Ads
Tafsir

Tafsir Tematik: Apa Yang Disebut Adil (3)

Sesungguhnya Allah memerintahkan sikap adil dan kebajikan serta pemberian bantuan kepada karib kerabat, dan mencegah perbuatan keji, kemungkaran, dan tindak agresif. Ia mewejang kamu agar kamu mengingat-ingat. (Q. 16:90)

Keadilan sebagai Kemestian

Bahkan sejak generasi sahabat Nabi, salah satu penafsiran tentang pokok keadilan dalam ayat di atas menyangkut ihwal ketuhanan, meski dari pihak persepsi dan pengamalan hamba. Ibn Abbas r.a., menganggap maksud keadilan di situ sebagai Laa ilaaha illallaah — kredo “tiada tuhan selain Allah”. Sementara itu kebijakan (teks asli:al-ihsan) dikatakannya seagai pelaksanaan segala fardu (Qurtubi, loc. cit.). Tentu, ini sebenarnya adil dalam pengertian ‘seharusnya’, ‘selayaknya’, ‘semestinya’– seperti kalau kita tidak menganggap adil (fair0 orang yang menuntut seorang bocah memecahkan masalah orang dewasa, umpamanya. Jadi, adil adalah meletakan sesuatu di tempatnya. Lawannya: zalim. Dengan begitu, juga tindakan “mencegah perbutan keji, kemunkaran dan tindak agresif”, dalam ayat di atas, termasuk tindakan adil.

Thabari bisa menerangkannya dari jalan lain. Di antara sikap adil, katanya, adalah pengakuan kepada Dzat yang memberikan segala anugerah kepada kita, berterima kasih kepada-Nya dan meletakan segala pujian di tempatnya. Sementara itu berhala-berhala tidak punya apa pun yang menjadi alasan kita mengarahkan sikap-sikap tersebut kepada mereka. karena itu syahadat (yang arti pertamanya penampikan, nafy, segala berhala atau tuhan model apa pun, dan artikeduanya peneguhan keyakinan, itsbat, kepada Yang Satu) merupakan tindakan fair pertama (Lihat Ath-Thabari, Jami’ul Bayan, xiv:162).

Toh masih ada keberatan dari Qurthubi – dari pengertian ihsan itu. Pelaksanaan segala fardu sebenarnya tidak menunjuk pada ihsan, seperti dikatakan Ibn Abbas, melainkan kepada “Islam sebagaimana ditafsirkan Rasulullah s.a.w. dalam hadis mengenai pertayaan Jibril”. Dalam hadis Bukhari dan Muslim itu, Jibril bertanya kepada beliau: Apakah iman? Apakah Islam? Danjawaban Nabi mengenai Islam menunjuk pada ikrar syahadat danpelaksanaan fardu-fardu salat, zakat, puasa, dan haji. Karena itu bagi Qurthubi, Islam-lah (termasuk syahadat) yang lebih tepat dihubungkan dengan ‘adl alias fairness. Adapun ihsan,pengertiannya bisa didapat  dari jawaban Nabi untuk pertanyaan Jibril berikunya: apakah ihsan? Yaitu: “Engkau menyembah Allah seakan engkau melihatnya, dan kalau Engkau tidak melihatnya maka (resapkanlah bahwa) Ia melihat engkau.”

Masih dalam pengertian di atas, Ibnul Arabi melihat fairness  (keadilan)  itu dalam tiga posisi. Dalam hubungan hamba dengan Tuhannya, keadilan terlihat kalau si hamba mengutamakan hak Allah Ta’ala dibanding haknya sendiri, mendahulukan keridaan-Nya di atas hawa nafsunya, serta meninggalkan segala yang dicegah dan menunaikan segala perintah. Dalam hubungan si hamba dengan dirinya, adil berarti melarang diri sendiri dari semua yang mengandung bahaya kebinasaanya (“Adapun orang yang gentar di hadapan posisi Tuhannya, dan mencegah diri dari hawa nafsunya, maka surgalah tempat kediamannya”; Q. 79:40-41). Juga antara lain, pembiasaan sikap puas-atas-anugerah (qana’ah) dalam segala keadaan dan dengan segala pengertian.

Sedangkan adil dalam hubungan dengan makhluk lain menyata seperti dalam hal-hal: pemberian urun rembuk, penghindaran diri dari laku khianat, “ketulusan dari dirimu kepada mereka dalam semua segi, tidak berbuat buruk kepada mereka dalam semua segi, tidak berbuat  buruk kepada seseorang  dengan kata-kata maupun tindakan, baik secara sembunyi maupun terang-terangan, dan kesabaran kamu menerima tindakan buruk mereka”. Paling sedikit, dalam hal ketulusan, kata Ibnul Arabi, adalah “meninggalkan perbuatan yang mengganggu” (Qurthubi, op.cit: 166).

Itu adil dalam arti pertama. Tidak hanya menyangkut akidah, keberislaman, dan akhlak. Tetapi juga seluruh bagi pelaksanaan kehidupan duniawi yang religius. Seperti dalam tanggapan yuris dan pengarang Kitabuk ahkamis Sulthaniyah (Kitab Hukum-hukum Pemerintahan), Al-Mawardi, maksud keadilan dalam ayat di atas jelas: “penjatuhan vonis dengan benar”. Ia merujuk Q. 4:58: “Dan bila engkau memberi hukum di antara khalayak agar memberi hukum secara adil (Abu Haiyan, Al-Bahrul Muhith, V:529). Bersambung

Penulis: Syu’bah Asa (1941-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat; Sebelumnya bekerja di majalah Tempo dan  Editor. Sastrawan yang antara lain memerankan tokoh D.N. Aidit dalam film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer  ini sempat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Sumber: Panji Masyarakat, 8 September 1999

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading