Berbagi Cerita Corona

Gagal Mudik Gara-Gara Corona

Serial tulisan testimonial di panjimasyarakat.com ini didedikasikan untuk mendokumentasikan dan membagikan pengalaman baik dari berbagai tempat dan latar belakang penulis untuk saling menguatkan dalam menghadapi wabah Virus CORONA COVID-19.
Kami tunggu partisipasi Anda, kirim tulisan via WA 
0895616638283 atau email panjimasyarakat.com@gmail.com
–Pemimpin Redaksi

Apa yang paling ironi dari wabah Corona? Bagi saya jawabannya adalah tidak bisa mudik lebaran. Saya belum pulang ke rumah hampir satu tahun. Terakhir pulang saat hari raya Idul Fitri tahun lalu. Bukan tak rindu, tapi keadaan yang memaksa untuk tak bertemu keluarga.

Saat ini saya memiliki kesibukan sebagai pekerja paruh waktu untuk beberapa perusahaan dan sedang menempuh pendidikan magister Ilmu Komunikasi di salah satu kampus swasta di Jakarta. Saya berencana pulang kampung sebelum ramadan, tapi gagal lantaran ada pandemi.

Sebenarnya saya sudah curiga sejak Januari, kalau virus ini sudah masuk ke Indonesia. Kok rasanya tidak mungkin kalau belum masuk, sementara sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Singapura, Hongkong, Korea, dan Jepang sudah ada kasus saat itu. Setiap hari banyak orang yang keluar masuk Indonesia dari dan ke negara-negara tersebut. Maka saat itu terbesit rencana bertemu orang tua sebelum kasus positif Corona meningkat di Indonesia, khususnya Jakarta.

Sayangnya, Januari masih Ujian Akhir Semester (UAS). Bulan berikutnya, saya menjadi penanggung jawab untuk sebuah acara kantor. Minggu pertama Februari, seorang rekan kerja memberi kabar jika ia tak bisa membantu saya untuk acara kantor tersebut. Alasannya karena ia sudah terlanjur membeli tiket ke Penang, Malaysia.

Saya jadi khawatir. Saya sempat mencegahnya untuk pergi karena pada saat itu sudah ada kasus positif di Malaysia. Tapi teman saya tetap nekad pergi. Ia traveling selama 3 hari dari Jum’at – Minggu.

Senin malam saya tak sengaja membaca berita di media online tentang Warga Negara Asing (WNA) asal Singapura yang meninggal setelah mengalami sesak nafas di salah satu rumah sakit di Batam. Pihak rumah sakit menyangkal jika WNA itu meninggal karena positif Corona melainkan hanya bronkopneumonia.

Kasus serupa juga terjadi di Rumah Sakit dr. Kariadi Semarang. Seorang pria yang diduga positif Corona meninggal namun rumah sakit mendiagnosa pasien tersebut menderita bronkopneumonia.

Pertanyaannya, virus atau bakteri apa yang menyebabkan bronkopneumonia itu? Saya sempat mempertanyakan ini kepada teman yang berprofesi dokter. Namun ia meyakinkan saya bahwa Corona belum masuk Indonesia. Usai ngobrol dengannya di WhatsApp saya tertidur, sempat bangun untuk salat tahajud, tidur lagi dan mimpi wabah Corona sudah masuk Indonesia serta puncaknya pada ramadan. Setibanya di kantor, saya menceritakannya kepada teman-teman tapi mereka malah menertawai saya.

“Terlalu dipikirin sih,” ledek mereka. Mungkin ia, karena saya parno, rekan saya yang traveling sudah masuk kantor. Dia tidak mengarantina dirinya selama 14 hari. Pihak HRD juga cuek. “Gue sehat gini kok. Lihat deh, enggak mungkin kena Corona,” katanya Senin itu.

Satu jam kemudian, pemerintah mengumumkan dua WNI positif Corona. Mereka warga Depok, seorang ibu dan anak, yang diduga terpapar dari WNA asli Jepang.

Seperti deja vu

Tiga hari setelah itu, saya melakukan perjalanan dari Gondangdia ke Pasar Minggu menggunakan commuter line tujuan Bogor. Saat itu jam pulang kantor. Kereta sesak dipenuhi penumpang, saya sampai tak bisa menggerakkan badan.

Foto Ilustrasi KRL

Beberapa penumpang terlihat sudah menggunakan masker, tapi masih banyak yang belum. Saya sendiri memakai masker bedah dan sedia hand sanitizer. Pulang dari Pasar Minggu, saya malah tak enak badan. Keesokan paginya, tenggorokan saya sakit, demam dan pilek. Untuk pertama kalinya sejak 2017 saya kembali meriang.

Sekitar November 2017, saya sakit. Saya dirawat di Rumah Sakit selama tujuh hari. Sejak itu saya berkomitmen lebih peduli sama tubuh sendiri. Makan tiga kali sehari, konsumsi buah-buahan dan sayuran, olahraga serta selalu berpikir positif. Tubuh, pikiran dan jiwa adalah satu kesatuan. Jika salah satu terganggu, yang lain akan terpengaruh. Oktober 2018 saya mengikuti akademi blogger nutrisi.

Saat itu direktur gizi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menjelaskan pentingnya makan dengan gizi seimbang. Ia juga mengungkapnya tak hanya tubuh yang butuh nutrisi tapi juga jiwa agar tubuh selalu sehat. Saya mengikuti anjuran Kemenkes. Memang terbukti, saya tak pernah flu meskipun musimnya flu.

Makanya sempat terpikir, apakah ini flu biasa? Atau jangan-jangan saya sudah terpapar Corona? Syukurnya saya sudah membeli suplemen propolis, sedia akar- akar rimpang dan madu. Saya memutuskan untuk konsumsi itu terlebih dahulu. Jika gejalanya semakin parah, saya akan ke rumah sakit.

Sebelum tidur saya rebus jahe dan temulawak, lalu saya beri sedikit madu. Saya minum hangat-hangat. Saya juga minum suplemen propolis. Keesokan paginya demam turun dan sudah tidak sakit tenggorokan. Tapi pileknya makin menjadi.

Di hari ke-empat saya merasakan sakit dada bagian depan dan belakang. Rasanya tidak nyaman seperti masuk angin. Saya juga batuk kering. Tapi saya tidak menyerah, saya terus konsumsi suplemen propolis, minum rebusan akar rimpang setiap malam. Saya imbangi dengan makanan bergizi, istirahat cukup, meditasi dan berjemur setiap jam 8 pagi. Dua minggu kemudian pilek dan batuk saya sembuh.

Karena sudah merasa sehat, saya berencana pulang. Saya memprediksi jumlah kasus positif Corona di Jakarta akan terus meningkat. Risiko tertularnya besar sekali. Apalagi teman sekamar saya juga masih ngantor. Sudah hampir satu tahun tak pulang, saya takut tak bisa lebaran di rumah.

Apalagi orang tua saya sudah tua. Saat saya menelepon keluarga mereka menolak. Mereka curiga saya sudah terpapar Corona dan khawatir menulari keluarga. Meski saya sudah janji akan karantina mandiri, tetap saja kakak dan ibu tidak mengizinkan.

Foto ilustrasi mudik

Kampung halaman saya di sebuah desa di Provinsi Lampung yang jauh dari kota. Di sana hanya ada puskesmas dan rumah sakit kecil yang tentunya fasilitas kesehatan tidak memadai. Rumah sakit rujukan Corona ada di Bandar Lampung.

Waktu tempuhnya tiga jam. Alangkah baiknya saya tetap bertahan di Jakarta dengan fasilitas rumah sakit yang lebih baik. Apalagi saya tinggal di dekat Rumah Sakit Gatot Subroto. Keluarga menyarankan untuk pindah kamar. Alhamdulillah saat itu ada kamar kosong dan teman saya juga tidak masalah kalau saya pindah kamar. Sebenarnya harga sewa per kamar sangat mahal. Tapi lebih aman daripada sekamar berdua. Pun misalnya saya sudah terpapar Corona.

Kini mudik hanya sebatas angan dan kenangan. Kemarin, Presiden Jokowi menyatakan akan melarang mudik lebaran pada hari raya Idul Fitri 1441 H bagi seluruh masyarakat Indonesia. (*)

About the author

Avatar photo

Yusnaeni

Blogger dan Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas
Paramadina

Tinggalkan Komentar Anda