Ads
Aktualita

Sosio-Demokrasi Tinggal Slogan, Kapitalisme de Facto

Dalam pidatonya memperingati HUT PDIP ke-44 tahun 2017 Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri menegaskan ‎”Pancasila telah mematrikan nilai-nilai filosofis ideologis agar anak bangsa tidak kehilangan arah dan jati diri bangsanya.”  Mengutip pidato Bung Karno dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)  pada 1 Juni 1945, Bu Mega mengemukakan “Pancasila, lima sila, jika diperas menjadi Trisila, terdiri dari Pertama, sosionasionalisme yang merupakan perasan dari kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan, dan peri kemanusiaan,” kata Mega dalam Pidato Politik bertajuk Rumah Kebangsaan untuk Indonesia Raya” dalam rangka HUT ke’44 PDI Perjuangan di Jakarta Convention Center, Selasa (10/1/2017).

Tentang sila ke-2, yakni Sosiodemokrasi, Bu Megawati mengingatkan para kader PDIP, sosiodemokrasi bukanlah demokrasi barat melainkan demokrasi politik ekonomi, yaitu demokrasi yang melekat dengan kesejahteraan sosial, yang diperas menjadi satu dalam sosiodemokrasi. Sejumlah ahli “ekonomi rakyat” selama ini mencoba memberikan makna tentang apa sesungguhnya Sosiodemokrasi; bagaimana sistem ekonomi dijalankan menurut Sosiodemokrasi seperti yang dicita-citakan oleh Bung Karno .

Seorang ahli ekonomi mengatakan Sistem Demokrasi Ekonomi terkait erat dengan pengertian kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. Istilah kedaulatan rakyat itu sendiri biasa dikembangkan oleh para ilmuwan sebagai konsep filsafat hukum dan filsafat politik. Sebagai istilah, kedaulatan rakyat itu lebih sering digunakan dalam studi ilmu hukum daripada istilah demokrasi yang biasa dipakai dalam ilmu politik. Namun, pengertian teknis keduanya sama saja, yaitu sama-sama berkaitan dengan prinsip kekuasaan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Itulah makna “demokrasi” menurut seorang Presiden legendaris Amerika, Abraham Lincoln: “Government of the people, by the people, for the people”.

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 [Kesejahteraan Sosial] menjabarkan Sosio-demokrasi dengan kata-kata yang jelas sebagai berikut:

  • Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
  • Cabang-cabang produksi penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara.
  • Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besdar kemakmuran rakyat.

Rumusan Pasal 33 UUD 1945 sesungguhnya ciri-ciri Sistem Demokrasi Ekonomi Indonesia menurut visi para Pendiri Bangsa. Oleh seorang ekonom, Ciri-ciri Sistem Demokrasi Ekonomi Indonesia dirumuskan sebagai berikut :

  1. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
  2. Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara
  3. Warga negara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan yang dikehendakinya serta mempunyai hak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak.
  4. Hak milik perorangan diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat
  5. Potensi, inisiatif, dan daya kreasi setiap warga negara dikembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum.
  6. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan.

Namun, dalam Perubahan Keempat UUD 1945  (perubahan terakhir) pada tahun 2002, disusupkan satu ayat, ayat ke-4 yang bernafaskan asas liberal dan kapitalistis. Ayat (1) , (2) dan (3) sama sekali utuh, tidak diubah, atau copy paste dari Pasal 33 1945 yang asli. Selengkapnya, Pasal 33 UUD 1945 hasil amandemen ke-4 tahun 2002 berbunyi sebagai berikut:

BAB XIV

PEREKONOMIAN NASIONAL DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

Pasal 33

  • Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan.
  • Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
  • Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
  • Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. [penebalan huruf dari Penulis.]
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai pasal ini diatur dalam undang-undang.

Tidak ada penjelasan sama sekali apa makna atat (4) Pasal 33 hasil Perubahan Keempat UD 1945. Memang salah satu kelemahan pokok Amandemen UUD 1945 adalah tidak adanya Penjelasan. Hal ini berbeda dengan UUD 1945 asli yang oleh para Pendiri Bangsa diberikan Penjelasan yang cukup memadai.  Apa misalnya makna “eifisiensi berkeadilan”, “berkelanjutan, “kemandirian” dan “menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Salah satu pengertian “kesatuan ekonomi nasional” adalah “Bahwa kekayaan yang ada di wilayah Nusantara baik potensial maupun efektif merupakan milik bersama. Semua diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari secara merata di seluruh wilayah tanah air.

Paham yang menegaskan “negara menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak” berasal dari Sosialisme Inggris yang ketika itu dikenal dengan nama Fabian Society.. Negara hanya memiliki alat-alat produksi yang dipandang penting bagi negara. Selebihnya rakyat yang memiliki alat-alat produksi sebagai bagian dari hak-hak sipil (civil rights).

Sebaliknya, di negara-negara yang menganut sistem ekonomi kapitalis, semua  produksi, maupun sumberdaya ekonomi berada di dalam kepemilikan pemilik modal melalui korporasi yang merupakan badan hukum yang dianggap juga sebagai orang. Karena itu ada yang menyebut sebagai kapitalisme korporasi (corporate capitalism). Orang yang tidak memiliki modal [besar] omong kosong bisa menguasai alat produksi; mereka yang boleh puas cukup sebagai pekerja/buruh. Oleh Karl Marx, dalam sistem kapitalisme, masyarakat dibagi menjadi dua: golongan pemilik modal/alat-alat produksi dan golongan yang bekerja untuk menjalankan alat produksi tsb. untuk mendapatkan upah. Sebagian besar  rakyat, praktis, berada di kelas pekerja yang hanya memiliki tenaga saja—yang dalam teori kapitalisme didominasi dan dieksploitasi oleh para pemilik modal (kapitalis atau borjuis).

Menurut Karl Marx, kapitalisme adalah suatu sistem  ekonomi di mana harga barang dan kebijakan pasar ditentukan oleh pemilik modal untuk mencapai keuntungan yang maksimal. Ciri-ciri kapitalisme :

  • Pengakuan atas hak-hak pribadi masing-masing individu;
  • Kepemilikan alat-alat produksi oleh individu [sebagian besar pemilik modal];.
  • Individu bebas memilih pekerjaan atau usaha sendiri;
  • Ekonomi diatur/didikte oleh mekanisme pasar;
  • Pemerintah punya peran yang amat kecil dalam kegiatan ekonomi, karena pemerintah sulit mengintervensi pasar, bahkan diminta tidak mencampuri mekanisme pasar. Tanpa campur-tangan pemerintah yang signifikan di pasar, dengan sendirinya pemilik modal [terutama yang besar] yang bertaha d pasar.
  • Dalam situasi profit atau uang mendominasi kehidupan, individu – siapa pun dia – memiliki kecenderungan untuk mencari materi [uang] sebanyaknya, kalau perlu dengan segala cara. 

Dengan ciri-ciri kapitalisme seperti di atas, Sosio-demokrasi praktis mati, atau amat sukar untuk survived/bertahan. Jangan lupa, Sosio-demokrasi  berdiri dengan kedua kaki, yaitu demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, di tengah-tengah rakyat. Dengan demikian, menurut ajaran Bung Karno, sosio-demokrasi berusaha menggabungkan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Di satu sisi kaum marhaen dipastikan memegang kekuasaan politik;  semua urusan—politik, diplomasi, pendidikan, pekerjaan, seni, kebudayaan, dan lain-lain—berada di bawah kontrol rakyat. Di sisi lain, implementasi demokrasi politik mampu memberikan kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran kepada seluruh rakyat.

Itulah pandangan pokok Bung Karno tentang Sosio-demokrasi.

Tetapi, bagaimana realisasi Sosio-demokrasi di negara kita pasca Amandemen UUD 1945, atau selama Orde Reformasi dijalankan ?

Kenyataannya, jurang antara kaya dan miskin di Indonesia terus melebar. Dilihat dari kesenjangan kaya dan miskin, Indonesia berada di nomor 4 setelah Rusia, India, dan Thailand. “Satu persen orang di Indonesia menguasai 50 persen aset nasional, Jika dinaikkan jadi 10 persen keluarga kaya, mereka menguasai 70 persen (aset negara). Artinya sisanya 90 persen penduduk memperebutkan 30 persen sisanya,” ujar Sekretaris Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K)  Bambang Widianto dalam acara penyampaian Laporan Akhir Timnya pada 9 Oktober 2019.

Menurut Bank Dunia, kalau kita menghitung angka penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari USD $2 per hari, sebagian besar penduduk hidup hampir di bawah garis kemiskinan. Ironisnya, orang yang super-kaya pun semakin banyak. Ada pengusaha yang memiliki asset bisnis sampai Rp 668 triliun!

Semua itu, jelas, akibat implementasi Pasal 33 UUD 1945 hasil Amandemen ke-4 tahun 2002 dengan interpretasi yang kebablasan.

Sosio-demokrasi yang semakin terseok-seok implementasinya dan digantikan oleh liberalisme serta kapitalisme, juga telah MERUSAK hampir semua tatanan kehidupan di masyarakat kita. Di sektor politik, “sisi-ke2” Sosio-demokrasi, yaitu demokrasi Pancasila nyaris membawa Indonesia ke arah sistem oligarki. Perlahan-lahan kekuasaan politik di pemerintahan maupun parlemen secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil.  Susunan kabinet ditentukan oleh boss partai-partai besar. Untuk mencopot menteri pun, Presiden seperti tidak memiliki “free hand”, khawatir pimpinan parpol “si empunya” menteri marah sehingga akan menarik dukungannya kepada presiden. Sementara itu, pemilihan presiden/wakil presiden, kepala-kepala daerah dan wakil-wakil rakyat di parlemen secara langsung – one-man one-vote – terbukti dipertanyakan efekytivitasnyaif. Politik uang tidak bisa diberantas. Begitu banyak wakil rakyat dan kepala daerah yang sebetulnya tidak cakap, tidak berintegritas, toh bisa terpilih juga karena kekuatan uang. Pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah selalu diwarnai kericuhan, keributan serta konflik horizontal.

Tatanan hukum juga nyaris rusak parah. Begitu banyak para insan penegak hukum yang rupanya suka berkolusi satu sama lain semata-mata untuk menangguk uang dan gratifikasi demi kepentingan pribadi [dan mungkin juga kepentingan partai]. Kasus Djoko Tjandra yang menghebohkan merupakan “potret telanjang” dari rusaknya penegakan hukum di negara kita. Hukum, bahkan Negara dilecehkan. Seorang oknum Jaksa yang baru eselon IV dengan masa kerja 10 tahun bisa memiliki kekayaan sampai Rp 6,8 miliar, malah diberitakan dapat janji USD 10 juta oleh DjokoTjandra jika permohonan PK-nya berhasil diterima oleh Mahkamah Agung.

Meminjam istilah dari advokat Jhonson Panjaitan dalam acara ILC beberapa waktu lalu, sosio-demokrasi dalam aspek Penegakan hukum untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan rakyat, tampaknya hanya tameng,  bahkan dilempari lumpur kotor dalam kasus Djoko Tjandra.

Tatanan pendidikan, kebudayaan, pergaulan sosial [kebebasan sex, kawin-cerai,  prostitusi online dan peningkatan kejahatan narkotika] dan lain-lain, sebagian besar ikut RUSAK akibat implementasi Pasal 33 UUD 1945 hasil Perubahan ke-4. Impian Bung Karno supaya kaum Marhaen pemegang kekuasaan politik dalam sistem Sosio-Demokrasi bekerja untuk kepentingan rakyat, sungguh telah diselewengkan oleh mereka yang juga mengaku wakil rakyat/ pemimpin rakyat yang memegang kekuasaan politik tapi bekerja bukan untuk kepentingan Marhaen, kepentingan rakyat, melainkan kepentingan duit, Icon Terpenting dalam sistem kapitalisme!. (Disampaikan dalam Webinar  “Membedah dan Memetik Buah Amandemen  UUD 1945” oleh Gerakan Kebangsaan Indonesia dan panjimasyarakat.com, Jakarta, 18 Agustus 2020.)

Tentang Penulis

Avatar photo

Prof Dr Tjipta Lesmana

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading