Ads
Mutiara

Sang Penyelamat NU

Kiai Ali Maksum Krapyak  menyelamatkan  NU dari berbagai krisis akibat represi Orde Baru. Mengapa ia tidak meneruskan kepemimpinan di pesantren ayahnya, Mbah Ma’shum, di Lasem?

Kiai Haji Ali Maksum adalah pengasuh Pondok Pesanren Al-Munawir, Krapyak, Yogyakarta. Salah satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) terkemuka pada era 1980-an. Pada masa Orde Baru itu NU selalu dilanda konflik baik internal maupun eksternal. Para politisi NU juga kerap bersitegang dengan Ketua Umum PPP HJ Naro, yang dinilai terlalu menuruti kemauan pemerintah. NU juga sering disebut bersikap terlalu konfrontatif  dan dicap radikal  dalam menghadapi berbagai kebijakan pemerintah. Sebagai kekuatan politik Islam yang mengakar, NU terus-menerus mendapat perlakuan represif dari pemerintah Orde Baru. Situasi inilah yang membuat NU seperti limbung. Apalagi setelah ditinggal wafat Rais Aam KH Bisri Sjansuri. Dalam situasi itulah muncul atau dimunculkan kembali figur KH Ali Maksum, yang telah menepi dari hiruk pikuk politik.    

Maka, tidak mengherankan jika sejumlah kalangan menyebutnya “penyelamat”  NU. Ketika muncul krisis kepemimpinan di NU dan kesulitan memilih orang yang tepat untuk jabatan Rais Aam pengganti K.H. Bisri Syansuri,  Kiai Ali bersedia dipilih sebagai Rais Aam pada 1981 melalui Munas Alim Ulama NU di Kaliurang Yogyakarta, walaupun dengan sangat berat. Ia juga mensyaratkan jabatannya hanya sampai tahun 1984.  Itu yang pertama.

Kedua, ketika NU dilanda kemelut tahun 1983 dengan pengunduran diri KH  Idham Chalid sebagai Ketua Umum PBNU (yang belakangan lalu dicabutnya kembali), akibat perseteruan antara kubu politik (kelompok “Cipete”, pimpinan KH  Idham Challid) dengan kubu ulama/non politik (kelompok “Situbondo”, pimpinan K.H. As’ad Syamsul Arifin), Kiai Ali tampil merangkap jabatan sebagai Rois Aam sekaligus Ketua Umum PBNU untuk membenahi persiapan Muktamar Situbondo 1984, yang menghasilkan keputusan strategis dan monumental, yaitu mengembalikan NU ke khittah 1926. Ketiga, ketika ada gejolak sebagian aktivis yang ingin menggoyang Khittah NU 1926 dan membelokkan NU ke partai politik, serta usaha mendongkel Gus Dur dari posisi Ketua Umum PBNU di Munas Alim Ulama NU di Cilacap akhir 1987, dengan kewibawaan dan kekharismatikannya Kiai Ali mampu meredam gejolak tersebut.

Ali Maksum lahir pada  2 Maret 1915 dari  pasangan K.H. Ma’shum bin K.H. Ahmad Abdul Karim dengan Ny. Hj. Nuriyah binti K.H. Muhammad Zein, di Soditan,  Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Ayahnya adalah pendiri Pesantren Al-Hidayah, Rembang.    Pada usia 12 tahun, Ali Maksum dikirim ke Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur,  untuk memperdalam ilmu-ilmu agama asuhan Oleh K.H. Dimyati. Pada tahun 1935, Ali Maksum kembali ke Lasem dan membantu ayahnya mengajar di pesantren Al-Hidayah. Selain mengajar, Ali Maksum juga membenahi sistem pendidikan dan pengajaran pesantren. Tahun 1938 ia  berangat ke Mekah dan belajar kepada sejumlah ulama  di antaranya Sayyid Alwi Abbas Al-Maliki, Syaikh Umar Hamdan. Selain mengaji karya klasik, ia juga memperluas wawasan dengan mengaji kitab-kitab kaum modernis seperti karya Muhammad Abduh, M. Rasyid Ridha, Jalaluddin Al-Afghani, dan lain-lain. 

Pulang  ke Tanah Air, Ali Maksum menikahi Rr. Hasyimah,  putri K.H. M. Munawwir dari Yogyakarta, dan dari pernikahannya itu ia dikarunia delapan anak,di antaranya K.H. Atabik Ali. Tahun 1943, atas permintaan keluarga K.H. Munawwir, Kiai Ali bersedia hijrah ke Yogyakarta untuk turut mengembangkan pesantren Krapyak. Awalnya permintaan itu ditolaknya, namun karena desakan keluarga akhirnya ia menerima ajakan itu. Sejak itulah Ali Maksum memimpin dan membangun Pesantren Al-Munawir Krapyak.

Selain mengasuh Pondok Pesantren Al Munawir Krapyak, Kiai Ali Maksum juga mengajar di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ia juga menulis beberapa buku. Di antaranya Mizanul ‘Uqul fi Ilmi yang berisi prinsip-prinsip dasar ilmu mantiq (Kitab ini menjadi acuan para santri K.H. Ali Maksum dan lingkungan pesantren NU); Ash-Shorful Wadhih yang membahas kaidah-kaidah dan amtsilatut tashrif (latihan praktis tashriful kalimah); dan Hujjatu Ahlissunnah Wal Jama’ah,  yang  berisi kajian dalil-dalil atau  argumentasi syar’iyah yang dijadikan sebagai dasar berpijak kaum nahdhiyyin dalam melaksanakan amaliah atau tradisi ke-NU-an; dan  Jawami’ul Kalim: Manqulah min ahadits al-Jami’ ash-shoghir murattabah ‘ala hurufl hijaiyyah ka ashliha.

Tahun 1989 K.H. Ali Maksum menjadi tuan rumah Muktamar NU ke-28 yang berlangsung di Pesantren Al-Munawwir Krapyak. Seminggu setelah muktamar, K.H. Ali Maksum jatuh sakit dan wafat 7 Desember 1989. Jenazahnya dikebumikan berdampingan dengan makam K.H. M. Munawwir di Dongkelan, Tirtonirmolo, Kasihan,  Bantul,  Yogyakarta.

Tentang Penulis

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading