Tasawuf

Ridha Allah, Sakinah, dan Salam (Bagian 4)

Kebahagian surga itu sudah mulai dirasakan di dunia. Seperti perasaan tenteram, sakinah.  Itulah sebabnya, di dalam akidah-akidah tradisional, selalu dikatakan apakah manusia akan masuk surga atau masuk neraka sudah ada tanda-tandannya di dunia.

Ada cerita yang melibatkan Rabi’ah  Al-Adawiyah, yang bertemu dengan tokoh Suriah yang terkenal, Sufyan Tsauri. Dia ditanya, “Kamu yang paling banyak berdoa, itu doa apa?

“Saya berdoa, mudah-mudahan Allah meridhai saya.”

Rabi’ah reaksinya aneh sekali: “Kamu nggak tahu malu. Bagaimana Allah meridhai kepada kamu sedangkan kamu tidak ridha kepada-Nya.” Karena yang diperlukan adalah kamu dulu. ridha kepada Allah, yaitu pasrah atau Islam itu. Kalau kita pasrah kepada Allah, baru kita bisa menagih keridhaan Allah. Dan itu disebut nafsun muthmainnah. Muthmainnah itu sama dengan salam-aman-sakinah dan seterusnya.

Sekarang ada gambaran di Alquran juga, bahwa nanti di surga kita akan diberi buah-buahan. Setiap kali diberi buah-buahan kemudian kita bilang “Ini ‘kan sama dengan yang di dunia dulu,” dan memang diberi hal serupa. (Q. 2:25). Maksudnya apa? Ini lagi-lagi metafor. Maksudnya, kebahagian surga itu sudah mulai dirasakan di dunia. Seperti perasaan tenteram, sakinah itu. Itulah sebabnya kenapa, di dalam akidah-akidah tradisional, selalu dikatakan bahwa manusia itu apakah akan masuk surga atau masuk neraka sudah ada tanda-tandannya di dunia. Kalau di dunia hidupnya gelisah-gelisah dan protes terus kepada Tuhan, nggak nerimo, dan sebagainya, itu indikasi bahwa nanti di akhirat juga begitu.

Kebahagian itu tidak tergantung tingkat sosial, kaya-miskin, pintar-bodoh. Bahasa Quran ditunjukan kepada seluruh lapisan masyarakat. Maka jangan heran Quran berbicara tentang kebahagiaan dalam bentuk yang lepsibius-sensus lepsibius-bidadari. Ada yang lebih tinggi, misalnya rumah, kebun, dan dari itu semua yang lebih tinggi ialah ridha Allah.

Ini penting sekali kita pahami: kebahagian tertinggi selalu bersifat rohani. Karena itu pada dasarnya tidak bisa tidak bisa diterangkan, keterangan-keterangannya melalui simbolisasi. Dan kebetulan manusia satu-satunya makhluk yang menciptakan simbol. Mengapa ada dorongan ke situ, karena manusia satu-satunya makhluk yang menghadapi persoalan makna  hidup. Dan karena makna hidup itu sedemikian halusnya maka memerlukan simboisasi.

Maka dari itu, tanah suci sebagai simbol saja. Ketika Nabi s.a.w pindah kiblat dari Yerusalem ke Mekkah, di Madinah heboh. Ayat-ayat polemik berkenaan dengan itu intinya mengatakan, itu cuma kiblat, nggak ada apa-apanya, Barat dan Timur itu milik Allah, ke mana pun kamu menghadap maka disitulah Wajah Tuhan, dan setiap kelompok itu mempunyai arah ke mana menghadap, karena itu “berlomba-lombalah menuju kebaikan, kerena di mana pun kamu berada nanti akan dikumpulkan Tuhan.” (Q. 2:148). Jadi setiap umat memiliki tempat suci, dan semuanya itu simbol. Bahasa juga simbol. Bersambung

Penulis: Prof.  Dr. Nurcholish Madjid (1939-2005). Sumber: Majalalah Panjimas, 13-25 Desember 2002. Almarhum yang biasa dipanggil Cak Nur adalah pendiri dan rektor pertama  Universitas Paramadina, Jakarta. Peraih Ph.D dari Universitas Chicago (AS) ini guru besar UIN Syarif Hidayatullah,  Jakarta, tempat ia menyelesaikan sarjana S1, dan peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda