Tasawuf

Ridha Allah, Sakinah, dan Salam

Kembali atau pulang adalah gejala psikologis. Karena itu jika kita tersesat, tidak bisa menemukan rumah kita, kita menderita. Karena itu kesesatan selalu menjadi lambang penderitaan. Bila dan di mana  kita beroleh kebahagiaan?

Di dalam Alquran ada beberapa kata yang menggambarkan pengalaman tertinggi kebahagiaan. Yang paling banyak tidak lain kata salam. Artinya “damai”, tetapi sesungguhnya lebih dari damai. Ada firman Allah SWT berkenaan dengan salam ini – bahwa nanti di akhirat itu yauma laa yanfa’u maalun walaa banuun, “hari ketika harta dan anak-anak tidak bermanfaat” illa man ataa Allah biqlbin salim, “kecuali yang menghadap Allah dengan kalbu yang salim”. (Q. 26:89).

Nah, makna salim di sini apa? Salim adalah suatu kondisi di dalam diri kita yang bersifat utuh, intergral. Keutuhan dan intergralitas itu diperoleh dengan ingat kepada Allah. Ingat kepada Allah itu suatu gejala pada diri kita yang merupakan inti ajaran tentang tujuan hidup. Kita ini hidup berasal dari mana, menuju ke mana. Itu kita nyatakan di dalam zikir kepada Allah SWT. Dari mana dan ke mana itu diungkapkan dalam kalimat suci yang serring kita baca: Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, “Kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya” (Q. 2:156).

Home sweet home

Yang patut kita perhatikan adalah kata ‘kembali’ (raji’un, dari raja’a). ‘Kembali’ ini suatu konsep yang sangat penting. Kira-kira, keberhasilan kembali ke asal itu selalu menimbulkan kebahagiaan. Misalnya, seorang anak selalu ingin kembali ke ibunya. Dan mengapa kalau kita menggendong anak selalu sebelah kiri? Kalau begitu biasanya anak cepat tidur. Karena kalau kita gendong sebelah kiri dan kepalanya didekapkan ke dada, akan kedengaran detak jantung, dan itu menimbulkan suatu perasaan yang sangat damai – karena mengingatkan dia kepada pengalamannya yang di bawah sadar ketika masih ada di dalam rahim. Sebab waktu kita di dalam rahim tidak ada yang kedengaran kecuali detak jantung Ibu.

Karena itu tempat kita disimpan itu disebut rahim, yang artinya “cinta kasih”, suatu sifat dari Allah SWT. Karena itu, setelah lahir pun psikologi atau kejasmanian anak itu juga mengikuti logika-logika tersebut. misalnya, ketika anak lahir belum bisa melihat apa-apa, lama kelamaan melihat terang dan gelap, bisa melihat orang dan bukan orang, serta yang paling dulu dikenal adalah ibunya, karena itu, kalau ada anak menagis, lalu didekap ibunya dan terdiam, itu gejala ‘kembali’ juga.

Pulang itu juga gejala ‘kembali’. Sehingga relevan sekali istilah home sweet home , baiti jannti (“rumahku surgaku”). Dan kembali pulang itu bukan gejala fisik, tetapi gejala psikologis (kejiwaan). Misalnya, oleh suatu hal kita sesat dan tidak bisa menemukan rumah kita, kita menderita. Karena itu kesesatan selalu menjadi lambang penderitaan. Jadi ‘kembali’ atau ‘pulang’ itu gejala psikologis. Dan sesuai dengan relevasinya, ‘kembali’ itu dengan home sweet home, baiti jannati, atau maskan alias tempat menetap. Karena itu nanti di surga, dalam gambaran Quran, kita akan mendapat maskan thayyibah, yaitu tempat-tempat tinggal (masakin jamak maskan) yang indah (Q. 61:12). Bersambung

Nurcholis Majid atau Cak Nur (sumber foto : Wikipedia)


Penulis: Prof.  Dr. Nurcholish Madjid (1939-2005). Sumber: Majalalah Panjimas, 13-25 Desember 2002. Almarhum yang biasa dipanggil Cak Nur adalah pendiri dan rektor pertama  Universitas Paramadina, Jakarta. Peraih Ph.D dari Universitas Chicago (AS) ini guru besar UIN Syarif Hidayatullah,  Jakarta, tempat ia menyelesaikan sarjana S1, dan peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda