Ads
Cakrawala

A.R. Baswedan, Liem Koen Hian, dan Hamka

Beberapa tahun yang lalu sempat viral sebuah video yang berisikan ceramah Anies Baswedan dalam sebuah majelis pertemuan. Di situ Anies, yang kini gubernur Jakarta,  bercerita tentang sejarah peran keturunan Arab di Nusantara. Termasuk tentang pendirian Jamiatul Khair tahun 1905 dan   Persatuan Arab Indonesia (PAI) pada 1934, yang dinyatakan memiliki peran penting dalam usaha kebangkitan nasional di Indonesia. Video tersebut mengundang  reaksi dari khalayak,   Banyak yang positif, tapi tidak sedikit pula yang mencibir. Yang terakhir ini, misalnya, menyatakan bahwa jauh sebelum golongan Indonesia-Arab mendirikan  kedua organisasi tersebut,  telah berdiri organisasi dari minoritas lain di Indonesia. Salah satunya dari golongan keturunan Tionghoa yang mendirikan THHK atau Tiong Hoa Hwee Koan di Batavia pada tahun 1900 dan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) di Surabaya pada tahun 1932 dengan tokohnya Liem Koen Hian.

Hal itu benar belaka. Dan bukan hanya itu: Liem Koen Hian adalah sahabat dekat Abdul Rahman Baswedan, atau yang lebih dikenal A.R. Baswedan, yang juga kakek Anies Baswedan. Dia termasuk sosok yang punya pengaruh besar atas pemikiran nasionalis Baswedan. Ketika Jepang menyerbu  Solo, Liem Koen Hian bahkan sempat disembunyikan oleh Baswedan. Liem memang terkenal dengan tulisannya yang sangat anti-Jepang.  Liem dan Baswedan, boleh dibilang,   mewakili dua kelompok etnis minoritas di Indonesia, yang sama-sama berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, sama-sama mengakui dan memperjuangkan bahwa Indonesia adalah tanah air mereka.

Menariknya, ada sebuah cerita yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat umum. Yakni itu bahwa keduanya mendapatkan perlawanan dan tantangan yang cukup berat atas perjuangan dan pengakuan mereka sebagai seorang warga negara Indonesia. Ketika itu masih banyak lapisan dan golongan masyarakat, yang masih “meragukan” status ke-Indonesia-an mereka  bahkan dari pemerintah Indonesia waktu itu banyak tuduhan dan fitnahan yang tidak berdasar dilontarkan kepada mereka.

Liem Koen Hian sendiri, dalam koran Parama Arta (1965) disebutkan sempat ditahan pada tahun 1951 dengan tuduhan pro-komunis, dan tidak ada yang membantunya ketika itu.  Ia kemudian merasa kecewa atas perlakuan pemerintah Indonesia setelah semua perjuangannya tidak dihargai. Ia mengatakan, “Kalau sesudah segala jasa saya, dalam gerakan nasional tidak dihargai, ya sudahlah.. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk melepas kewarganegaraan Indonesia dan memilih status kerakyatan Tiongkok, akhirnya meninggal pada 1952 di Medan sebagai orang asing.

Demikian halnya dengan A.R. Baswedan. Ia menemui banyak kesulitan dan tantangan, walaupun ia merupakan mantan Menteri Muda Penerangan semasa Kabinet Syahrir dan seorang anggota Misi Diplomasi Revolusi ke Mesir pada tahun 1947. Dalam sebuah tulisan “Apa dan Siapa” terbitan Yayasan Idayu, Baswedan pernah naik pitam ketika ia sedang mengurus surat di sebuah kantor pos di Yogya, salah satu pegawai kantor tersebut, menanyakan surat  kewarganegaraannya. Padahal waktu itu Baswedan menunjukkan kartu anggota DPR yang jelas-jelas menunjukkan status sebagai warga negara Indonesia. Hingga ia dengan nada keras berkata: “Di sekolah apa Anda tidak pernah belajar civics (ilmu pendidikan kewarga negaraan)? Apa ada warga negara asing yang menjadi anggota Parlemen Indonesia?Akhirnya  surat itu keluarga juga, tetapi tetap tertulis sebagai “Warga Indonesia keturunan Arab.”

Selain itu, masih banyak lagi pengalaman pahit dan mengecewakan yang dialami oleh Baswedan. Ketika ia menjabat sebagai Menteri Muda Penerangan pun ia masih sering mendapatkan keluhan dan komplain dari bangsa Indonesia keturunan Arab yang sering mendapatkan perlakuan tidak mengenakan dan masih dianggap sebagai warga asing.

Keduanya baik Baswedan dan Liem Koen Hian, menerima tantangan dan cobaan yang sama atas pilihan dan kesadaran “nasionalisme” mereka, tetapi keduanya  menanggapinya dengan cara yang berbeda. Sama halnya ada dua manusia, yang mendapatkan cobaan dan tantangan yang sama, tetapi keduanya menanggapinya dengan cara yang berbeda, sehingga hasilnya berbeda pula.

AR Baswedan dan Lim Koen Hian

Liem Koen Hian, marah dan menyayangkan perlakuan pemerintah dan bangsa Indonesia kepada dirinya dan kelompoknya, sehingga ia memutuskan untuk menyerah. Sedangkan Baswedan menanggapinya dengan cara yang berbeda dengan terus berjuang. Hal ini terekam dalam sebuah percakapan antara Baswedan dan sahabatnya Hamka, dalam rekaman “Oral Histori” yang dilakukan oleh ANRI pada tahun 1974.

Hamka memang pernah diminta oleh beberapa tokoh tua Arab di Surabaya untuk menemui dan menasehati Baswedan, atas kekeraskepalaan dan keteguhan Baswedan yang dengan gigihnya berteriak mengatakan bahwa Indonesia adalah tanah air bagi semua golongan Indonesia keturunan Arab. Bswedan iminta supaya lebih “tenang” dan jangan terlalu ngotot soal pengakuannya tersebut. Hal ini bisa dipahami, dikarenakan sebagian kecil dari golongan sesepuh Arab pada waktu itu mengkhawatirkan akibatnya bagi keseluruhan kelompok keturunan Arab di Indonesia, jika terjadi suatu hal atas diri Baswedan. Apalagi saat itu tidak ada yang pernah tahu apa yang akan terjadi dengan Indonesia.

Hamka terkenal sebagai salah satu tokoh nasional yang sangat dekat dengan golongan Indonesia keturunan Arab. Bukan hanya dengan Baswedan tetapi dengan banyak tokoh lainnya, seperti Ustadz Umar Hubeish, Hoesin Bafagieh dan masih banyak lainnya. Hal ini selain disebabkan karena adanya persamaan dan persaudaraan sesama muslim juga dikarenakan kemampuan berbahasa Arab Hamka dan juga banyak hal lainnya.

Suatu hari Hamka menemui A.R.  Baswedan dan mengatakan:

“Tuan mengatakan bahwa Indonesia tanah air Tuan, ya Tuan benar. Tapi bagaimana kalau umpamanya kami bangsa Indonesia menolak itu?”

“Tuan Hamka, saya mengambil keputusan itu dengan berfikir dan itu keyakinan saya. Dan itu saya kemukakan, tidak perduli bangsa Indonesia akan mengatakan apa,” kata Baswedan. “Saya sebelumnya mengatakan itu, menganjurkan itu, saya tidak pergi kepada Cokroaminoto, bertanya tuan saya akan mengumumkan pada peranakan Arab bahwa tanah airnya Indonesia, apakah tuan ijinkan? Saya tidak pergi pada Dr Sutomo yang dekat pada saya, saya tidak pergi kepada H. Agus Salim dan saya tidak pergi kepada seorang pemimpin manapun. Tapi itu adalah suatu keyakinan yang saya tanamkan. Kalau perlu kita sekarang berkelahi dan lempar kami di laut!”.

Hamka pun tertawa terbahak-bahak. Ketika ia pulang ke Sumatera, ia pun menulis: Ia merasa malu diajarkan nasionalisme oleh keturunan asing begitu kata-katanya.

Sebuah pelajaran yang luar biasa tentang “nasionalisme”, sebuah nasionalisme yang berlandaskan pemahaman Islam yang benar. Dan dalam konsep Islam, yang diperhitungkan adalah akhir bukan awal, seperti dalam sebuah hadis yang menyebutkan bahwa: Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6607). Bahwa amalan akhir manusia itulah yang jadi penentu dan atas amalan itulah yang akan diperhitungkan dan mendapatkan balasan Allah SWT.

Dalam sebuah artikel di majalah Panji Masyarakat  No 163 tahun 1974, Hamka menulis yang ditujukan untuk sahabatnya A.R. Baswedan : Arab Indonesia dibesarkan dengan gado-gado bukan dengan mulukhia, dengan durian bukan dengan kurma. Dengan sejuknya hawa gunung bukan dengan panasnya padang pasir. Sebab itu selamat bagimu, di hari depanmu ialah meleburkan diri ke dalam bangsa ibumu. Tanah airmu ialah Indonesia. Dan inilah contoh masyarakat yang telah dibentuk oleh ajaran Islam, yang telah tertanam di negeri kita ini sejak berabad-abad lalu..

Sepanjang hayatnya A.R. Baswedan selalu mengajarkan kepada kita  tentang nasionalisme dan bagaimana mencintai tanah air. Bahkan hingga sisa akhir hayatnya, ketika ia berpesan agar jika ia meninggal ia minta dikuburkan di pemakaman biasa bukan di Taman Makam Pahlawan, walaupun ia berhak mendapatkan kehormatan tersebut.  

Abdul Rahman Baswedan meninggal pada  16 Maret 1986,  dalam usia 77 tahun. Sebatang bambu runcing dan bendera merah putih bertuliskan Pejuang Kemerdekaan tertancap di makamnya, Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Slatan.

Bagi Baswedan  kesempatan untuk berjuang demi bangsa dan tanah air Indonesia adalah sebuah penghormatan dan kehormatan, sebagai seorang anak bangsa dan sebagai seorang muslim yang taat, yang telah menjalankan kewajibannya. Di manapun ia dikuburkan, tidak akan mengurangi dan mengecilkan jasa-jasa dan pengabdiannya, sebaliknya semakin memperkuat dan membuktikan jiwa nasionalisme dan kecintaannya pada tanah air Indonesia.   

Dalam proses pemakamannya, Harmoko (waktu Menteri Penerangan) mengatakan “Dia lebih Indonesia daripada orang Indonesia sendiri” demikian halnya Adam Malik pernah mengatakan bahwa: “Seluruh hidupnya dikorbankan untuk kepentingan perjuangan kemerdekaan Indonesia.”

Baswedan merupakan pendiri Persatuan Arab Indonesia 1934, seorang wartawan dan jurnalis nasionalis, anggota KNIP  1945, Menteri Muda pada Kabinet Syahrir 1946, Anggota Misi Diplomasi RI ke Mesir 1947, Anggota Badan Pekerja KNIP 1950 dan anggota Parlemen dan Konstituante RI 1950-1960.

Tahun 1970 Baswedan mendapatkan pengakuan sebagai Perintis Kemerdekaan, dan pada tahun 2013, ia mendapatkan penghargaan Tanda Bintang Mahaputra Adipradana dari Presiden SBY, sebuah tanda kehormatan yang diberikan Presiden kepada seseorang yang dinilai mempunyai jasa besar terhadap bangsa dan Negara Indonesia. Dan puncaknya pada bulan November 2018 ia dianugerahi  gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo. (*)

Tentang Penulis

Avatar photo

Nabiel A Karim Hayaze

Penulis dan peminat sejarah, penerjemah Arab dan Inggris. Kini direktur Yayasan Menara Center, lembaga kajian dan studi keturunan dan diaspora Arab di Indonesia.

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading