Rahmawati Sukarnoputri dkk. menggugat landasan penyelenggaraan Pemilihan Presiden tahun 2019 yang dituangkan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum. Rahmawati mempersoalkan konsistensi PKPU No. 5 Tahun 2019 terhadap UU No. 42 Tahun 2008 ke Mahkamah Agung tertanggal 14 Mei 2019. Lima bulan kemudian MA memutus perkara tersebut pada tanggal 28 Oktober 2019 dengan Putusan No. 44 P/HUM/2019, dan diumumkan ke masyarakat sembilan bulan berikutnya, 3 Juli 2020.
Hasilnya, Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU No. 5 Tahun 2019 yang menyebutkan, “Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Pasangan Calon terpilih”, dinyatakan bertentangan dengan UU 42 2008 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Karena Pasal 3 ayat 7 PKPU dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka ini berarti paslon terpilih harus mengikuti pola Pasal 6A UUD 1945 dan UU Pemilu 2017.
Atas keputusan tersebut sementara kalangan menilai, konsekuensi logisnya adalah, hasil Pilpres dan Pelantikan Jokowi-Ma’ruf Amin tidak sesuai UU sehingga dengan demikian harus dinyatakan batal. Tak pelak lagi, pro dan kontra serta polemik segera membahana dari para ahli hukum dan politisi, terutama menyangkut legalitas pasangan Presiden dan Wakil Presiden Jokowi – Ma’ruf Amin, yang telah dinyatakan menang dengan meraih suara terbanyak oleh KPU pada tanggal 21 Mei 2019 KPU. Keputusan KPU tersebut selanjutnya dikukuhkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 27 Juni 2019 dengan keputusannya No. 01/PHPU.PRES/XVII/2019.
Putusan MA tertanggal 28 Oktober 2019 ini sangat menarik karena dikeluarkan setelah MK memutus uji materi Pasal 159 UU Pilpres 2008 dengan Putusan No. 50/PUU-XII/2014 dan sengketa PHPU Pilpres pada 27 Juni 2019 dengan Putusan No. 01/PHPU.PRES/XVII/2019
Dengan putusan No.50/PUU-XII/2014, MK mengabulkan uji materi para pemohon bahwa Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres (UU 42 Tahun 2008) bersifat inkonstitusional bersyarat – sepanjang pilpres hanya diikuti dua paslon Presiden dan Wakil Presiden (3 Juli 2014).
Dengan demikian apabila Pilpres hanya diikuti dua paslon, maka yang akan dinyatakan menang oleh KPU adalah yang memperoleh suara terbanyak. Dengan begitu, pilpres dipastikan berlangsung hanya satu putaran dan mengambil mekanisme suara terbanyak- sehingga syarat persentase persebaran suara juga tidak berlaku. Putusan MK ini selanjutnya dimasukan dalam Peraturan KPU No. 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum. Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU No. 5 Tahun 2019 menyebutkan, “Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Pasangan Calon terpilih”.
Pakar Hukum Prof Suteki dalam tulisannya menanggapi putusan MA No.44 yang beredar luas di berbagai media massa maupun media sosial menyatakan, ada prinsip hukum yang berlaku universal, yakni putusan pengadilan harus dianggap benar (res judicata pro veritate habetur). Putusan pengadilan tidak dapat dibatalkan melalui putusan pengadilan. Seperti halnya sifat final dan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat mutlak. Kalaupun ada indikasi judicial corruption, daya berlaku sifat final dan mengikat itu tidak terkurangi.
Melalui penalaran hukum demikian itu maka, Putusan MA No. 44 Tahun 2019 yang mengabulkan gugatan Rahmawati dkk, pada hematnya tidak memiliki akibat hukum terhadap hasil Pilpres 2019. Jadi, hasil pilpres 2019 dengan segala kelebihan dan kekurangannya tetap sah, tidak batal hanya oleh karena Putusan MA tersebut.
Kerusakan Sistem Ketatanegaraan
Sebagai orang awam yang bukan ahli hukum, ijinkan saya membaca sekaligus menakar keputusan MA itu dari aspek lain, terutama berdasarkan moral keagamaan.
Islam mengajarkan segala sesuatu hendaklah berpegang pada prinsip halal dan thoyib atau baik. Prinsip berpegang teguh pada yang halal dan baik bertolak dari Surat Al-Baqarah: 168 dan Al-Maidah: 88 yang mengajarkan agar kita memakan apa saja di muka bumi ini sepanjang halal dan thayib. Surat Al-Maidah: 88 melarang manusia yang beriman untuk tidak terlalu membatasi dirinya dengan kehidupan di dunia. Manusia tetap dianjurkan untuk menikmati kehidupan layak yang dicontohkan Rasulullah SAW (menjadi sunah) salah satunya adalah makan apa saja sepanjang halal dan thayib. Pemahaman tentang halal dan thoyib berkembang tidak hanya sebatas pada kandungan zat dalam makanan dan minuman, tetapi juga pada perbuatan.
Demikianlah, para ulama menggariskan nilai-nilai moral keagamaan berdasarkan ayat tentang halal dan thoyib tadi, dengan secara tegas menyatakan, janganlah pernah berharap hasil yang baik dari sesuatu yang tidak baik atau tidak thoyib. Segala sesuatu haruslah berdasarkan prinsip halal dan baik.
Begitulah seharusnya sikap moral kita menghadapi kehidupan dalam bemasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tata kehidupan berbangsa dan bernegara, lazim mengikuti sistem bernegara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD). UUD menghasilkan produk-produk UU dan peraturan turunannya yang kemudian menjadi dasar bagi keberadaan berbagi lembaga dengan putusan serta peraturannya, seperti halnya Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemilihan Umum.
UUD adalah bagaikan pohon kehidupan di mana seluruh denyut kehidupan bangsa dan negara tergantung kepadanya.
Kenyataannya, dari berbagai pemberitaan media, dan buku-buku hasil kajian para pakar, kita bisa mengetahui UUD Amandamen 2002 yang sekarang menjadi sumber segala produk hukum dan aturan berbangsa dan bernegara adalah ibarat “pohon beracun”, yang semenjak benih, tumbuh menjadi pohon dengan akar, batang, dahan, ranting, daun, bunga dan buahnya, semuanya “beracun”. Apakah mungkin mengharapkan biji pohon beringin, tumbuh menjadi pohon mangga dengan buah mangganya yang lezat.. Dari penamaannya saja perubahan total UUD 1945 pada tahun 2002 itu sudah manipulatif, karena tetap disebut sebagai UUD 1945.
Sistem yang rusak akibat amandemen UUD 1945 telah melahirkan berbagai UU dan peraturan yang memunculkan sejumlah ancaman dan penyakit berbahaya, antara lain ancaman perpecahan yang belum pernah terjadi di masa-masa sebelumnya. Ketimpangan, kesenjangan dan ketidakadilan sosial ekonomi terang benderang menggilas sila kelima Pancasila, yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, berkelindan dengan bibit-bibit pembelahan dan konflik SARA beserta berbagai varian dan manifestasinya, yang kian hari terasa kian membesar.
Konstitusi yang buruk pasti akan menghasilkan UU dan peraturan yang buruk pula, antara lain UU Kepartaian dan Pemilu yang buruk, menghasilkan Partai-Partai Politik yang dikuasai para rent seeker, pemburu rente yang menganut paham berkuasa dan kaya raya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dengan segala cara. Demikianlah mata rantainya, menggambarkan sebagai berikut: UUD Buruk ⇨ sampai terjadinya PARLEMEN Buruk ⇨ PEMILU Buruk ⇨ PEMERINTAH Buruk ⇨ KEBIJAKAN Buruk ⇨ PENGUSAHA Buruk ⇨ PENEGAK HUKUM Buruk ⇨ KONSTITUSI Buruk ↺
Maka siapapun dan Partai manapun yang berkuasa yang dihasilkan dari UUD yang buruk, tidak akan bisa mengubah keadaan karena menggunakan pola dan sistem yang rusak. Sistem yang tidak thoyib apalagi haram, akan menghasilkan produk yang tidak thoyib pula. “A bad system can destroy good people,” .
Demikianlah saya yang bukan pakar hukum tatanegara ini, membaca sekaligus menakar keputusan Mahkamah Agung no 44 tahun 2019, yang hari-hari ini sedang ramai bersamaan dengan heboh soal RUU Haluan Ideologi Pancasila. Bukan soal Presidennya sah tidak sah, legal tidak legal. Karena saya yakin siapapun yang jadi Presiden dari sistem ketatanegaran seperti sekarang, akan sama saja, kesulitan menghadapi berbagai krisis termasuk menyongsong “Norma-Norma Baru “ pasca pandemi Corona. Masya Allah la quwwata illa billah.
Sistem buruk dipegang org dgn niat buruk akan menghasilkan perbuatan buruk. Setidaknya walau sistem buruk tapi dipegang org berhati mulia akan menghasilkan perbuatan baik.
احسان النس انفاعهم لنس