Menjadi orang miskin memang tidak enak. Bagaimana bisa dibilang enak, kalau untuk makan sesuap nasi saja harus kerja keras dengan keringat mengalir sampai ke tumit. Di masjid atau pengajian memang banyak ustad bicara tentang kemuliaan hati orang yang pemurah, yang banyak menabur sedekah buat orang miskin.
Namun bagi Kang Miun, rasanya kok ia lebih banyak menemui orang yang menganjurkan bersedekah ketimbang bertemu dengan pengulur sedekah. Tidak salah jika ustad bilang dan menganjurkan bersedekah, soalnya dia – diikuti atau tidak—sudah berhak satu pahala. Itu pun kalau ngomongnya ikhlas, tidak ingin sanjungan agar dirinya dikategorikan sebagai orang yang memihak kaum miskin.
Kang Miun sebenarnya ingin juga kecipratan zakat dan sedekah dari para tetangganya yang banyak duit yang rumahnya bagai istana, yang mobilnya tiga, yang anaknya sekolah di luar negeri, yang kalau berdekatan ketika salat Jumat bau parfumnya menyegarkan paru-paru. Telah berapa khatib bicara tentang zakat, sedekah, dan hati yang bersih, tetapi sampai kini Kang Miun belum tahu gembiranya menerima sedekah. Padahal seorang mubalig telah mengutip sabda Nabi Muhammad s.a.w. yang berbunyi: “Bukan orang Islam, orang yang berfoya-foya kekenyangan di rumahnya, sedangkan ia tahu bahwa ada tetangganya yang lapar.” Namun kutipan sabda Rasul ini masih belum menggerakkan para tetangga untuk membantu Kang Miun.
Akhirnya Kang Miun yang tukang becak ini bilang kepada temannya sesama tukang becak. “Pokoknya begini, kalau isi khutbah an pengajian sudah tidak dillaksanakan oleh orang-orang berduit, kita tidak usah mengharap belas kasih mereka.”
“Siapa yang berharap?” kata Pak Madun, teman Kang Miun. “Kalau aku sih sekali setahun masih mendapat segantang beras zakat fitrah. Namun hidupku tidak digantungkan kepada belas kasih orang kaya. Sudah malas aku menunggu dan sudah lebih 20 tahun aku tidak menunggu. Aku lebih percaya kepada hasil kerja dan hasil keringat sendiri.”
“Lalu apa gunanya para ustad bicara tentag zakat dan sedekah kalau hanya untuk tidak diikuti? Kalau aku menjadi ustad, sudah lama aku berhenti. Habis, tidak diikuti orang juga,” kata Kang Miun.
“Jadi ustad tidak boleh putus asa,” jawab Pak Madun. “Makanya sangat benar Allah kalau engakau tidak ditakdirkan menjadi ustad. Soalnya kamu mudah putus asa. Ustad hanya bertugas untuk menyampaikan. Soal umat mengikuti atau tidak, itu soal lain.”
“Soal lain bagaimana?” ucap Kang Miun dengan nada agak meninggi. “Khutbah, ceamah, ya untuk didengarkan dan diikuti atau dilaksanakan. Kalau tidak untuk diikuti, buat apa ngundang ustad dan mubalig? Saya menarik becak karena ingin mendapat uang. Kalau tidak dapat uang, ya saya berhenti menarik becak.”
“Wah, kau ini sulit untuk dibuat mengerti,” tambah Pak Madun. “Pekerjaan sebagai tukang becak seperti kita ini tidak bisa dibandingkan dengan ustad. Untuk menjadi ustad orang harus belajar tahun-tahun, beda dengan belajar membecak yang hanya cukup tiga hari atau paling lama satu minggu.”
“Justru omonganmu yang membuat aku jadi tambah tdiak mengerti,” sela Kang Minun. “Yang kubandingkan bukan kerjanya, tetapi hasilnya. Ustad juga kan berbuat, tetapi kalau selama ini ia berbuat tidak ada hasilnya, ya buat apa ia ngomong?”
“Aku tidak bisa memecahkan pertanyaanmu, tetapi barangkali sebaiknya kita berbaik sangka saja. Kalau selama ini engkau tidak pernah mendapat sedekah, tidak berarti semua orang kaya tidak bersedekah. Mungkin saja mereka berzakat dan bersedekah, tetapi kepada oang lain, sedangkan kita tidak kebagian. Dengan hati yang bebas dari buruk sangka seperti itu, hidup kita akan lebih tenang. Kita mendekatkan hati kepada Allah,” tutur Pak Madun.
“Kalau begitu jawabanmu, aku agak setuju,” ujar Kang Minun.
“Seperti katamu, kita tidak boleh terlalu berharap mendapat bantuan dari orang kaya. Bukankah tangan yang di atas lebih mulia dari yang dibawah?” tegas Pak Madun.
“Kalau mereka berzakat kepada orang lain, ya tidak apa-apa. Namun bagaimana kalau mereka pada kenyataannya tidak berzakat?” gugat Kang Miun.
Pak Madun lagi-lagi bilang, “Kita tidak boleh berburuk sangka.”
“Begini, bukan soal buruk atau baik sangka,” sela Kang Miun. “Namun menurut para ustad dan mubalig, kita sebagai orang miskin memang punya hak terhadap sebagian harta orang kaya yang disebut Allah dengan zakat itu. Menurut agama, kita tidak boleh menuntut hak itu.’
“Mau menuntut bagaimana? Kita sebagai orang miskin termasuk orang yang lemah. Orang lemah menantang orang kaya seperti mentimun hendak melawan durian, jelas babak belur,” Pak Madun memberi kiasan.
“Kalau begitu kita tuntut di akhirat saja,” ujar Kang Miun.
“Sikap Rasulullah terhadap Tsa’labah yang pelit dan tidak mau berzakat itu sudah sangat bijaksana. Itu bisa kita contoh,” tambah Pak Madun. “Kita tidak usah punya doa dan pikiran jelek buat orang-orang yang kikir. Dituntut atau tidak, Allah akan tetap menghukum mereka yang rakus, yang tidak memberi hak untuk orang lain untk merasakan hidup sejahtera.”
“Aku setuju itu dan Allah akan berbuat seadil-adilnya,” ujar Kang Miun.
Di tengah perbincangan itu, dari masjid sebelah terdengar suara azan: “Allahu akbar….”
Sumber: Majalah Panji Masyarakat, 9 Februari 1998.