Aisyah dinikahi Nabi dengan mas kawin 400 dinar. Namun Nabi tidak langsung bercampur dengan istrinya yang baru ini. Mungkin karena terlalu kecil (delapan tahun). Ia tetap tinggal dengan orangtuanya.
Waktu itu di Arab, juga di tempat-tempat lain, anak belia dijodohkan bukan perkara ajaib. Aisyah yang bersinar itu sejak dini sudah dilirik orang. Usianya yang baru delapan tahun, tetapi sudah datang lamaran padanya, yaitu dari Zubair ibn Mut’im ibn Adi, pemuda Quraisy. Lamaran ini sudah pula diterima Abu Bakr.
Pada saat yang sama Nabi dirundung kesedihan yang sangat setelah ditinggal wafat dua orang yang sangat dia cintai: Pamannya Abu Thalib, dan istrinya Khadijah binti Khuwailid. Masa itu disebut amul huzn (tahun kesedihan). Kalau seorang pemimpin bersedih, semua orang ikut merasakannya. Tak sangguplah rasanya hati Khulah binti Hakam As-Salamiyah menanggung kesedihan pemimpinnya itu. Didatanginya Nabi Muhammad untuk menyarankan kawin lagi. “Ah siapa pula (yang bisa menggantikan) setelah Khadijah?” tanya beliau. “Kalau Bapak menginginkan dara, maka Aisyah putri sahabatmu Abu Bakr pasti bersedia menjadi teman hidupmu. Jika Bapak menginginkan janda, maka Saudah binti Zam’ah adalah perempuan yang pas buat Bapak.” Jadi andai beliau memilih kawin dengan gadis cilik itu, tentulah tak ada yang bakal terperangah. Wong inisiatifnya saja dari orang lain. Perkawinan antara orang gaek dengan gadis belia juga sudah jamak.
Namun Nabi memilih yang kedua. Saudah, seorang janda tua yang berparas tidak menarik. Justru karena dia yang dipilih, banyak orang berdecak kagum. Muhammad betapa mulia hatimu. Sebuah perkawinan yang jauh dari unsur nafsu. Perkawinan untuk mengentaskan sang janda dari jerat kemiskinan dan terutama dari gangguan orang-orang kafir. Saudah juga bisa menjadi ibu yang baik buat putri-putri Rasulullah yang masih kecil.
Sebulan sudah perkawinan berlangsung. Nabi merasa mendapat perintah baru dari Allah melalui mimpi. Dalam mimpinya itu dilihatnya malaikat Jibril mempertunjukan secarik kain sutera bergambar Aisyah. “Sungguh wanita ini istrimu dunia dan akhirat,” katanya. Mula-mula tak diperhatikannya betul mimpi itu, tenggelam dalam kesibukan berdakwah, begitu beliau bangun. Namun, setelah mimpi yang sama datang berulang-ulang, beliau merasa ini bukan sekadar kembang mimpi. Pergilah beliau menemui Abu Bakr untuk meminang. Karena sudah terlanjur menerima Zubair ibn Mut’im, Abu Bakr tak langsung menerimanya meski hatinya bahagia bukan main. Masalah Zubair mesti diselesaikan terlebih dulu. Ternyata justru ayah Zubair yang kemudian membatalkan pinangan itu karena ia khawatir anaknya bakal makin lengket dengan agama Abu Bakr. Maklum, sang ayah masih kafir.
Akad nikah pun dilangsungkan dengan mas kawin 400 dinar. Namun Nabi tidak langsung bercampur dengan istrinya yang baru ini. Mungkin karena terlalu kecil (delapan tahun). Ia tetap tinggal dengan orangtuanya.
Lantas tibalah saatnya Nabi berhijrah dengan Abu Bakr. Aisyah bersama ibunya ditinggal di Mekah. Saudah juga ditinggal di sana. Setelah agak mapan ditempat yang baru, barulah orang diutus untuk menjemput meraka. Di Madinah, Aisyah tetap dengan orangtuanya. Baru setelah beliau menyelesaikan segala persoalan menyangkut perpindahannya bersamma kaum Muhajirin, beliau mengadakan walimah perkawinan pada tahun kedua hijrah. Sebuah bilik kecil dibangun untuk Aisyah di sampin bilik Saudah, yang terletak didekat Masjid Nabawi. Kelak di sini berbanjar delapan bilik kecil, yang masing-masing dihuni istri beliau. Bersambung
Penulis: Hamid Ahmad, redaktur Panji Masyarakat (1997-2001). Sebelumnya wartawan Harian Pelita dan Harian Republika. Kini penulis lepas dan tinggal di Pasuruan, Jawa Timur. Sumber: Majalah Panji Masyarakat, 30 Maret 1998