Di mata Rasulullah Aisyah adalah perempuan mulia. Di antara istri-istrinya, dari segi kemuliaan ia menempati urutan kedua setelah Khadijah –seperti halnya dalam soal cinta. Antara lain, seperti ditegaskan Rasulullah sendiri, itu dikarenakan banyak wahyu Allah yang turun di rumah Aisyah. Bahkan ketika Rasululah berbaring di dalam selimut Aisyah.
Di mata kaum Muslim, Aisyah adalah wanita terhormat dan disegani. Tempat mereka bertanya mengenai hukum dan pendapat. Dia adalah lambang perlawanan terhadap setiap penyelewengan.
Setelah Nabi wafat, tak banyak yang terdengar tentang dirinya. Kecuali bahwa ia, dalam usia yang relatif muda, menjadi tempat bertanya para sahabat tentang berbagai hukum. Tapi, ketika Utsman ibn Affan naik ke tampuk pimpinan, ia mulai memperdengarkan suaranya. Seperti halnya para sahabat senior lainnya, ia melakukan gerakan oposisi moral, menentang segala bentuk nepotisme yang dipraktekkan oleh Khalifah.
Waktu terjadi pembunuhan Utsman, Aisyah sedang menjalankan ibadah haji di Mekah. Orang mudah saja menuduh bahwa dia terlibat persekongkolan untuk menggulingkan khalifah sepuh itu. Usia Utsman 80 tahun. Apalagi saudaranya, Muhammad ibn Abu Bakr, terlibat dalam makar itu. Dan ternyata ia pergi ke Mekah menjelang terjadinya peristiwa tragis itu. Tapi tidak ada bukti yang menunjukkan ia bersekongkol.
Aisyah sebenarnya sudah hendak kembali ke Madinah. Tapi di tengah jalan ia bertemu dengan seseorang yang memberitahukan bahwa Utsman terbunuh dan Ali ibn Abu Thalib telah dibaiat sebagai penggantinya. Mendengar ini, serta merta ia menampakkan sikap. Menurut dia, baiat tidak boleh dilakukan sebelum dituntaskan lebih dahulu dulu perkara pembunuhan. Harus ditemukan dulu siapa pembunuhnya untuk mendapatkan hukuman.
Versi lain menyebutkan ia menuntut Ali untuk segera mencari orang-orang yang terlibat pembunuhan Utsman dan segera menghukumnya. Tetapi Ali tidak segera melakukan pengusutan karena situasinya masih kacau, dan akan bertmbah kacau jika ia segera melakukan penangkapan-penangkapan. Melihat sikap Ali yang cenderung menunda-munda ini, Aisyah merasa Ali sengaja ingin menutup-nutupi kasus itu demi menyelamatkan kedudukannya seagai khalifah baru.
Ia lalu kembali ke Mekah dan menghimpun dukungan di sana. Tak sulit baginya. Tak kurang, gubernur Mekah tunjukan Utsman langsung menyambut serunnya itu. Lalu diserunya rakyat untuk berdiri di belakangnya. Bergabung pula Thalhah dan Zubair ibn Awwam, dua sahabat terkemuka yang juga disegani. Bersama-sama mereka bertolak ke Basrah untuk menambah bala bantuan. Ali, yang mendengar adanya usaha pemberontakan ini, segera membelokkan tentaranya yang sedang bertolak ke Syam untuk menumpas pemberontakan Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Ketika dua pasukan berhadap-hadapan ., sempat terjadi perundingan. Dari perundingan itu tercapai saling pengertian. Tapi celakanya, kaum munafik pimpinan Abdullah ibn Ubai segera menyebar fitnah sehingga peperangan pun tak terhindarkan. Aisyah maju ke medan peranng, mengendarai unta yang dia beli 200 dinar – kelak peristiwa ini disebut sebagai Perang Unta. Pertempuran yang tidak seimbang ini dimenangkan oleh Ali, sementara Thalhah dan Zubair gugur. Satu demi satu orang yang melindungi Aisyah gugur pula, dan untanya berhasil dibunuh. Aisyah ditawan, untuk akhirnya dipersilakan pulang ke Madinah dengan damai, Bersambung
Penulis: Hamid Ahmad, redaktur Panji Masyarakat (1997-2001). Sebelumnya wartawan Harian Pelita dan Harian Republika. Kini penulis lepas dan tinggal di Pasuruan, Jawa Timur. Sumber: Majalah Panji Masyarakat, 30 Maret 1998