Tematik: Memecahkan Perpecahan (3)

Berpeganglah kamu semua pada tali Allah dan jangan bercerai-berai. Ingatlah anugerah Allah kepada kamu ketika kamu satu sama lain musuh, maka Allah merangkai hati kamu dan jadilah kamu berkat karunia-Nya sesama saudara. Sedangkan kamu berada di tubir lubang neraka, maka Ia pun mengentaskanmu darinya. Demikian Allah menerangkan kepada kamu ayat-ayat-Nya agar kamu menambil  petunjuk. (Q. 3: 103).

Semua setuju (terhadap pernyataan Abduh: “Sepanjang seorang muslim tidak mengabaikan nas-nas Kitabullah dan penghormatan kepada Rasul s.a.w., dia berada dalam keislamannya, tidak kafir, dan tidak keluar dari jamaah muslimin. Tetapi bila hawa nafsu menjadi hakim, lalu saling mengutuk dan mengkafirkan, maka siapa yang melontarkan tuduhan akan pulang dengan tuduhannya kepada dirinya, seperti disebut di dalam hadis”, sebagaimana dimuat dalam artikel sebelumnya, Ed). Meskipun ungkapannya “tidak mengabaikan nas-nas Kitabullah” dan seterusnya tidak mengandung pengertian sesederhana yang diinginkan. Misalnya, sebagian mufasir, dalam menerangkan ungkapan “dan jangan bercerai-berai”, suka sekali memuat hadis Nabi s.a.w. tentang akan berpecahnya umat menjadi 75 golongan –“semuanya di dalam neraka, kecuali satu,” kata Nabi, dan itu tak lain yang berada “di tempatku berada bersama para sahabatku” (menurut sumber Ibn Umar r.a. dalam Turmudzi), atau “jamaah”, alias kesatuan besar (menurt sumber Mu’awiah r.a., dalam riwayat Abu Dawud).

Malahan, Qurthubi mencoba mencocokkan kenyataan lapangan dengan jumlah 72 golongan yang dinyatakan tidak selamat itu. Hasilnya: ada enam kelompok “sumber kesesatan”, yang masing-masingnya pecah menjadi 12. Jadi, 6 X 12.

Tidak akurat,  memang. Dari kalangan Syi’ah/Rafidhah/Imamiyah, misalnya, memang disebutkannya kelompok yang mengkafirkan seluruh umat yang berbaiat kepada selain Ali r.a. atau mengutamakan siapa pun di atas Ali. (Qurthubi, IV: 160, 163).

Tetapi tidak dimuat anggapan “imam-imam maksum” lebih mulia daripada para nabi. Juga yang menuduh Alquran sebagai tidak asli. Jangankan lagi aliran-aliran yang tumbuh sesudah masa hidup Qurthubi (Cordova, w. 671 H.), seperti Ahmadiyah Qadiani, yang meyakini Ghulam Ahmad sebagai “nabi tanpa syariat” yang menerima wahyu, di samping sekaligus Imam Mahdi dan Almasih yang turun kembali. Nah, yang manakah, menurut Abduh, yang bisa dan tidak bisa masuk ke dalam ungkapannya yang umum itu: “berada dalam keislamannya, tidak kafir, dan tidak keluar dari jamaah”? Tidak sederhana.

Tetapi, di atas segala-galanya, dan mudah-mudahan Allah menunjukkan taufik-Nya, sebenarnya lebih cocok ayat ini dipahami tidak sehubungan dengan perpecahan agama. Kalimat kedua, “Ingatlah anugerah Allah kepada kamu ketika kamu satu sama lain musuh…” juga kelanjutannya, yakni betapa Allah menyelamatkan mereka dari lubang neraka (aslinya: nar, alias api, dan itu api peperangan; lihat misalnya Thabathaba’i, III: 409) sudah menjelaskan bahwa yang hendak diteguhkan dengan pegangan pada ‘tali Allah’ dan menghindari pertikaian adalah umat muslimin generasi pertama yang baru saja dientas dari kehidupan suku-suku yang penuh perang. Termasuk kabilah-kabilah Aus dan Khazraj, yang berada dalam permusuhan 120 tahun dan baru beranjak rukun sejak kedatangan Islam (Razi, VIII: 179).       

Bersambung Penulis: Syu’bah Asa (1941-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat; Sebelumnya bekerja di majalah Tempo dan  Editor. Sastrawan yang pernah menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok ini sempat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Sumber: Majalah Panji Masyarakat, 24 Juni 1998      

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading