Ads
Tasawuf

Saat Cinta Bergelora di Hati Sufi

Jalan yang harus ditempuh seorang salik, calon sufi, demikian panjang dan berliku. Perlu bertahun-tahun sang calon untuk sampai ke puncak tujuan tasawuf. Ia harus melewati maqam atau satasiun demi stasiun untuk mengantarkannya ke sana. Dan belum tentu berhasil. Jalan ini intinya berupa penyucian diri yang diusahakan melalui ibadat, terutama membaca Alquran, salat, zikir, dan puasa. Dengan cara membersihkan diri itu maka seorang salik bisa melanjutkan perjalanannya menuju stasiun berikutnya. Stasiun pertama untuk membersihkan diri adalah tobat (taubah). Sampai akhirnya ia mencapai stasiun yang lebih tinggi yaitu mahabbah dan ma’rifah. Jika mhabbah menggambarkan hubungan yang rapat dengan Tuhan dalam bentuk cinta, ma’rifah menggambarkan hubungan dalam bentuk gnosis, bagaimana sang sufi melihat atau mengetahui Tuhan dengan mata hatinya – dan akhirnya bersatu dengan Tuhan.

Abu Yazid Al-Bishthami (w. 261 H/875 M) menyebut mahabah sebagai pembebasan dari hal-hal sebesar apa pun yang  datangnya dari kita, dan membesar-besarkan hal-hal yang kecil dari Kekasih kita. Sedangkan Al-Junaid al-Baghdadi menyatakan bahwa mahabbah adalah “Masuknya sifat-sifat Sang Kekasih yang mengambil alih sifat-sifat si pecinta.” Di sini Al-Junaid, kata Imam Qusyairi, menunjukkan betapa hati si pencinta direnggut oleh ingatan kepada Sang Kekasih, sehingga tak satu pun yang tertinggal selain ingatan kepada sifat-sifat Sang Kekasih, sehingga si pencinta lupa dan tidak sadar akan sifat-sifatnya sendiri.

Menurut Harun Nasution, para sufi memberikan arti mahabbah atau cinta Ilahi ke dalam tiga pengertian. Pertama, memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya. Kedua, menyerahkan seluruh diri kepada Yang Dikasihi. Ketiga, mengosongkan hati dari segala-galanya, kecuali dari Diri Yang Dikasihi.

Ayat-ayat Alquran yang menggambarkan cinta Tuhan kepada hamba dan cinta hamba kepada Tuhan antara lain terdapat dalam surah Al-Maidah ayat 54 (“Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya, dan orang yang dicintai-Nya) dansurah Ali Imran ayat 30 (“Katakanlah, jika kamu cinta kepada Tuhan, maka turutlah Aku, dan Allah akan mencintai kamu.”) Sedangkan dalam hadis disebutkan, “Senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku melalui ibadat sehingga Aku cinta kepadanya. Orang yang Ku-cintai, Aku menjadi pedengaran, penglihatan dan pendengarannya.”

Tookoh sufi yang masyhur sebagai penempuh jalan cinta, tak lain adalah Rabi’ah Al-Adawiyah dari Basrah (713-801 M). Berikut adalah salah satu munajatnya yang terkenal:

Ya, Allah, jika aku beribadat karena hanya rasa takutku pada neraka, maka bakarlah aku dalam api neraka-Mu. Dan jika beribadat hanya karena mengharap surga-Mu, maka tutuplah rapat-rapat pintu itu bagiku. Tetapi apabila aku beribadat hanya karena mencari ridha-mu, maka jangan Engkau sembunyikan Keindahan Abadi-Mu itu dari pandanganku.”

Ridha adalah stasuin terakhir seorang sufi sebelum mencapai mahabbah. Dan di stasiun inilah rasa cinta kepada Tuhan bergelora di hati sang sufi.               

Bersambung

Tentang Penulis

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

1 Comment

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading