Cakrawala

Hatta dan Islam (7): Partai Demokrasi Islam Indonesia

Hatta bukan ahli Islam. Tetapi sikap, perilaku serta tindakan dan ucapannya tidak lepas dari ajaran Islam. Juga dalam menentukan kebijaksanaan negara. Baginya yang penting itu isi, bukan rumusan. Sayang, di masa hidupnya tidak banyak yang memahaminya, termasuk dari kalangan Islam sendiri. Apa reaksinya ketika PDII ditolak Soeharto? Partai seperti apa yang dia inginkan?

Sesudah Soeharto menggantikan Soekarno sebagai kepala negara, kalangan Islam pun banyak berusaha dan berharap agar kelapangan hidup sebagai muslim dengan cara-cara Islam agar dihidupkan kembali. Masa Demokrasi Terpimpin dirasakan sebagai masa pemaksaan apalagi dengan Nasakom.

Maka sebagian kalangan Islam mendirikan Amal Muslimin dengan dukungan berbagai ormas Islam, termasuk Jami’atul Washiliyah dan Himpunan Seni Budaya Islam. Juga kalangan Pendidikan Tinggi Dakwah Islam pimpinan Sudirman. Dimaksudkan Amal Muslimin ini bisa memelepori pendirian partai Islam baru.

Bersamaan  dengan itu,  masih pada 1965,  beberapa kalangan yang sering bertemu dengan Hatta sebelumnya — terutama yang pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pelajar Islam Indonesia (PII)  — bermaksud pula mendirikan partai baru, yang dirancang menjadi Partai Demokrasi Islam Indonesia. Mulanya bersifat gerakan, jadi gerakan Demokrasi Islam Indonesia, dan bila sudah agak menyebar ke daerah menjadi partai. Banyak juga dari kalangan yang sudah lama aktif dalam gerakan Islam yang turut mendukung, termasuk K.H. Abdullah Syafi’i, Ustadz H. Jamalullail, malah juga Anwar Harjono, yang sebelumnya aktif di GPII dan Masjumi. Tetapi Anwar Harjono kemudian, setelah tokoh-tokoh Masjumi   yang ditahan selama Demokrasi Terpimpin bebas, bergabung kembali dengan mereka untuk mendirikan kembali Masjumi.

Ajakan Amal Muslimin  kurang mendapat sambutan dari Hatta karena mereka hendak memulai dengan besar, seperti cara Masjumi pada 1945. Hatta menekankan sekali kaderisasi, dan ini berarti memulai dengan apa yang ada lebih dahulu. Rapat-rapat diselenggarakan di rumah Hatta, ada juga yang di Universitas Islam Jakarta. Apalagi ketika itu rektornya, Prof. Hazirin turut mendukungnya.

Kedudukan Hatta dalam rangka rencana partai Islam baru ini banyak dipertanyakan orang. Ada yang berpendapat bahwa dengan demikian ia “mundur” dan “menyempit karena memihak golongan dan menjadi tokoh golongan. Tentu ada pula yang melihat Hatta akan memperkuat kalangan Islam dengan ini, dan ini akan memberi akibat negatif bagi mereka yang tidak suka agama, ataupun yang sekuler.

Hatta sendiri mulanya ingin berada di luar partai tersebut. tetapi ketika dikatakan kepadanya bahwa kedudukannya yang netral dalam lingkungan kepartaian sejak Indonesia merdeka tidak efektif sama sekali dalam mengembangkan pemikiran dan cita-citanya, ia akui juga hal itu. Paling sedikit disetujui ia akan aktif dalam waktu yang tidak lama dalam partai tersebut.

Juga saran Hatta agar dasar partai semata-mata Pancasila tidak disetujui kebanyakan kalangan muda tadi. Bukan karena tidak setuju dengan Pancasila, tetapi karena identitas Pancasila selama Demokrasi Terpimpin tidak jelas. Kalangan muda ini mengakui penjelasan pancasila a la Hatta, malah tidak bertentangan dalam ajaran Islam, tetapi mereka beranggapan ada baiknya dasar Islam dipergunakan. Hatta setuju, karena pemahaman Pancasila pun dengan demikian disesuaikan menurut Islam.

Dalam hubungan dengan pemerintah tentulah Hatta diandalkan. Ia membicarakan hal ini ketika bertemu dengan Pejabat Presiden Soeharto, kemudian pada 1967 beberapa kali mengirim surat kepada kepala negara ini. Pejabat Presiden merujuk kepada ketetapan MPRS tentang penyederhanaan partai. Maka dalam kerangka ini hendaklah partai baru Islam “dapat mempersatukan seluruh potensi Islam yang belum tertampung”,dan ini tidak dilihatnya pada GDII atau, PDII. Hatta menerima keputusan Soeharto ini, walau menganjurkan kepada simpatisan PDII agar tidak melihat keputusan tersebut sebagai ketentuan mutlak. Hatta berharap kesempatan di masa depan akan terbuka juga.

Bersama PM India Jawaharlal Nehru

Oleh sebab itu ia menasehatkan agar maksud dan niat dipelihara terus, karena katanya keadaan akan berubah juga akhirnya. Inilah pula yang tidak dapat menjadi pegangan kalangan muda, sehingga mereka kemudian mencari tempat berkiprah sendiri-sendiri. Ada yang ke Parmusi – kemudian menjadi Partai Persatuan Pembangunan  (seperti Ismail Hasan Metareum); ada yang melihat dulu arah angin, tetapi yang umumnya terus bersikap menanti (termasuk Norman Razak dan Sulastomo, keduanya sangat erat hubungannya, juga Mashud yang bekas ketua Senat Universitas Gadjah Mada); ada yang meneruskan kegiatannya dengan kalangan buruh (seperti Wartomo dalam Gasbiindo, kemudian juga dalam PSII). Dalam pada itu partai-partai Islam ynag lain yang dibenarkan berdiri terus,  tentu mengharapkan juga tambahan darah baru dari kalangan muda.

Yang penting dalam hubungan ini adalah bahwa Hatta bersedia juga membina suatu partai Islam. Ia memang direncanakan menjadi pemimpin umum partai, walaupun katanya bersifat sementara.

Demikianlah sepintas lalu hubungan Hatta dengan Islam. Ia tidak dapat dikatakan ahli dalam Islam, tetapi hidupnya tidak lepas dari ajaran Islam  dalam sikap, perilaku serta tindakan dan ucapan. Juga dalam menentukan kebijaksanaan negara, walaupun tidak tiap kali ia merujuk kepada ajaran Islam itu. Baginya yang penting itu isi, bukan rumusan. Tetapi sebagai pemimpin, tentulah yang diperlukan seseorang yang satu kata dengan perbuatan, dan yang takwa. Sayang, di masa hidupnya tidak banyak yang memahaminya, termasuk dari kalangan Islam sendiri. Tentu saja kekurangannya pun ada. Manusia mana yang sempurna.

Ia besar kaena takwanya. Ia besar karena kebulatannya menyerahkan segala sesuatu kepada Allah. Ia besar  karena ia yakin pada usahanya. Tanpa menyebutkan secara harfiah perjuangannya, ia berjuang untuk menegakan ajaran Allah di muka bumi ini. Tentang agama ia hanya tahu agama Islam, katanya. Tidak berarti ia mengecilkan agama lain. Itulah pula yang menjadi pedomannya dalam menegakkan masyarakat Indonesia, yang diharapkannya menjadi masyarakat adil dan makmur, sejahtera, dan diridhai Allah SWT.

Penulis: Prof. Dr. Deliar Noer; Sumber: Majalah Panjimas, 16-29 Oktober 2012. Semasa hidupnya Deliar Noer ( 1926-2008)  dikenal sebagai ilmuwan politik, guru besar dab rektor IKIP Jakarta (kini UNJ). Meraih gelar Ph.D. dari Cornell University (1963). Pada  awal reformasinya penulis produktif ini mendirikan Partai Ummat Islam.

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda