Abu Bakr sebenarnya bukan orang yang berambisi menduduki posisi pengganti Rasulullah. Tapi dialah orang yang paling senior dan paling dekat dengan Rasulullah. Isyaratpun sudah diberikan Rasulullah semenjak beliau masih hidup. Misalnya ia di suruh menjadi imam untuk menggantikan beliau berhalangan karena sakit. Tapi mengapa ada tuduhan ia merampas hak kekhalifahan dari Ali ibn Abi Thalib?
Kekhalifahan Abu Bakr
Wafatnya Rasulullah yang mendadak menimbulkan keguncangan di kalangan para sahabat terkemuka. Mereka seolah-olah tidak percaya akan kepergian Rasulullah yang agak mendadak itu. Umar ibn Khatab bahkan mengancam bunuh setiap orang yang mengatakan kalau Muhammad sudah pergi menghadap Allah. Dalam keadaan seperti itu, siapa yang berani, dan sanggup, meredakan kemarahan Umar itu? Di sini Abu Bakr menunjukan kebesaran dan ketenangan jiwanya. Dikutipnya ayat Alquran,”Tidaklah Muhammad kecuali seorang rasul. Sudah berlalu sebelumnya rasul-rasul . Maka, apabila ia mati atau terbunuh,akankah kalian terbalik arah kebelakang?” (Q.3:144). Mendengar ayat ini, serentak melumer jiwa Umar yang sedang bergolak jiwanya oleh kesedihan amat sangat karena ditinggalkan orang yang paling di cintainya itu. Ia lantas sadar,tidak semestinya ia berbuat seperti itu. Muhamad hanyalah seorang manusia pula, yang bisa mati.
Tiba-tiba ia, yang sedang menggelingi jenazah Rasulullah di rumah beliau, mendengar orang-orang Ansar sedang berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah untuk memilih pengganti Nabi di antara mereka. Ada-ada saja. Tidak selayaknya ini dilakukan. Bukankah jenazah Rasullah sendiri belum dikebumikan, mengapa mereka sudah ribut dulu tentang pengganti nabi? Abu Bakr mula-mula tak hendak beranjak dari sisi Nabi, ketika dipanggil Umar untuk urusan penting, katanya. “Apakah ada urusan lain yang lebih penting dari pada mungurus jenazah rasulullah?” ujarnya.
Berdua, Abu Bakr dan Umar, mereka datang ke Saqifa Bani Sai’dah. Untuk kesekian kali di sini Abu Bakr menunjukan ketenangan jiwanya. Kata-katanya mengalir lancar, dan akhirnya ia berhasil meyakinkan orang-orang Anshar bahwa orang-orang Muhajirin, bahwa orang-orang Quraisy, lebih berhak menyandang kepemimpinan menggantikan Rasulullah. Setelah itu diangkatnya tangan Umar dan Abu Ubaidah. “Kalian boleh memilih salah seorang dari kedua ini,” katanya.
Tapi, Umar justru menggangkat tangan Abu Bakr. Dan kala diajaknya orang-orang yang hadir untuk ikut membaiat, mereka ramai-ramai melakukannya
Abu Bakr sebenarnya bukan orang yang berambisi menduduki posisi pengganti Rasulullah. Tapi dialah orang yang paling senior dan paling dekat dengan Rasulullah. Isyaratpun sudah diberikan Rasulullah semenjak beliau masih hidup. Misalnya ia di suruh menjadi imam untuk menggantikan beliau berhalangan karena sakit.
Ketidakambisiusan Abu Bakr ini terlihat ketika sedang menyampaikan pidato pembaitanya.Ia menyatakan:
“Aku telah kau angkat sebagai pemimpin kalian padahal sebenarnya aku membencinya. Demi Allah, sesungguhnya aku berharap agar jabatan ini dipegang oleh salah seorang di antara kalian. Jika kalian membebani tugas kepadaku sebagai mana kepada Rasulullah s.a.w., maka aku tidak sanggup memikulnya karena Rasulullah adalah seorang hamba yang di utamakan oleh Allah dengan wahyu dan dijamin keselamatannya. Sedangkan aku hanya manusia biasa yang tidak lebih baik dari kalian, Maka bantulah aku dan taatilah aku jika aku di jalan yang benar,tapi jika aku menyimpang,maka luruskanlah aku.” (Muhammad Hussein Haekal, h.328).
Memang ada masalah, saat terjadinya baiat itu, Ali beserta ahlul bait lainnya tidak hadir. Mereka sedang mengurus jenazah Rasulullah. Kaum Syiah menuduh, dengan begitu kejamnya, bahwa Abu Bakr (dan Umar) sudah merampas kekuasaan dari Ali. Di kalangan mereka beredar cerita, Ali karena itu tak mau berbaiat. Bahkan, sempat pula meluncur ucapan penuh kekecewaan kepada Abu Bakr. Ada riwayat,ia baru berbaiat setelah istrinya, Fatimah putri Rasulullah, meninggal enam bulan kemudian.
Haekal menyangka tuduhan yang sebenarnya bermata dua ini: tak hanya kejam kepada Abu Bakr tapi juga kepada Ali karena dituduh ambisius. Banyak ahli sejarah yang menyatakan, cerita-cerita tadi muncul pada masa Dinasti Abbasyiah atau, menurut sebagian lainnya, saat konflik Umayah-Ali meruyak — untuk tujuan politis. Kalau tidak, sudah pasti bakal terjadi pepecahan diantara sahabat. Nyatanya, kekhalifaannya Abu Bakr diterima oleh semua pihak, tidak ada oposisi, tak ada pemberontakaan. Kalaulah ada pemberontakan, itu dilakukan orang-orang Islam “pinggiran”, yaitu mereka yang kemudian murtad atau menolak pembayaraan zakat. Dan itu semua tak ada hubungannya dengan kekhalifaan Abu Bakr, melainkan karena meninggalnya Rasulullah. Mereka yang semula takut, karena kuatnya barisan Islam di bawah kepemimpinan Muhammad, menemukan kembali keberanian mereka sepeninggal sang pemimpin. Karena itulah Abu Bakr memilih untuk menggempur mereka terlebih dahulu, guna memperkokoh kembali barisan Islam yang, mungkin, di sangka jadi lemah.
Tugas pertama Abu Bakr adalah meneruskan pengiriman pasukan Usamah. Meskipun di kalangan sahabat saat itu banyak yang berkeinginan menunda keberangkatan pasukan Usamah, Abu Bakr tetap berkeras untuk meneruskannya. “Saya tak akan menunda apa yang sudah diputuskan Rasulullah,” kata Abu Bakr. Pasukan Usamah berhasil menjalankan misinya dan mendapatkan kemenangan.
Kepada khalayak ramai penduduk muslim Madinah Abu Bakr menandaskan, ia bukan pencipta kebijaksanaan, melainkan pelaksana, penerus dari apa yang sudah digariskan Rasulullah. Ini merupakan cermin garis kebijakan pemerintahaan Abu Bakr.
Bersambung