Dari hari ke hari, pandemi corona virus disease 2019 alias Covid-19 atau SARS-CoV-2 kian meluas. Virus yang pertama kali muncul di Kota Wuhan, Cina, pada akhir 2019 itu telah menyerang lebih dari 200 negara. Pada pertengahan April ini jumlah yang terkena infeksi Covid-19 hampir dua juta orang. Dari jumlah ini 467.074 pasien dinyatakan sembuh, sedangkan korban meninggal tercatat 125.951. Di Indonesia jumlah orang yang terkena virus ini pun terus bertambah. Pada 15 April lalu tercatat 5.136 yang positif terkena Covid-19, atau bertambah 297 hari sebelumnya. Dari jumlah tersebut, 446 orang sembuh dan 469 lainnya meninggal. Angka-angka ini mengisyaratkan bahwa kita masih harus terus berjuang untuk melawan virus yang powerful ini. Kita belum tahu kapan peperangan ini akan berakhir. Yang pasti virus ini harus diperangi secara habis-habisan. Saya ingin menyebutnya dengan istilah jihad total melawan corona. Mengapa disebut jihad total?
Jihad, dari bahasa Arab, artinya berjuang, bersungguh-sungguh, bekerja keras, tanpa kenal lelah, tak peduli berapa sulit yang harus dihadapi. Selanjutnya jihad digambarkan sebagai perlawanan atau perang, baik yang bersifat fisik maupun yang nonfisik. Yang pertama disebut berupa perang fisik seperti yang dilakukan Nabi Muhammad melawan musyrikin pada peristiwa Badar atau Uhud. Di negara kita, jihad seperti ini pernah dikobarkan pada awal kemerdekaan, dengan dikeluarkannya Resolusi Jihad pada 22 Oktober oleh KH Hasyim Asy’ari. Resolusi jihad ini mampu membakar semangat jihad para santri untuk melawan tentara Sekutu, serta mendorong para santri dari berbagai daerah datang ke Surabaya dan terlibat dalam pertempuran 10 November. Tak heran jika dalam peristiwa ini bergema takbir di mana-mana. Resolusi Jihad berisi: Setiap muslim tua muda dan miskin sekalipun wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia; pejuang yang mati dalam membela kemerdeakaan Indonesia layak dianggap syuhada; warga yang memihak kepada Belanda dianggap memecah belah persatuan dan oleh karena itu harus dihukum mati.
Adapun jihad dalam bentuk perlawanan nonfisik adalah perang melawam diri sendiri atau perang melawan hawa nafsu, yang disebut oleh Rasulullah sebagai jihad akbar. Yakni, sebagaimana dikatakan Buya Hamka, mengekang dan menahan hawa nafsu agar kita tidak tergelincir dari jalan Allah ke jalan setan, Bisa lantaran tergoda harta, tahta atau wanita. Dalam kategori ini juga termasuk jihad melawan setan, yang berupaya memelencengkan diri kita dari akidah maupun syariah.
Namun, jhad tidak melulu digambarkan sebagai upaya perlawanan, apalagi disalahartikan hanya sebagai perang fisik atau holy war sebagaimana yang dipersepsikan kaum penjajah dulu dan umumnya orang-orang Barat sekarang, termasuk sebagian kalangan muslimin sendiri. Orang-orang yang berdakwah, melalui lisan, tulisan, maupun usaha-usaha kemanusian, mengajarkan agama, bersiyasah untuk menegakkan ajaran agama, menuntut ilmu, termasuk orang-orang yang berjihad di jalan Allah. Untuk yang disebut terakhir, Allah berfirman, “ Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya (At-Taubah:122). Sebuah hadis juga menyatakan, “Barang siapa keluar untuk mencari ilmu maka dia berada di jalan Allah sampai dia kembali.” Karena itu, tidak sedikit ulama yang menyatakan, bahwa jihad dalam menuntut ilmu lebih utama daripada jihad di jalan pedang.
Lalu bagaimana dengan jihad melawan corona? Siapa musuh yang kita hadapi?
Perang melawan corona tentu bukan jihad di medan pertempuran seperti di Uhud atau Surabaya. Juga bukan perang melawan setan, sebab virus bukanlah makhluk gaib, Tapi perang melawan makhlus superhalus ini tak kalah sengitnya, dan telah memakan banyak korban jiwa dan harta benda. Selain ratusan pasien yang meninggal, puluhan dokter dan perawat telah pula gugur. Belum lagi dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkan oleh pandemi berskala global ini. Termasuk para pelajar, santri, dan mahasiswa yang terpaksa tidak bisa keluar dari rumah mereka untuk menuntut ilmu, yang juga merupakan bagian dari jihad itu.
Meskipun lawannya bukan manusia, perang melawan corona adalah jihad yang bersifat fisik, karena untuk melawannya kita perlu mengerahkan tenaga selain pengetahuan dam harta. Namun dalam perang melawan Covid-19, kita juga melakukan perang nonfisik. Yakni perang melawan diri sendiri. Orang-orang yang berperang melawan diri sendiri saat wabah corona ini tak lain adalah sebagian besar kita yang kini sedang mengekang hawa nafsu atau mengendalkan berbagai keinginan, dengan melakukan physical distancing (menjaga jarak fisik), stay at home, work from home alias di rumah saja dan bekerja dari rumah saja. Termasuk untuk tidak menyebarluaskan kabar kibul alias hoaks yang tidak jelas juntrungnya, Menurut Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagian besar kita inilah yang sesungguhnya berada di garis depan dalam melawan corona. Adapun para petugas medis mereka berada di garis belakang, karena mereka hanya diperlukan ketika ada panggilan. Tanpa jihad nonfisik berupa pengendalian dan pengekangan hawa nafsu ini, laju penyebaran pandemi corona akan sulit dibendung. Jihad melawan corona hakikatnya adalah perjuangan keras untuk menyelamatkan manusia. Karena itu, hemat saya, pelang melawan corona adalah sebuah jihad total.
Akhirul kalam, sebuah hadis menyatakan, orang yang wafat karena terkena wabah tha’un, maka dia mati syahid. Berdasarkan hadis ini, tidak diragukan petugas kesehatan yang wafat saat menjalankan tugas menangani corona merupakan syuhada, yang dijamin masuk surga oleh Allah SWT. Wallahu a’lam.***
Penulis: H. Arsul Sani, S.H., M.SI., Pr.M, Wakil Ketua MPR RI. Sekjen DPP PPP ini duduk di Komisi III DPR RI dari 2014 sampai sekarang.