Ads
Aktualita

Mengapa Santri Harus Kembali

Covid-19 belum juga tuntas. Sedangkan jenuh  mulai membuncah. Bosan dengan keadaan dan rutinitas yang itu-itu saja.  Ketika semuanya harus dilakukan di rumah, -seperti nasib kaum hawa pada zaman dahulu kala- tak jauh-jauh dari dapur, sumur, dan kasur.

Empat bulan berlalu sudah,  pemerintah mulai lelah dan payah.   Kasus yang terjangkit bukannya menurun,  malah semakin menanjak jumlahnya. Dari tiga komponen yang harus dilakukan di rumah; bekerja dan beribadah mulai dilonggarkan.  Sementara belajar dengan tatap muka masih belum diperkenankan.

Banyak pertimbangan, selain karena alasan institusi pendidikan di negeri ini bermacam ragamnya.  Ada yang di sebut formal dan informal. Ada yang pergi-pulang, ada yang berasrama. Dan salah satu yang jadi beban pikiran adalah pendidikan pesantren.

Khusus pesantren sendiri, Presiden Jokowi mewanti-wanti. Sebagaimana yang dikutip Menteri Agama, Fachrul Razi, “Hati-hati pesantren, jangan sampai jadi cluster baru” papar Pak Menteri, menyampaikan pesan presiden saat konferensi pers bersama Komisi 8 DPR RI, Kamis (18/6).  

Fakta yang terjadi di lapangan mengenai sikap pesantren selama pandemi menurut Menteri Agama ada tiga.  Ada yang tidak memulangkan santri sejak awal pandemi. Ada yang memulangkan dan belum mengembalikkan ke pesantren. Dan ada yang memulangkan kemudian membuka kembali pesantrennya..

Tidak seperti sekolah dan madrasah yang secara tegas diperpanjang masa belajarnya, berdasarkan SKB Tiga Menteri. Dari sekian keterangan yang telah disiarkan pemerintah, tidak ada ketegasan yang melarang atau membolehkan pesantren memulai belajar di era new norml. Intinya yang bisa ditangkap, semua jenis unit pendidikan di zona merah tidak boleh menyelenggarakan belajar secara langsung.

Independensi pesantren dan nilai-nilai kultural yang ada dalam tubuh pesantren, mungkin yang jadi pertimbangan tidak adanya ketegasan untuk melarang. Satu sisi mendukung pemerintah, karena menjadi tempat yang aman untuk mengisolasi diri. Sisi lain punya potensi terpapar yang cukup besar seperti nasihat Presiden Jokowi kepada Menteri Fachrul Razi.

Tulisan ini mencoba mengulik dilema pesantren dengan kebijakan yang ada dalam SKB Tiga Menteri. Dan pesantren  memilih mengembalikan santri, belajar secara langsung dengan syarat dan ketentuan yang berlaku daripada menempuh jalur daring.

Karenanya menarik untuk melihat pilihan belajar yang diambil pesantren ketika new normal digaungkan. Lalu, mengaitkannya dengan respon pesantren terhadap kemajuan teknologi pembelajaran.  Sambil menyelipkan pertanyaan apakah daring sesuai dengan falsafah dan kultur belajar di pesantren. Mari kita lihat.

Secara historis-kultural, pesantren dan kiai itu didatangi santri.  Bukan sebaliknya. Dan kiai sebagai figur utama pesantren menjadi magnet yang menarik santri datang ke pesantren. Kapasitas ilmu, kharisma, dan spiritualitas kiai yang sulit tergantikan teknologi.  Sederhananya, target faqih fi diin dan berakhlak mulia yang ingin ditempa kiai kepada santri-santrinya tidak bisa ditransfer lewat daring. Selain itu pengamalan ibadah ubudiah santri sepertinya tidak bisa dipantau lewat zoom atau google meet.

Belum lagi soal-soal pendidikan non kognitif dan life skill yang diajarkan di pesantren, rasanya sulit jika tidak disertai sentuhan dan pengamatan secara langsung.  Inilah yang barangkali membuat beberapa pesantren memilih membuka kembali proses pembelajaran di era new normal.

Selain itu,  para kiai di pesantren menghidupkan ruh thalabul ilmi sebagai niat utama para santri, bukan untuk prestise atau kebanggaan duniawi.  Tapi semata mata niat belajar karena Allah untuk bisa bermanfaat bagi sesama manusia dan alam semesta. Dan pesantren secara umum bukan lembaga pendidikan yang mengagung-agungkan aspek kognitif, tapi menekankan kepada karakter dan akhlak mulia.

Namun, bukan berarti pesantren meremehkan Corona. Mereka menyadari itu sebagai sunnatullah. Dimana manusia harus punya ikhtiar melawannya.  Karenanya harus dilawan dengan pola hidup bersih dan sehat. Taat terhadap arahan para ahli medis, serta mengikuti standar protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah sebagai ulil amri.

Setelah ikhtiar mereka tunaikan,  arahan protokol kesehatan mereka amalkan,  selanjutnya adalah tawakal dan berserah diri kepada Sang Maha Penyembuh segala penyakit.  Maka bagi pesantren, ikhtiar dan tawakal itu adalah ‘vaksin’ yang bisa memutus penyebaran covid. Bukan berarti melanggar hadist Nabi, tentang seruan berdiam diri saat wabah melanda suatu negeri. Justru, keberadaan santri di pesantren mengikuti nasihat Nabi dan membantu program pemerintah mengatasi pandemi. Karena para santri hanya berpindah untuk berdiam diri dari rumah kecil ke rumah besar bernama pesantren.

Pada akhirnya, semua dikembalikan kepada para kiai dan kesiapan pesantren itu sendiri. Seraya memohon perlindungan kepada Allah SWT agar pandemi ini segera berlalu

Tentang Penulis

Avatar photo

Saeful Bahri

Alumni dan guru Pondok Pesantren Daar el Qolam, Tangerang, Banten. Pernah belajar di UIN Sultan Maulana Hasanudin Banten, Universitas Indonesia, dan Universiti Kebangsaan Malaysia. Selain mengajar di almamernya, ia juga menulis beberapa buku di antaranya Lost in Pesantren (2017), 7 Jurus Betah di Pesantren (2019), yang diterbitkan Penerbit Republika Jakarta.

Tinggalkan Komentar Anda