Ramadan

Buya Hamka tentang Puasa (9): Mengintai Lailatul Qadr

Waktu masih kecil, guru ngaji Engku Lebay menceritakan bahwa malam 27 Ramadan merupakan malam lailatul qadr. Diketuai Jibril, malaikat-malaikat turun dari langit. Waktu itu sujudlah seisi alam: kayu-kayuan, rumah-rumah, gunung-gunung…. Air pun berhenti mengalir. Seluruh dunia diliputi cahaya-cahaya yang lain dari cahaya pelita alias lampu minyak, lain dari cahaya bulan, lain dari cahaya matahari. Pintu langit terbuka, dan orang yang dikehendaki  Allah akan makbul doanya. Melihatlah orang itu bahwa saat lailatul qadr telah tiba. Waktu itu apa saja yang kita minta akan dikabulkan Tuhan.

“Bolehkan kita minta sepeda?” bertanya Saleh Sanok, seorang anak, kepada Lebay.

“Lebih dari sepeda yang diminta akan diberi Tuhan,” jawab Lebay dengan yakin.

“Pada saat itu juga?”

“Pada saat itu juga.” Lebay menjawab lebih mantap. “Tetapi jarang sekali orng mendapat.” Kadang-kadang, lanjutnya, 10 orang yang menunggu di suatu tempat, hanya seorang yang mendapat, sedang yang lain tertidur karena mengantuk.

Itulah cerita yang pertama saya dengar di waktu kecil tentang lailatul qadr. Hal ini saya tanyakan kepada nenek, beliau pun mengiyakan.

Kesan pertama dari cerita ini lailatul qadr tidak menarik untuk ditunggu. Bagaimana kalau 10 orang yang duduk tafakur, belum tentu seorang pun di antara mereka diberitahu bahwa waktunya telah tiba. Sungguhpun demikian, malam 27 Ramadan tetap ramai di surau kami. Ibu-ibu banyak mengantarkan sedekah perbukaan ke surau. Kami juga tetap membakar pelita-pelita di dinding surau.

Menghayalkan Lailatul Qadr

Lama kemudian, baru kita mengerti bahwa lailatul qadr ialah malam lailatum mubarakah, malam yang diberkati dan diperingati. Karena pada malam-malam itulah mulanya turun Alquran di dalam Gua Hira, melalui Jibril, kepada Nabi Muhamad s.a.w.

Nilai ibadah pada malam yang semalam itu sama dengan ibadah seribu malam. Sebab edaran siang atau malam tidaklah diukur dengan panjang pendeknya waktu, tetapi dari bekas yang ditinggalkannya. Kadang 1.000 bulan — lebih 83 tahun — telah dilampaui, tetapi rentang waktu itu kosong, tidak ada isinya. Tidak ada yang penting di dalamnya. Kadang-kadang hanya satu malam saja, tapi waktu itu lima ayat dari surah Al-‘Alaq atau Iqra turun. Jadi 1.000  bulan nilainya. Sesudah itu turun lagi, turun lagi. Dalam masa 23 tahun berjumlah 6.236 ayat. Berapa nilainya.

Mula-mula ketika mendengar cerita Engku Lebay yang dikuatkan nenek, kita percaya. Kita selalu menghayalkan lailatul qadr sebagaimana yang beliau gambarkan. Setelah mulai dewasa, usia 20 atau 25 tahun mulailah kita menaruh syakwasangka, bahkan menuduh itu tipuan belaka. Tetapi lambat laun, usia bertambah juga, berangsur pulalah kita meresapkan kembali tentang lailatul qadr itu di dalam gelombang hidup kita.

Bagaimana dengan Orang Buta?

Waktu masih muda, memang kita menerka, cerita Engku Lebay itu barangkali dongeng saja. Tetapi sekarang, astagfirullah aku mohon ampun kepada Tuhan, kita mengerti, itu bukan dongeng Engku Lebay tetapi benar-benar sabda Tuhan. Cobalah baca firman Allah: “Tidaklah engkau lihat bahwa Allah itu sujud kepada-Nya siapa-siapa yang ada  di semua langit dan siapa-siapa yang ada di bumi. Juga matahari, bulan, bintang-bintang, gunung-gunung, pohon-pohon, hewan-hewan, dan banyak dari manusia. Tetapi tidak sedikit pula yang pantas menerima azab. Dan barangsiapa yang dihinakan Allah, tidak ada siapapun yang dapat memuliakannnya. Sungguh Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya” (Q. 22:18).

Keterangan begini terdapat pula di surah Ar-Ra’ad ayat 16, surah An-Nahl ayat 49, dan surah Ar-Rahman ayat 6.

Kalau dalam ayat pertama Allah menyuruh kita melihat, “Tidaklah engkau lihat…?” mungkin secara gampang orang akan berkata, “Saya sudah berkali-kali mencoba melihat, namun dia tidak juga kelihatan. Apa sebab?” Sebab saudara memakai mata alat pelihat benda yang sangat terbatas ini untuk melihat alam rohaniah yang begitu luas. Selamanya saudara akan gagal. Sedangkan sarjana atom, melihat atom tidak dengan mata bahkan tidak dengan mikroskop. Mengapa alam rohaniah hanya akan dilihat dengan mata? Kalau begitu kasihan Ibnu Ummi Maktum, muazin Rasulullah yang buta di samping Bilal, yang tiap pagi sebelum orang bangun telah tiba di masjid.

Surah ‘Abasa (surah ke-30) adalah kehormatan buat dirinya. Beliau buta. Kasihan orang-orang semacam beliau tidak akan melihat seluruh alam bersujud kepada Tuhan sebab mereka buta. Ayat tadi banyak menerangkan manusia yang bersujud bersama matahari, bulan, bintang-bintang gunung-gunung, kayu-kayuan, dan bintang-bintang melata. Orang-orang ini melihat sesuatu itu sujud kepada Tuhan. Orang-orang inilah yang menikmati suasana lailatul qadr. Sebab pada saat itu orang-orang telah bersatu dengan alam, dan dia telah melihat rohaninya. Tetapi banyak pula manusia tidak melihat semuanya itu. Sebab hanya mata pelihat bendanya yang melihat, sedang mata batinnya, mata untuk melihat alam rohaninya, buta! Jangankan melihat matahari dan bulan sujud, melihat orang sujud pun dia jarang tau tidak pernah sama sekali. Dia sendiripun jarang sujud atau tidak pernah. Bersambung

Sumber: Majalah Panji Masyarakat, 19 Januari 1998

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda