Ads
Ramadan

Malam-malam Pemburuan Lailatul Qadr

Tiba-tiba saja Ramadan telah memasuki malam-malam pemburuan lailatul qadr, yang oleh para ahli disebut sebagai masa ‘itiqun minan-nar. Padahal di antara yang menunaikan puasa dengan kesungguhan iman dan ihtisab, seperti belum menuntaskan kangennya. Tapi tidak perlu cemas. Lailatul qadr menjanjikan pengaruh apa yang dilakukan, apa yang diucapakan, apa yang diniatkan, memulai nilai sama dengan lebih dari seribu bulan.

Kita baca subhanallah, sekali, dengan penghayatan yang benar. Yang merasa diri ini kotor dan hanya Gusti Allah saja yang Mahabersih. Kita baca itu bertepatan dengan malam qadr. Kecuali janji pahala yang tak terhingga, Dia akan menjaga kita dari kumoresik, mengganggap diri paling bersih. Dan sebagainya. Memang, untuk seketika, tidak seperti puasa itu sendiri. Betapa puasa telah menebar rasa puas mendalam ketika seseorang mampu menyelesaikannya. Dia merasa ibadahnya diterima Gusti Allah tanpa kurang sedikit pun. Bahkan, barangkali, bagi yang baru mampu berlapar-lapar perut dan berkering-kering kerongkongan sekalipun.

Sementara,  menurut Kanjeng Nabi, puasa yang benar itu tidak hanya melaparkan perut dan mendahagakan kerongkongan saja, tetapi juga menahan mata dari melihat yang dilarang, menahan telingga dari mendengar pengunjingan, menahan lisan dari mengatakan yang menyakitkan, menahan hidung dari mencium yang membangkitkan syhwat, menahan tangan dari meraba atau mencekal yang bukan miliknya, menahan kaki dari melangkah yang menyimpang, menahan hati dari merasa dan menalar yang tak seharusnya, dan seterusnya.

Yang puas dengan puasanya adalah dia yang merasa telah berhasil menjujuri niatnya, menjujuri  dirinya, dan menjujuri Tuhannya. Di mana saja dia, meski dalam sendiri, mampu setia pada niat puasanya. Dia pantas berucap dalam-dalam: alhamdulillah. Kendati demikian, dia yang puas dengan puasanya “menikmati”-Nya benar. Karena nikmat itulah.

Maka ngangeni. Tentang kangen, kebanyakan kita masih baru bisa merindui Gusti Allah. Kangen kepada anak, suami/istri, ibu, bapak, kekasih, sahabat, dan lain-lain. Manakala sudah merasakan nikmatnya beribadah puasa dan kangen kepada kehadirannya, dia sudah bisa disebut sebgai naik tingkat. Insya Allah satu langkah lagi dia sudah sampai pada tingkat yang tidak pernah berhenti didambakan oleh muslim yang taat, yaitu rindu dan kangen tak berujung dan senantiasa “merasa dekat” dengan Gusti Allah.

Itu hanya dapat dinikmati oleh yang disebut al-‘arif billah. Tanda dari dia yang telah sampai pada gelar itu adalah menjadikan salat sebagai tambatan hati (gantilaning ati). seperti Kanjeng Nabi sabdakan, “waju’ilat qurattu ‘ainii fish-shallah”; “(Oleh Allah) Salat telah dijadikan sebagai bola-mataku.” Artinya, begitu salat ditegakkan, beliau yang menjadikannya bola-mata, seperti enggan berhenti dari terus mengasyiki salatnya itu. Beliau menemukan “keasyikan” luar biasa dalam salat. Demikian pula, siapa saja yang dalam salatnya dijadikan Gusti Allah sebagai “bola-matanya”, dia seperti mendapat kesempatan bercengkerama, jagongan, bercanda, denga kekasih yang “wah”-nya tak tertandingi: Gusti Allah. Dia tidak akan mau dihentikan dari keasyikan  luar biasa itu, walau oleh keberisikan yang bagaimanapun. Orang mampu menegakan salat seperti itu manakala dia telah sampai pada tingkat hubbullah,  cinta Gusti Allah.

Tetapi memang tidak mudah. Dia harus lewat jaur ikhlas lebih dahulu, yakni ikhlas yang oleh kanjeng Nabi disebut sebagai “rahasia dari sekian banyak rahasia Allah”. Tentu saja itu hanya dikaruniakan kepada yang dikehendaki-Nya. Sebab hanya denga ikhlas itu orang lalu mampu beristiqamah. Sebuah sikap yang dengan itu segala kejenuhan akibat melaksanakan ketaatan terhadap perintah-Nya dapat diatasi secara relaktif.

Istiqamah, yang orang sekarang bilang “konsisten dalam sikap dan laku” itu, menjamin penyertaan malaikat untuk selalu berbisik: “Jangan kamu takut dan sedih. Kami akan terus menjadi pelindung dan pembelamu dalam kehidupan dunia dan akahirat. Apa saja yang kamu inginkan akan kamu peroleh.” Setiap salat kita selalu memohon agar ditunjukan jalan yang lurus. Yakni jalan orang-orang yang diberi kenikmatan dan merasa nikmat ketika menjalankan perintah Allah, yang kalau tidak bersyukur ya berabar itu.

Dan itu bukan jalan orang-orang yang mendapat marah karena berterima kasih saja tidak bisa, apalagi bersabar. Bukan jalan orang-orang yang berilmu tapi tak beramal. Dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat, yaitu mereka yang salah jalan dalam menggunkan pemberian Allah, berupa kecerdasan, kepakaran, kecakapan, kekayaan, kedudukan, kesempatan, ketenaran. salah dalam menaruh dan memberi harga pada dirinya. Salah nalar dalam memahami apa yang didapatkan sehingga yang mestinya disyukuri malah dikufuri, yang mestinya harus diartikan ujian (balaa‘) malah dimaknai sanjungan. Juga yang beramal tapi tak berilmu.

Bulan Ramadan tahun ini sebentar lagi akan tutup layar. Senyampang masih ada saat perburuan lailatul qadr, kesempatan untuk belajar dan melatih diri untuk beristiqamah masih ada. Kesempatan itu tentu saja tidak akan kita biarkan menjadi klolot. Keluar tidak, masuk pun tidak. “Kesempatan itu “, kata Kanjeng Nabi, “apabila tidak dipergunakan akan menjadi klolot.” Ah, sampeyan.

Penulis: KH Muhammad Cholil Bisri (1942-2004). Pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah, dan antara lain  menjabat Wakil Ketua MPR RI (2002-2004). Sumber: Majalah Panji Masyarakat, 26 Januari 1998

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda