Ramadan

Buya Hamka tentang Puasa (6): Bulan Pertemuan

Banyak hal yang dapat merusak nilai ibadah puasa. Di antaranya memaki atau membalas makian orang. Bagaimana dengan mengomel kepada Allah?

Telah terjadi kebiasaan di alam modern ini orang mengadakan pertemuan tahunan. Ada yang bersifat ekonomi, ada pula yang bersifat politik dan kebudayaan. Ada yang berskala nasional seperti Jakarta Fair. Ada pula yang berskala internasional seperti New York World Fair di Amerika. Di tempat-tempat itu orang berlomba mempertunjukkan hasil-hasil yang baru dari kemajuan otak manusia.

Allah pun dengan perantaraan Rasul Muhammad s.a.w., sejak 15 abad yang lalu, sudah mengadakan pula fair bagi seluruh kaum Muslim, yaitu kegiatan ibadah bulan Ramadan. Bulan yang melambangkan ketaatan mulai dari Timur Jauh sampai Barat Jauh. Bulan pertemuan, dalam deretan satu saf, antara orang-orang besar dan kecil, antara jenderal dan prajurit, antara orang kaya raya dan orang sangat miskin.

Bulan yang tenang tapi sibuk, bulan ujian kekuatan batin menghadapi kekuatan syahwat, bulan ibadah, bulan zikir, bulan yang mendengungkan bunyi pembacaan Alquran sepenuh malam. Tak putus dari salat tarawih dan witir, disambung dengan tadarus. Bulan memancarnya sinar dari hati orang yang zuhud. Kita tidak hanya diperintah menyediakan diri untuk berlapar di siang hari dan menahan nafsu setubuh walau dengan istri sendiri, tapi juga dilarang bercakap yang tidak berketentuan. Dilarang membiarkan mata menengok dengan liar. Dilarang mendengar sesuatu yang tidak akan menambah kokohnya iman. Dicobanya  dengan segala daya upaya yang ada meninggalkan sifat-sifat dan perangai buruk. Di samping itu pula mengisi jiwa tadi dengan takwa, dengan iman, amal salih, dan ibadah yang khusyuk.

Sebulan lamanya kita merasakan nikmat latihan jiwa, latihan badan, dan latihan nafsu, yang dengan sendirinya membawa pengaruh, baik pada diri pribadi dalam hubungan dengan Allah dan kepada diri sendiri, maupun dalam hubungan dengan masyarakat.

Menurut hukum fikih, kalau kita makan atau minum dengan sengaja pada bulan Ramadan, maka puasa kita menjadi batal, tidak mempunyai arti lagi. Tetapi kalau mulut kita telanjur memaki orang lain, apalagi membalas makian orang lain, maka hilang pahala kita, meski tidak batal puasa kita, sebagaimana disabdakan Nabi s.a.w.: “Tidak sedikit orang puasa, yang didapatnya cuma haus dan laar, pahalanya tidak ada.”

Yang lebih dahsyat daripada mengomel antara sesama manusia ialah mengomel atau memaki kepada Tuhan (bahkan yang lebih ekstrem orang sekarang menyebutnya menghujat, red). “Sungguh orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya dilaknat oleh Allah dalam kehidupan dunia.” (Q 33:57).

Misalnya orang yang ditimpa suatu kemalangan, entah kematian ayah, anak atau istri, atau mengalami kerugian dalam berniaga – yang demikian pasti kita temui dalam hidup ini – kerap kali tidak sadar ia menggerutu, menyesal, dan mempunyai perasaan lainnya yang menjurus pada pelimpahan kesalahan kepada Tuhan. Umpama ia mengatakan, “Orang lain disenangkan, tapi saya selalu susah. Sudah berturut-turut dapat cobaan, sudah jatuh ditimpa tangga pula – ayah mati, ibu sakit, dagangan rugi.” Ada orang yang tidak sadar bahwa perkataan demikian itu dekat kepada kekufuran. Kalau memang disengaja, maka ia sudah kafir sehingga puasanya menjadi rusak. Bersambung

Sumber: Majalah Panji Masyarakat, 12 Januari 1998.     

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda