Pengalaman Religius

Ebiet G. Ade: Melewati Titik Krusial (3)

Anugerah dan bencana adalah kehendak-Nya
Kita mesti tabah menjalani
Hanya cambuk kecil agar kita sadar
Adalah Dia di atas segalanya

Adalah Dia di atas segalanya

Memang bila kita kaji lebih jauh
Dalam kekalutan masih banyak tangan
Yang tega berbuat nista
Tuhan pasti telah memperhitungkan
Amal dan dosa yang kita perbuat

Ke manakah lagi kita kan sembunyi
Hanya kepada-Nya kita kembali
Tak ada yang bakal bisa menjawab
Mari hanya tunduk sujud pada-Nya

Sekolah kehidupan ini tidak pula berjalan lurus dan mudah. Dalam menjalankan ajaran agama, misalnya, ada kalanya raporku amat baik, ada pula kalanya jelek. Ada suatu saat, aku bisa begitu menikmati setiap ibadah yang kujalankan. Salat menjadi begitu indah. Sujud bisa berlama-lama. Mengaji terasa begitu syahdu. Tapi ada pula suatu kala aku ogah-ogahan mengambil air wudu. Tergesa-gesa ketika takbir, ruku, dan sujud. Proses pencarian memang cenderung sulit dan berbelit.

Kondisi seperti itu terus berlangsung hingga suatu waktu aku tiba di satu titik krusial. Pada titik itu, semua keraguan yang terpendam dalam diriku meledak ke permukaan: benarkah Tuhan itu ada? Apakah Dia? Di manakah Dia? Kenapa aku tak juga kau sapa padahal aku terus menerus beribadah? Kenapa mereka yang mendurhakai-Mu justru selalu beruntung?

Aku tak berusaha menghentikan deraan sederet pertanyaan itu. Aku justru sengaja mengeksplorasinya, membongkarnya keluar, membiarkannya terus berdengung-dengung mencari jawaban. Hati kecilku terasa berbisik, “Potensi ingkar memang ada pada setiap manusia, keluarkan! Kalau kau sembunyikan, dia akan tetap dalam jiwamu dan suatu saat akan muncul lagi untuk mengganggu perjalanan rohanimu. Bongkarlah dia untuk dirumpas.” Aku masuk ke suatu kondisi ketika setiap sesuatu aku lihat dengan kacamata metafisis, aku hadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan di atas.

Setelah sekian lama kondisi itu berlangsung, pada akhirnya aku tidak bisa berpaling: memang hanya kepada Allah juga aku harus menghadap. Setiap manusia juga memiliki potensi untuk bersih, suci, dan itu jauh lebih besar dibanding dengan potensi ingkarnya. Setelah potensi ingkar itu aku biarkan mengembara, beradu argumen dengan potensi suci, pada akhirnya kebenaran akan keluar juga sebagai pemenang.

Nurani yang bersih tidak akan membiarkan potensi ingkar bercokol lebih lama. Alhamdulillah, aku bisa melampaui titik krusial itu dengan baik. Dan sejak itu, aku tidak pernah lagi merasakan keraguan akan kebenaran agama. Aku beruntung mendapatkan pengangan yang sangat berguna dalam meniti kehidupan selanjutnya.

Universalitas Islam

Sebagian besar lagu yang aku tulis tidak memperlihatkan dengan jelas terminologi keislaman. Aku memang menghindari penggunaan simbol-simbol Islam untuk kepentingan yang tidak semestinya. Pengalamanku ketika kecil dulu itu cukup mempengaruhi cara pandangku terhadap agama. Pernah ada yang memberi pertimbangan, sebagai artis aku harus jeli melihat pasar. Mayoritas penduduk Indonesia kan beragama Islam. Aku harus menggunakan simbol-simbol Islam agar lagu-laguku banyak diminati. Dengan tegas saran itu aku tolak. Bagiku, hal itu sudah termasuk memanfaatkan agama untuk kepentingan konfersial. Aku takut terjebak ke dalam keadaan seperti itu. Bagaimana mungkin aku menukar agama untuk kepentingan-kepentingan sesaat?

Sampai saat ini aku bisa membuktikan karya-karyaku tetap diminati tanpa mengeksploitasi agama. Aku bahkan merasa bersyukur mendengar laguku tetap dinikmati kalangan nonmuslim. Ini menunjukan, nilai-niai Islam memang bisa diterima secara universal, justru bila ditampilkan tanpa simbol-simbolnya yang khas.

Pandangan-pandangan yang aku tawarkan dalam setiap karyaku tidak terlepas dari nilai-nilai agama yang aku yakini. Tapi toh tidak harus aku sampaikan dengan terminologi yang justru membatasi universalitasnya. Toh kalau aku menyebut kata Tuhan, pendengar yang muslim tentu mengerti bahwa yang aku makhsudkan adalah Allah jua. Sementara pendengar nonmuslim, hal itu tidak mengganggu. Kita memang harus berhenti menggunakan agama hanya sebatas simbol semata.***

About the author

Avatar photo

Muzakkir Husain

Wartawan Majalah Panji Masyarakat (1997-2001)

Tinggalkan Komentar Anda