Musibah itu terkadang maujud karena perbuatan Allah terkadang pula karena perbuatan hamba. Yang dari Allah bisa kita lihat berupa gempa, letusan gunung berapi, paceklik dst. Yang dari manusia bisa serangan musuh, dalam contoh dari masa Nabi, bisa pula bentuk-bentuk modern.
Akan kami timpakan cobaan kepada kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta benda, jiwa dan buah-buahan. Berikanlah kabar gembira kepada mereka yang tahan uji. (Q. 2:155)
Mengapa cobaan disebut sedkit?
Karena yang besar bagi kita sedikit bagi Allah. Bahkan kehidupan dunia yang bisa sangat melimpah ruah ini bagi Allah kecil sahaja: “Katakan: kesenangan duniawi itu hanya sedikit….” (Q. 477; lihat juga 3:197; 9:38; 13:26; 16:117). Bahkan waktu yang kita jalani bagi Allah hanya secuil: “Dan bahwa satu hari pada Tuhanmu seperti seribu tahun dalam hitungan kamu” (Q. 22:47). Atau, “……. dalam satu hari yang ukurannya lima puluh ribu tahun” (Q. 70:4). Sama dengan bila seorang kaya (yang hidup dengan mubazir) mengatakan, “Anakku itu sudah kuberi sedikit uang jajan.” Dan yang dimaksudkannya ternyata dua juta rupiah. Demikian yang bisa kita pikirkan.
Tetapi para mufasir lebih dulu akan menerangkan kata asli sedikit itu, yang dalam teks ayat bukan qail (‘sedikit’), melainkan syaii (‘sesuatu’). Lengkapnya: bi syain minal khaufi….. (“dengan sesuatu dari ketakutan….”). Pemakaian syaii’, bentuk tunggal, dan bukan asyyaa’, bentuk jamak (‘sesuatu-sesuatu’, atau ‘hal-hal’dakt), dimaksudkan, menurut Fakhruddin Ar-Razi, agar tidak tumbuh kesan bahwa ‘sesuatu’ (dari cobaan) itu berkenaan dengan tiap butir yang disebutkan itu. Itu pertama. Kedua, ‘sesuatu’ itu memang menunjuk pada jumlah sedikit. (Ar-Razi, Al-Tafsirul Kabir, IV, 166).
Sedangkan, jumlah sedikit itu dikemukakan “untuk memperlihatkan bahwa setiap musibah yang menimpa kita walaupun besar, di atasnya masih ada yang (lebih besar, yang) menyebabkan musibah kita itu terhitung sedikit. Juga untuk meringankan perasaan umat mukminin yang diberi musibah, dan menunjukkan bahwa rahmat-Nya beserta dengan mereka dalam setiap keadaan dan tidak meninggalkan mereka” (Qasimi, op. cit, 325). Termasuk, kalau demikian, yang dimaksud diringankan perasaannya dan diingatkan kepada rahmat, dalam kasus kita, adalah para pengelola perekonomian, khususnya, yang bisa merasakan musibah yang datang itu sebagai suatu “pukulan”. Apakah “pukulan” itu suatu azab?
Dari keseluruhan ayat Quran, kita dapati istilah azab (adzaab), maupun yang mengesankan azab, khusus untuk pemakaiannya dalam konteks suatu kaum, hanya berkenaan dengan mereka yang kafir. Contoh “Andai saja penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, sudah Kami bukakan untuk mereka berbagai berkah dari langit dan bumi. Tapi mereka mendustakan (alias kafir), apa yang mereka upayakan” (Q. 7:96). Sedangkan untuk kaum beriman, istilah yang kita pakai adalah ‘uquubah, hukuman. Hukuman bisa mengandung pelajaran, sementara siksaan, azab, berkonotasikan pembalasan. Akan hal ayat di atas, pemahaman yang bisa kita peroleh ialah bahwa antara lain, “Cobaan-cobaan itu tidak harus merupakan hukuman (‘uquubah)”, kata Ar-Razi. Alasan Razi: “Allah Ta’ala juga menjanjikannya sebagai akan dialami para mukmin, yakni Nabi s.a.w., sendiri dan para sahabat beliau.”
“Penyakit, dan demikian pula musibah ekonomi, akan datang kepada tubuh yang kuat maupun yang lemah, sebab demikianlah janji Tuhan dalam ayat yang kita bicarakan. Tapi kesembuhan selalu akan lebih cepat dicapai oleh tubuh yang berkondisi bagus.”
Di sisi lain, “Ketahuilah bahwa musibah itu terkadang maujud karena perbuatan Allah terkadang pula karena perbuatan hamba” (lihat Razi, op, cit. 169, 170). Yang dari Allah bisa kita lihat berupa gempa, letusan gunung berapi paceklik………Yang dari manusia bisa serangan musuh, dalam contoh dari masa Nabi, bisa pula bentuk-bentuk modern. Semuanya seperti disebut Rasyid Ridha di muka, terjadi berdasarkan hukum ciptaan sendiri, “dengan sebab-sebabnya “. Terutama dirasakan dalam konteks suatu kaum, umat, atau bangsa, “Bila Allah menghendaki suatu perkara, Ia menyediakan sebab-sebbanya” (Thanthawi Jauhari, Al-Jawahir, I, 132). Sebab-sebab itu bisa sangat luas, dan untuk sebagian bisa sosiologis.
Misalnya: “Kalau Kami berkehendak membinasakan suatu negeri. Kami perintahkan orang-orangnya yang hidup mewah, maka mereka berbuat durjana di sana, maka menjadi sah jatuhnya sabda atas negeri itu dan Kami hancurkan dia sehancur-hancurnya” (Q. 17:16). Penyebutan orang-orang yang hidup mewah menunjukkan bahwa ada golongan (besar) yang ekstremnya hidup miskin, atau katakanlah terdapatnya kesenjangan sosial. Sedangkan perbuatan durjana kelompok mewah itu bisa dipahami sebagai sangat relevan bila menyangkut, membawa dampak buruk, atau lebih-lebih memperkuat kesenjangan yang berlawanan dengan maksud ayat seperti “Agar ia (harta, modal) tidak hanya menjadi barang yang berputar di kalangan orang-orang kaya saja di antara kamu” (Q. 59:7). Bila orang berbicara tentang perlunya kelas menengah yang kuat dalam struktur perekonomian sebuah negeri, orang akan harus mengingat ajaran untuk meratakan pemilikan modal kepada seluas mungkin penduduk, layaknya bukan bahwa kalangan yang di bawah mendapat tetesan berkah dari aktivitas mereka yang di pucuk, yang selalu berjumlah lebih sedikit dan, karena demikian menentukan memegang pengaruh yang luas baik dalam hal manfaat seperti yang dibayangkan maupun bila mereka terpukul atau apa lagi berbuat durjana.
Yang terakhir itu mungkin terjadi karena “mereka tidak saling mencegah perbuatan mungkar (yang diingkari hati nurani) yang mereka perbuat” (Q. 5:79). Bentuk-bentuknya bisa antara lain ditunjukkan Q. 5:62 sebagai “memakan harta yang haram”. Istilah yang dipakai di situ adalah suht, yang sering diberi tafsiran “seperti uang sogokan dan sebagainya “ (lih. Mis. Al-Quran dan Terjemahannya, 165), tapi pengertian kandungan seluruhnya jauh lebih luas dari itu. Bahwa mereka tidak saling mencegah perbuatan mungkar, dan bahwa hukum, dalam contoh itu, praktis “tidak jalan”. Itulah hukum yang diamanatkan dalam ayat, “Dan bila kalian memberikan hukum antara manusia, berikanlah hukum dengan adil” (Q. 4:58).
Sebab hanya dengan keadilan aturan main bisa dipegang, dan kepercayaan rakyat kepada pemerintah suatu negeri bisa diandalkan. Itu akan terlihat dalam kasus-kasus bencana: apakah mereka bersedia mendengar, dan apakah mereka masih memiliki solidaritas. Ayat “Peliharalah diri kalian dari bencana yang tidak hanya akan menimpa mereka yang lalim saja di antara kamu” (Q.8:25) menuntut sikap jeli untuk melihat potensi-potensi (“sebab-sebab”, seperti yang disebut Rasyid Ridha maupun Thanthawi) yang bisa menimbulkan malapetaka umum, baik yang di luar maupun di dalam struktur. Penyakit, dan demikian pula musibah ekonomi, akan datang kepada tubuh yang kuat maupun yang lemah, sebab demikianlah janji Tuhan dalam ayat yang kita bicarakan. Tapi kesembuhan selalu akan lebih cepat dicapai oleh tubuh yang berkondisi bagus. Ayat “Sesungguhnya Allah tidak mengubah hal-hal pada suatu kaum sampai mereka mengubah hal-hal dalam diri mereka sendiri” (Q. 13:11) bisa menunjuk pada pengubahan yang mendasar, di sekitar yang biasanya disebut sebagai ‘mentalitas atau budaya’.
Tapi ayat itu menunjuk pada suatu optimisme asungan untuk suatu ikhtiar, seperti ikhtiar yang berpahala dan diberkati Allah untuk melepaskan umum dari bencana — yang, untuk pengubahan yang dimaksukan ayat itu, tentunya merupakan suatu tindakan yang simultan dan bukan hanya berjangka pendek. “Dan berikanlah kabar gembira (dengan surga) kepada mereka yang tahan uji”. Amin.
Penulis: Syu’bah Asa (1941-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat; Sebelumnya bekerja di majalah Tempo dan Editor. Sastrawan yang antara lain menerjemahkan Barjanzi yang dipentaskan Bengkel Teater ini sempat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Sumber: Majalah Panji Masyarakat, 23 Februari 1998.