Ads
Bintang Zaman

Aisyah Perempuan Pendobrak (3)

Sempat muncul desas-desus Aisyah berselingkuh dengan seorang pemuda. Nabi pun sempat berpengaruh, dan menanyai langsung di depan kedua kedua orangtuanya. Hatinya tambah kukuh ketika ia melihat ketidakberdayaan ayah dan ibunya dalam menghadap pertanyaan Nabi.

Selain lincah, Aisyah juga keras, fasih berbicara, dan berani — sifat-sifat yang jarang dimiliki istri-istri Rasulullah  yang lain. Ini terbukti ketika ia tertinggal dari rombongan kaum muslimin  sesuai berperang dengan Bani Musthaliq. Alih-alih mengejar mereka, ia berbaring begitu saja di tengah padang pasir, tempat rombongan sebelumnya berkemah. Ia pikir, kalau nanti mereka tahu ada yang tertinggal, pasti mereka akan mencari balik ke situ.

Aisyah kemudian ditemukan pemuda bernama Shafwan ibn Mu’attal yang, menurut riwayat, memang bertugas memeriksa kalau ada barang atau orang yang tertinggal. Bersama-sama mereka mengejar rombongan: Shafwan berjalan menuntut unta yang dinaiki Aisyah. Ternyata tak bisa juga mereka menyusul rombongan sehingga masuk kota Madinah agak belakangan.

Sehari dua hari tidak ada yang memasalahkan kejadian itu. Ya, siapa yang tidak percaya dengan kesucian dan keagungan Aisyah. Sayang, ada saja pikiran yang kotor. Dan pikiran kotor itu dipunyai Hamna, saudara perempuan Zainab binti Jahsy. Melihat bagaimana kecintaan Rasul kepada Aisyah, melebihi kepada saudara perempuannya itu, ia ingin “berbuat sesuatu”. Disebarkannya desas-desus bahwa Aisyah sudah berbuat serong dengan Shafwan — sebuah bola yang, dengan antusias, langsung diterima dan digiring Abdullah ibn Ubai. Ini adalah tokoh munafik yang baru saja gagal memasukan bola fitnahnya untuk mengadu domba kaum Anshar dan Muhajirin sesuai perang dengan Bani Musthaliq.

Desas-desus itu segera menyebar ke seantero kota Madinah, membuat Nabi sangat gundah. Aisyah sendiri tak tahu-menahu soal itu. Yang dia tahu, Rasul mendadak dingin sikapnya. Padahal, sepulang dari ikut perang itu, ia jatuh sakit. Melihat kekakuan sikap suaminya itu, penyakitnya makin menjadi-jadi. Ia minta izin pindah ke rumah ibunya agar mendapat perawatan.

Di rumah ibunya inilah ia baru mendengar soal desas-desus itu. Bukan dari ibunya tapi dari saudaranya, Ummu Misthah binti Ruhmin. Itulah yang membikin dia marah. “Orang-orang sudah bicara di luar begitu rupa, tapi tidak sama sekali Ibu katakan kepada saya,” katnya. Ibunya meredam, “Anakku, tak usah engkau risaukan itu. Seorang wanita cantik dimadu, yang dicintai suaminya, tidak jarang menjadi buah bibir madunya dan buah bibir orang.”

Akan halnya Rasulullah sendiri, ia tidak langsung mempercayai berita itu. Ditanyainya orang-orang kepercayaan mengenai kemungkinan selingkuh Aisyah. Sebagian besar mengatakan tidak percaya. Mereka tahu betul tentang kesalihan Aisyah. Kalau dia bilang kehilangan kalung saat membuat hajat dan mencarinya sehingga tertinggal dari rombongan, cerita itu sangat logis untuk ukuran wanita sebelia Aisyah. Usamah ibn Zaid, sepupu Rasul yang dipanggil bersama Ali ibn Abi Thalib, juga berkata demikian. Tidak ada yang dia ketahui mengenai keluarga Rasulullah, katanya, kecuali yang baik-baik saja. Hanya Ali yang berpendapat sebaliknya. “Ya Rasulullah, Allah tidak memberikan jalan sempit kepada Engkau. Berapa banyak wanita selain Aisyah,” katanya sedikit menuduh. Tapi, disarankannya pula Rasul untuk bertanya kepada Barirah, hamba sahaya yang membantu Aisyah. “Hamba tidak melihat sesuatu yang tidak baik dari Aisyah,” kata budak perempuan  itu ketika ditanya Rasul. “Aisyah adalah seorang wanita belia. Dia bisa tertidur dengan adonan yang sedang dikerjakannya, sementara ayam  dengan bebas makan adonan itu.”

Setelah melakukan penyelidikan oleh orang-orang yang dipercayainya, beliau bermaksud melakukan pengecekan langsung kepada yang bersangkutan. “Ya Aisyah, sungguh telah disampaikan kepadaku berita buruk ini dan itu. Jika engkau memang bersih, Allah pasti membersihkanmu. Tapi jika kamu sudah berdosa, mohon ampunlah kepada Allah dan bertobatlah kepada-Nya,” kata Nabi.  Ucapan ini terasa menohok langsung ke ulu hati. Begitu pilu hatinya sehingga lidahnya terasa kaku untuk menjawabnya. Lalu dipandangnya ayah dan ibunya secara berganti-ganti. Maksudnya minta mereka menjawab. “Demi Allah aku tidak tahu apa yang aku mesti kuucapkan kepada Rasulullah,” kata Abu Bakr. Ibunya jug aberkata begitu.

Mendapati ketidakberdayaan mereka bangkitlah kekerasan hati dan keberaniannya. “Demi Allah, saya tidak akan bertobat tentang apa yang Bapak katakan itu, ya Rasulullah. Demi Allah, seandainya aku mengakui apa yang telah didakwakan orang kepadaku, namun Allah tahu bahwa aku bersih. Tapi jika aku menyangkalnya, kalian semua pasti tidak percaya. Namun aku hanya akan mengatakan sebagaimana yang diucapkan ayah Yusuf (Nabi Ya’kub a.s.), bahwa saya akan bersabar karena kesabaran itulah sesuatu yang baik.”

Rupanya Allah mengabulkan permohonan Aisyah. Di tempat itu juga, tak lama kemudian, turun wahyu Allah tentang ketidakbenaran desas-desus itu. “Bergembiralah wahai Aisyah. Allah sudah menurunkan wahyu-Nya yang membebaskanmu (dari segala tuduhan),” kata Nabi. Mendengar perkataan itu, Ummu Rumman menyuruh anaknya agar berdiri menghampiri Rasulullah. Tapi dia berkukuh. “Demi Allah, aku tidak akan berdiri kepadanya dan tidak akan memuji selain Allah yang telah menurunkan ayat tentang kebersihan diriku,” katanya. Selanjutnya, Rasul membacakan wahyu yang baru diterimanya: “Sungguh orang-orang yang membawa berita bohong (ifk) itu dari golonganmu juga …” (Q.S. An-Nur. 11-20)

Bersambung

Penulis: Hamid Ahmad, redaktur  Panji Masyarakat (1997-2001). Sebelumnya wartawan Harian Pelita dan Harian Republika. Kini penulis lepas dan tinggal di Pasuruan, Jawa Timur.  Sumber: Majalah Panji Masyarakat, 30 Maret 1998  

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading